Hubungan kebudayaan Indonesia dan Korea Selatan dimulai sejak tahun 1960, kemudian diperkokoh dengan berdirinya kantor diplomat di masing-masing negara pada 1973. Kini, hubungan kedua negara ditandai dengan K-popers dan fandom, atau besarnya minat masyarakat Indonesia pada hallyu wave atau gelombang budaya populer Korea Selatan.
Korean wave ini dimulai dari serial drama Winter Sonata dan Full House pada awal 2000-an, lalu merambah ke ranah musik, K-pop. Mengutip The ASEAN Post, data dari aplikasi streaming musik Spotify pada Januari silam menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia untuk negara dengan streaming K-pop terbanyak setelah Amerika Serikat.
Endah Triastuti, akademisi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI) mengatakan, Indonesia adalah salah satu pasar besar K-pop di Asia Tenggara dan popularitasnya di kalangan orang muda menunjukkan ada keinginan untuk hadir sebagai bagian dari komunitas kosmopolitan.
Di saat bersamaan, ujarnya, kegemaran akan K-pop meningkatkan dinamika sosio-budaya melalui globalisasi dan membuka wacana maupun kesadaran politik lewat budaya fandom alias penggemar K-pop.
Fandom K-Pop dan Politik
Endah mengatakan, ketika seseorang bergabung dengan suatu fandom, akan ada saling berbagi pengalaman atas dasar ketertarikan yang sama dan membentuk solidaritas. Lalu di tengah interaksi tersebut, penggemar tidak takut mengadopsi posisi politik dari idola yang mereka sukai, bahkan mendedikasikan pengetahuan dan tenaga untuk gerakan sosial-politik yang berdampak secara lokal maupun global.
“Dunia K-op lebih dari komoditas komersial dan yang mengejutkan, hal yang kita ketahui 10 tahun lalu perlahan-lahan berubah menjadi gerakan sosial lewat internet dan diskusi dalam fandom,” ujarnya dalam seminar virtual Indonesia in Korea and Korea in Indonesia (26/11), hasil kerja sama Seoul National University (SNU) Asia Center dan FISIP UI.
Baca juga: BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi
Ia mencontohkan praktik kesadaran politik itu dengan gerakan Black Lives Matter di AS, bagaimana aplikasi Dallas Police dipenuhi potongan video singkat penampilan idola K-pop untuk mencegah aksi pelaporan demonstran kepada polisi. Di Indonesia, para K-popers berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial politik, mulai dari donasi atas nama idola sampai sikap menolak Omnibus Law. Fanatisme terhadap idola ini telah berubah menjadi gerakan politik, ujar Endah.
Ia mengatakan, praktik yang dilakukan dalam fandom untuk berbagi isu khususnya politik tersebut telah mengubah pola konsumerisme industri di era digital.
“Berbeda dengan penggemar musik Anglo-Amerika yang berfokus pada praktik berkaitan erat dengan kapitalisme, dedikasi penggemar [K-pop] jalan atas dasar ekspektasi emosional hingga keuntungan yang tidak terlihat lainnya,” kata Endah.
Kegemaran terhadap K-pop terjadi di seluruh belahan dunia, sehingga akademisi menyebut penggemar sebagai “free labors” lewat dedikasinya mempromosikan dan membela idolanya. Endah juga melihat adanya fandom yang tidak mengizinkan aktivitas multifandom atau adanya perang antar penggemar.
“Namun, jika dihadapkan dengan isu politik, perang antar fans itu menghilang. Mereka juga saling mengedukasi tentang moralitas dari isu yang mereka diskusikan” ujarnya.
Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan
Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan
Relasi antar kedua negara juga ditandai dengan highly skilled migrants atau pekerja migran Indonesia dengan keterampilan tinggi yang memilih untuk bekerja di Korea Selatan. Nur Aisyah Kotarumalos, akademisi tamu di SNU Asia Center, mengatakan bahwa ekspatriat Indonesia di Korea Selatan memandang diri mereka sebagai masyarakat global dan ingin mengembangkan karier. Korea Selatan kemudian menjadi pilihan tepat dan memenuhi syarat karier internasional tersebut, kata Aisyah.
“Artinya mereka ambisius dan agresif, mereka ingin mencapai hal di luar batasan nasional. Mereka melihat Indonesia masih kecil dan Korea Selatan memberi kesempatan untuk mengembangkan karier,” ujar Aisyah.
Dalam panel diskusinya tentang “Indonesian Highly Skilled Migrants in South Korea” dalam webinar sama, ia menggarisbawahi masih sulitnya mendata ekspatriat berkualitas Indonesia karena kurangnya dokumentasi dari kedutaan. Selain itu, pekerja migran dengan kompetensi yang bagus, dalam artian memiliki gelar dari studi universitas serta keahlian sesuai persyaratan di Korea, selalu diartikan sebagai kulit putih, berprivilese, dan berasal dari negara Barat.
“Yang kita temukan tentang pekerja migran Indonesia selalu diasosiasikan dengan pekerja domestik atau yang tidak terdokumentasi. Selalu juga ada pandangan miring tentang migran dan imigran yang non-western, bukan kulit putih, dan bukan subjek elite. Sehingga pengalaman mereka tidak dianggap serius,” ujarnya.
Panggilan Berdasarkan Senioritas dalam Masyarakat Korea
Pengalaman pekerja migran selalu dibagi atas dua bingkai, kulit putih dan bukan kulit putih. Untuk memperkaya penelitian dan literasi tentang pekerja migran non-western, khususnya dari Indonesia, Aisyah melakukan wawancara dengan delapan ekspatriat Indonesia dan pengalaman mereka terkait budaya dan tatanan hierarkis dunia kerja Korea Selatan.
Secara garis besar, pekerja Indonesia dibagi atas dua kategori, self initiated expatriates dan assigned transfer dari perusahaan Korea di Jakarta. Budaya kerja yang mereka alami juga berbeda, ada yang lebih tradisional, yang mengindikasikan sulitnya keseimbangan hidup kerja dan pribadi. Sementara itu ada pula budaya perusahaan modern yang jauh lebih lugas dan memudahkan pekerja memiliki waktu pribadi.
Tatanan hierarkis dan senioritas juga sangat penting dan bisa ditemukan dalam kedua budaya korporasi tersebut. Pekerja harus menyebut posisi mereka dalam perusahaan saat saling berkenalan dengan urutan pemanggilan: Nama, diikuti dengan posisi, lalu Nim (tuan atau nyonya), ujar Aisyah.
Baca juga: Bercermin dari Gerakan Fundamentalisme Agama di Korea Selatan
Sebagai pekerja asing, ekspatriat Indonesia tidak dipandang sebagai saingan, tetapi sulit membangun relasi dengan sesama pekerja jika tidak memiliki koneksi langsung dengan koleganya, ujarnya.
“Salah satu responden mengatakan sulit menjalin pertemanan bahkan jika duduk bersebelahan. Kalau deskripsi pekerjaan tidak saling berhubungan, mereka tidak akan bicara. Sangat berbeda dengan Indonesia,” kata Aisyah.
Kendati demikian, Aisyah menemukan pekerja migran dengan keterampilan tinggi ini memiliki pengalaman positif bekerja di perusahaan Korea Selatan, umumnya karena mereka bekerja dengan budaya kerja yang jauh lebih modern.
“Perbedaan budaya yang mereka temukan di ranah kerja dianggap sebagai kesempatan untuk belajar. Mayoritas dari mereka memang telah mengemban pendidikan perguruan tinggi di Korea, jadi tidak ada kesulitan menyesuaikan diri. Yang tidak sekolah di Korea juga tetap menganggap ini sebagai pengalaman positif,” ujarnya.
Comments