Laporan terbaru Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai kesetaraan gender dalam profesi kesehatan menyatakan, dua per tiga sumber daya manusia di sektor kesehatan secara global adalah perempuan. Fenomena ini dikenal juga dengan istilah “feminisasi profesi kesehatan”, yakni tenaga kesehatan makin didominasi oleh perempuan.
Namun, dominasi jumlah perempuan dalam profesi kesehatan tidak langsung bermakna positif dalam perspektif kesetaraan gender. Pasalnya, jalur karier mereka setelah pendidikan dan kewajiban dinas dipengaruhi oleh tuntutan sosial, termasuk besarnya peran gender, yang mereka hadapi di tengah masyarakat yang patriarkal. Mereka tidak begitu bebas memilih, misalnya, lokasi tempat kerja dan meniti karier di bidang kesehatan untuk masyarakat yang membutuhkan.
Dalam konteks Indonesia, fakta itu tampak jelas pada tenaga kesehatan yang mengikuti program Nusantara Sehat (NS) yang dimulai sejak 2015. Lewat program ini, Kementerian Kesehatan telah mengirim lebih dari 7.000 tenaga kesehatan ke kawasan pelosok, terpencil, dan pinggiran di ratusan kabupaten dan kota tertinggal di Indonesia.
Selain sebagai strategi untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih merata pada penduduk yang membutuhkan, program NS dapat dipandang juga sebagai investasi jangka panjang. Hal ini dikarenakan para alumnus program NS berpeluang besar bisa mengembangkan karier untuk masyarakat di daerah terpencil, terutama memberikan pelayanan kesehatan primer yang paripurna.
Tahun lalu, saya terlibat dalam tim riset kualitatif (belum dipublikasi hasilnya) pada paruh awal 2019 untuk mengevaluasi program NS tersebut. Riset ini melengkapi studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Kebijakan Jaminan Kesehatan di Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Penelitian kami menggali berbagai aspek kerja para tenaga dan alumnus program tersebut, termasuk persepsi karier.
Kami mewawancarai 48 orang tenaga kesehatan yang sedang dalam kontrak aktif atau selesai kontrak program Nusantara Sehat. Kami menemukan bahwa gender merupakan salah satu faktor yang membatasi persepsi karier para profesional kesehatan perempuan Indonesia sehingga mereka tidak meneruskan bekerja di daerah yang paling membutuhkan.
Determinan gender
Nusantara Sehat (NS) merupakan sebuah program perekrutan dan penugasan khusus tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada fasilitas kesehatan primer, terutama Puskesmas di pelosok. Sejak dimulai empat tahun lalu, program ini telah dikembangkan dari pemberangkatan tenaga kesehatan dalam bentuk tim berisi 5-6 orang personel (NS tim), hingga penugasan personel kesehatan secara individual (NS individual).
Ada sembilan jenis profesi tenaga kesehatan yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, analis laboratorium kesehatan, kefarmasian, dan tenaga gizi yang dikirim ke pelosok. Kontrak penugasan berdurasi dua tahun. Alumnus dari program yang tergabung dalam tim NS mendapatkan prioritas untuk melanjutkan penugasan secara individu setelah kontrak pertama mereka berakhir.
Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Perempuan
Riset ini menemukan, banyak tenaga yang direkrut program NS sebenarnya menginginkan untuk kembali bekerja di kawasan rural dan terpencil setelah mereka menyelesaikan kontrak dua tahun. Namun, hampir semua tenaga kesehatan NS yang kami wawancarai menyiratkan faktor keluarga dan persepsi peran gender mendominasi narasi mereka akan perjalanan karier. Untuk banyak tenaga kesehatan, keputusan mengenai lokasi kerja mereka selalu diwarnai pertimbangan kuat untuk mendapatkan persetujuan keluarga.
Padahal, tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, gizi, kefarmasian, dan teknisi laboratorium kesehatan adalah sejumlah profesi kesehatan dengan disparitas distribusi yang besar antara kawasan urban dan pedesaan/terpencil di Indonesia. Timpangnya distribusi tenaga kesehatan secara geografis merupakan salah satu tantangan terberat di Indonesia dan sulit diatasi.
Suara tenaga kesehatan perempuan
Orang tua, keluarga, dan pernikahan merupakan faktor penting yang mempengaruhi karier tenaga kesehatan perempuan. Dalam kasus seorang tenaga kefarmasian perempuan yang datang dari keluarga berlatar belakang kehidupan urban, contohnya, identitas gendernya berperan besar dalam menentukan pekerjaannya. Setelah dua tahun penugasan NS di pedalaman Sulawesi Selatan, dia sebenarnya ingin sekali melanjutkan bekerja di kawasan terpencil lagi. Namun, dia mempertimbangkan kembali setelah membicarakannya dengan keluarga.
“Pertama karena aku cewek, dan ayah tidak membolehkan aku mengikuti NS lagi. Lalu pas banget di Cirebon ada lowongan kerja kefarmasian. Jadi saya daftar saja,” kata dia.
Kisah lain, seorang perempuan alumnus program NS yang berprofesi teknisi laboratorium, juga terhambat oleh tuntutan keluarga kepada dirinya sebagai perempuan dewasa. Dia harus mengurungkan niatnya untuk bekerja lagi di kawasan terpencil di bawah program NS individu karena larangan orang tuanya. Ibunya memintanya memprioritaskan menikah.
Tenaga kesehatan perempuan di Indonesia juga menerima penilaian sosial dalam menampilkan peran dalam membangun rumah tangga. Pertimbangan ini jauh lebih diutamakan daripada pertimbangan gaji, kemajuan karier, maupun idealisme mereka sebagai tenaga kesehatan yang melayani masyarakat yang membutuhkan.
Seorang perawat yang menikah dengan rekan laki-lakinya, sesama tenaga program NS, misalnya, bersedia bekerja dan tinggal di daerah terpencil lagi sepanjang suaminya juga bekerja di lokasi berdekatan. Jika harus memilih, responden perempuan ini akan memilih menemani suaminya ketimbang bekerja sebagai perawat yang berjauhan dengan suami. Bagi dia, setelah menikah, perempuan tidak wajib bekerja.
Selain dituntut untuk membangun rumah tangga mereka, seorang perempuan dengan keterampilan pelayanan kesehatan juga diharapkan berperan sebagai pendamping bagi anggota keluarga mereka yang memerlukan perhatian medis. Seorang responden bidan, misalnya, setelah kontrak program NS tim berakhir, dia tinggal dan bekerja di kota asalnya di Pulau Sumatra agar bisa dekat dan merawat ibunya yang sakit jantung. Dia tetap mempertimbangkan ikut program NS individu yang memungkinkan dia memilih lokasi tugas di daerahnya sendiri.
Semua kisah mereka memiliki satu benang merah yang tebal. Prioritas untuk kebutuhan dan keutuhan keluarga – nilai yang sangat dipercaya sebagai dasar dari masyarakat komunal Indonesia – telah membatasi pilihan bekerja bagi para tenaga profesional kesehatan perempuan.
Baca juga: Wahai Suami, Karier Istrimu Bukan Hanya Soal Materi
Feminisasi sektor kesehatan
Sebenarnya, terdapat potensi pengaruh positif dari “feminisasi sektor kesehatan” terhadap sistem kesehatan dalam usaha meningkatkan kesehatan masyarakat. Berbagai studi menunjukkan bahwa pengalaman yang dibangun sebelum dan selama pendidikan profesi kesehatan, yang turut dibentuk oleh identitas gender, sangat memberi dampak pada pola kinerja tenaga kesehatan.
Beberapa ahli membangun argumen bahwa motivasi untuk menjalani pendidikan kedokteran, misalnya, berbeda antara perempuan dan laki-laki. Tenaga medis perempuan memiliki motivasi yang lebih altruistis daripada laki-laki. Riset lain menyatakan dalam menjalankan praktiknya, dokter perempuan lebih cenderung memiliki pendekatan multidisipliner sehingga memungkinkan pendekatan yang paripurna bagi pelayanan pasien. Selain itu, mereka lebih mampu membangun kemitraan dalam relasi dokter-pasien mereka. Namun, pola gender pada distribusi kesehatan saat ini lebih menjadi momok, dibandingkan dengan dampak positif yang dapat dihasilkan kepada kesehatan masyarakat.
Seperti ditunjukkan oleh riset kami, peran gender yang tidak dipertanyakan dan dibebankan kepada tenaga kesehatan perempuan memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan karier mereka. Hal ini pada akhirnya juga akan berdampak kepada posisi ekonomi dan kuasa profesional mereka dalam sistem kesehatan. Tekanan pandangan konservatif terkait pembangun keluarga dan menuruti keputusan suami akan mempengaruhi kesungkanan para tenaga kesehatan untuk bekerja penuh di lokasi-lokasi terpencil.
Pada akhirnya, kita perlu melihat dampak peran gender terhadap distribusi tenaga kesehatan Indonesia. Ini bisa ditelusuri dalam sistem pendidikan dan sistem kesehatan yang luput mempertimbangkan faktor gender. Sebab, kesetaraan gender bukan sekadar objek yang harus diatasi dengan meningkatkan kesehatan ibu dan anak atau keluarga berencana.
Yang tak kalah penting adalah keterwakilan perempuan dalam angkatan tenaga kerja profesi kesehatan. Hal ini bisa menjadi kekuatan apabila kita menyediakan ruang bagi mereka untuk terbuka menegosiasikan tuntutan masyarakat yang ditimpakan pada mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments