Belum lama, pernyataan eks jurnalis Eddy Mulyadi yang menghina Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak" serta "sarang kuntilanak dan genderuwo” menuai kontroversi. Narasi yang melukai perasaan masyarakat Kalimantan ini merupakan muncul sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang timpang bertahun-tahun.
Kendati pemerintah saat ini sedang berencana memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan, narasi itu tetap akan ada selama pendekatan yang digunakan tetap meminggirkan komunitas lokal dan masyarakat adat.
Kebijakan Timpang Pemerintah
Kesenjangan dan ketidakmerataan pembangunan pada dasarnya terjadi sejak zaman pemerintahan Orde Baru. Kesenjangan pembangunan antara wilayah pulau Jawa dengan wilayah Kalimantan pun masih terjadi hingga saat ini.
Keterbelakangan pulau Kalimantan dibanding pulau-pulau lainnya disebabkan karena Kalimantan memiliki ketimpangan yang cukup tinggi, dari sisi pembangunan ekonomi, infrastruktur, maupun pembangunan manusianya.
Ketimpangan ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia di wilayah Kalimantan yang tidak merata.
Ketimpangan yang tinggi memunculkan berbagai permasalahan, antara lain kecemburuan sosial, kerawanan disintegrasi wilayah, disparitas ekonomi yang makin lebar dan tajam, serta persoalan sosial lainya seperti tindak kriminalitas, konflik antarmasyarakat, dan rendahnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Masalah ini agak ironis mengingat Kalimantan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Sayangnya pengelolaan sumber daya alam ini hanya untuk menguntungkan mereka yang ada di pusat.
Baca juga: Oleh-oleh dan Perkara Kesenjangan yang Terlupakan
Meminggirkan Masyarakat Adat
Praktik ‘berbagi kue kekuasaan’ yang tidak asing dipertontonkan pada masyarakat, memunculkan kekuasaan yang terkonsentrasi oleh tokoh-tokoh elit politik dan pengusaha kelas kakap.
Akibatnya, hingga hari ini masyarakat adat belum mendapatkan akses setara dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya yang ada di Kalimantan.
Hasil penelitian saya pada kelompok perempuan pada masyarakat adat Dayak (bagian dari suku Dayak Benawan) di Kalimantan Barat menemukan, kemiskinan yang mereka alami tidak terlepas dari kesetaraan akses mereka terhadap sumber daya.
Baca juga: Voice Indonesia Berdayakan Minoritas dan Kaum Adat lewat ‘Artivism’
Salah satu kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak pada masyarakat adat lokal adalah proyek transmigrasi yang diutamakan untuk keluarga transmigran sementara pengelolaan ekspansi lahan lebih lanjut dilakukan oleh pemilik modal.
Kebijakan yang membuka kesempatan pada pendatang justru muncul ketika masyarakat adat Dayak di wilayah sepanjang pegunungan Meratus mempunyai masalah legalitas terhadap kepemilikan tanah/wilayah ulayat.
Peminggiran komunitas adat di Kalimantan tidak terlepas dari andil perizinan konsesi lahan oleh pemerintah, kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat, serta keterlibatan pemilik modal yang seringkali merugikan mereka.
Apakah Ibu Kota Baru Akan Membuat Perubahan?
Di tengah ketimpangan yang masih terjadi, pemerintah pusat masih membuat rencana untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Pemindahan ibu kota ini diyakini sebagai jalan untuk mengurangi ketimpangan, dengan membuka investasi sebesar-besarnya di Kalimantan.
Kajian lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) misalnya, menyebutkan pemindahan ibu kota hanya berdampak baik pada sektor ekonomi mikro, khususnya Provinsi Kalimantan Timur. Artinya secara ekonomi dan sosial, keberadaan ibu kota baru justru berisiko memunculkan ketimpangan baru.
Baca juga: Menjadi Perempuan di Kota Besar
Dalam pemindahan ibukota ke Kalimantan, paling tidak terdapat 20.000 masyarakat adat yang akan berhadap-hadapan nasib terhadap proyek pembangunan yang ada.
Megaproyek pemindahan ibu kota melibatkan pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta. Proyek ini juga akan menggandeng investor asing.
Proyek tahap awal mencakup pembangunan infrastruktur utama seperti Istana Kepresidenan, Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)/ Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan perumahan buat Aparatur Sipil Negara (ASN) tahap awal, serta pembangunan infrastruktur dasar untuk 500 ribu penduduk. Ada juga proyek infrastruktur lain seperti jalan tol, jalan non-tol, dan infrastruktur pendukung.
Dari proyek-proyek tersebut, amat banyak permasalahan sosial yang berpotensi muncul; kesenjangan sosial, konflik sosial, tergusurnya identitas lokal, dan berbagai persoalan lainnya. Terlebih masih terdapat 54 desa tertinggal di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, tempat di mana ibu kota akan berdiri.
Ketidakseimbangan hak dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat lokal dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seringkali mendorong proses pemiskinan masyarakat komunal lokal (masyarakat adat). Risiko lainnya adalah beban sosial tanpa kompensasi yang harus ditanggung oleh masyarakat tersebut.
Situasi tersebut akan membuat masyarakat adat semakin terasing di tanahnya sendiri. Selama ini pun, konflik sosial yang terjadi melibatkan masyarakat adat dengan perusahaan ekstraktif sudah banyak terjadi. Masyarakat adat semakin rentan kehilangan pengetahuan tradisional seiring dengan hilangnya hak mereka atas tanah dan hak kelola.
Selama pemerintah terus menerbitkan kebijakan yang meminggirkan komunitas lokal, maka stigma Pulau Kalimantan sebagai daerah yang tertinggal akan terus hidup.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments