Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) baru saja melaporkan bahwa pelayanan program Keluarga Berencana (KB) secara nasional dalam periode setahun ke belakang menembus 120 persen, atau melebihi target.
Data yang dihimpun oleh BKKBN hingga Sabtu, 18 Juni 2022, menunjukkan jumlah akseptor (pengguna layanan KB atau alat kontrasepsi) sebanyak 1.325.813 orang. Ini lebih tinggi dari target BKKBN yang hanya 1.146.000 akseptor saja.
Provinsi dengan akseptor terbanyak adalah Jawa Barat, yakni mencapai 249.978 akseptor, sedangkan yang terendah adalah Papua Barat yang hanya mencatat 3.432 akseptor.
Program KB sendiri merupakan program pemerintah berskala nasional yang mulai digerakkan sejak tahun 1970-an. Tujuannya adalah menekan angka kelahiran dan mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia.
Di masa kini, KB bukan hanya sebagai upaya penurunan angka kelahiran, namun juga berkaitan dengan tujuan pemenuhan hak-hak reproduksi, maupun promosi, pencegahan dan penanganan masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas, serta kesehatan dan kesejahteraan ibu dan bayi.
Pemerintah menyelenggarakan KB dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan kontrasepsi guna mencegah atau menunda kehamilan.
Namun, tahukah kamu bahwa praktik program KB tanpa kita sadari ternyata bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan?
Baca juga: Kontrasepsi untuk Laki-laki: Mengapa Banyak yang Ogah Pakai?
Penargetan Kontrasepsi hanya Fokus pada Perempuan
Dari tahun ke tahun, perbedaan tingkat partisipasi perempuan dan laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi sangat timpang.
Hasil survei BKKBN tahun 2018 menunjukkan bahwa angka partisipasi perempuan dalam penggunaan kontrasepsi sebesar 96,7 persen. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan partisipasi laki-laki yang hanya sebesar 3,3 persen.
Ketimpangan tersebut sebagian besar akibat penyediaan alat kontrasepsi oleh negara yang jenisnya lebih banyak ditujukan untuk perempuan, seperti intrauterine device (IUD) atau spiral, suntik, pil, susuk atau implant, dan tubektomi (sterilisasi perempuan). Sedangkan untuk laki-laki, opsi yang tersedia hanya vasektomi (sterilisasi laki-laki) dan penggunaan kondom saat berhubungan seksual.
IUD, berupa alat berbahan plastik yang dipasang di dalam rahim, misalnya, merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak ditawarkan kepada pengguna KB karena dapat mencegah kehamilan selama bertahun-tahun dan tidak mengganggu hormon dalam tubuh perempuan.
Kampanye-kampanye KB di manapun hampir tidak pernah menekankan dan memprioritaskan pemakaian kondom untuk laki-laki. Justru, kondom seringkali dikaitkan dengan pelacuran.
Dari hal ini saja sudah terlihat bagaimana keberhasilan program KB secara nasional menunjukan adanya ketimpangan gender.
Padahal, perempuan menderita banyak efek samping sebagai dampak penggunaan alat kontrasepsi pada tubuhnya. Ini termasuk penambahan berat badan yang tidak mereka inginkan karena kontrasepsi memengaruhi hormon dalam tubuhnya.
Baca juga: Memaksa Laki-laki Cegah Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir
Perempuan Tak Mendapat Pilihan, Tubuhnya Dikontrol Negara
Memang, program KB tidak hanya akan mendukung upaya pengendalian jumlah penduduk, tapi juga bermanfaat dalam pencegahan dan penanganan masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual, serta menjamin kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi, dan anak.
Namun, yang perlu kita tanyakan, mengapa selama ini sasaran utama program KB sebagian besar adalah perempuan?
Perempuan seakan tidak bisa mengontrol tubuh dan raganya. Kontrol tubuh perempuan dilakukan oleh negara melalui intervensi politik program KB, ditambah kontrol oleh laki-laki, seperti suami.
Padahal, setiap perempuan berhak atas hak reproduksi. Berbagai aturan hukum menjamin hal ini, di antaranya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (HAM), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Hak reproduksi tersebut meliputi hak untuk secara bebas dan bertanggung jawab menentukan jumlah anak, selang waktu dan kapan melahirkan, hak mendapatkan informasi dan sarana-sarana standar kesehatan seksual dan reproduksi, serta hak untuk mengambil keputusan-keputusan tentang reproduksi tanpa diskriminasi dan tekanan.
Program KB di Indonesia seringkali hanya menjadi kewajiban perempuan, didukung oleh keputusan laki-laki sebagai suami. Bahkan, kerap kali suami yang mengatur istri sebaiknya menggunakan sarana kontrasepsi seperti apa, sementara opsi penggunaan kondom jarang menjadi prioritas.
Pada akhirnya, perempuan kehilangan otoritas untuk mengatur tubuhnya maupun mengelola dan mengendalikan aspek reproduksinya. Padahal, yang memahami kondisi dan kesehatan tubuh perempuan adalah perempuan itu sendiri.
Faktor terbesar yang menyebabkan situasi ini adalah ideologi patriarki yang masih melekat kuat pada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ideologi tersebut tampak pada anggapan bahwa kesehatan reproduksi hanyalah persoalan perempuan, karena yang mampu memberikan keturunan (bereproduksi) adalah perempuan. Selain itu, banyak orang juga masih menganggap peran domestik seperti perawatan, pengasuhan, dan pendidikan anak adalah “kodrat” perempuan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik KB di Indonesia saat ini menunjukkan ketimpangan gender dan kentalnya budaya patriarki.
Baca juga: Mitos dan Kinerja Pemerintah yang Belum Maksimal Hambat Pelaksanaan Program KB
Implementasi KB sebagai upaya negara untuk menurunkan kepadatan penduduk di Indonesia pada dasarnya merupakan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai pasangan usia subur (PUS). Namun, pada penerapannya, penggunaan kontrasepsi hanya fokus pada perempuan. Padahal, ada pilihan kontrasepsi juga untuk laki-laki, walaupun sedikit.
Negara dengan budaya patriarkinya menggunakan tubuh perempuan sebagai sarana untuk mencapai tujuan menurunkan angka kelahiran – seakan tempat mereka hanya di sektor privat atau domestik saja.
Melalui model penerapan KB yang tengah berjalan di Indonesia saat ini, tubuh perempuan menjadi objek negara dalam mengontrol seksualitas.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments