Women Lead Pendidikan Seks
October 02, 2018

Islam Nusantara, Produk Lama yang Masih Relevan Pada Zaman Internet

Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia, proses pengembangan adaptasi dan akomodasi Islam terhadap budaya lokal bukan hal yang sederhana karena mengharuskan implementasi Islam tampil dalam berbagai kearifan lokal.

by Ridwan Lubis
Issues // Politics and Society
Share:

Polemik Islam Nusantara akhir-akhir ini telah berkembang luas tidak hanya di ruang diskusi ilmiah off line, tapi juga di jalur online.

Bahkan sebagian pengurus organisasi keagamaan juga menolak konsep Islam Nusantara, karena mereka menuduh konsep itu bertentangan dengan hakikat kebenaran Islam.

Lewat tulisan ini, saya akan mengkaji relevansi Islam Nusantara di Indonesia dengan mengaitkannya dengan wujud kehadiran Islam yang ramah dan damai di alam semesta sebagaimana amanat dalam surat Al Anbiya Alquran.

Lewat konsep Islam Nusantara, Islam dihadirkan sebagai perekat kohesi sosial dan kasih sayang terhadap semesta alam. Bukan hanya untuk umat Islam tetapi juga umat yang di luar Islam.

Istilah Islam Nusantara

Istilah ini mulai populer dimulai sejak peralihan dari abad ke-20 ke abad ke-21 sebagai respons terhadap gerakan Islam trans-nasional. Ide tentang Islam Nusantara adalah wujud dari semangat penyebaran Islam.

Pada dasarnya, Islam dapat dilihat dari dua sisi yaitu universal dan lokal. Sisi universal dari Islam adalah ajaran yang permanen, tidak boleh berubah dan tidak akan berubah yaitu akidah dan ibadah.

Akidah sebagai landasan teologis adalah prinsip utama dalam ajaran Islam yang menjadi kata kunci dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ibadah adalah upaya pendekatan seorang muslim kepada Allah yang telah dibakukan cara dan muatannya.

Sementara itu Islam Nusantara dikembangkan untuk mempertemukan Islam dengan budaya lokal. Sehingga dapat disaksikan nilai-nilai Islam terintegrasi dengan budaya masyarakat setempat. Proses integrasi ajaran Islam terhadap budaya inilah yang merupakan proses adaptasi dan akomodasi Islam terhadap tradisi yang berkembang dalam masyarakat.

Jika sisi universal Islam tidak mungkin diubah, sebaliknya untuk sisi lokal Islam, dibuka peluang seluas-luasnya bagi setiap penganut Islam untuk mengembangkan sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal.

Dengan demikian, Islam Nusantara dapat diartikan sebagai upaya sosialisasi sekaligus internalisasi akidah dan ibadah Islam melalui pendekatan yang dinamis, kreatif, dan inovatif dalam menjawab perubahan sosial sekaligus perubahan budaya.

Perkembangan Islam di Tanah Nusantara

Dalam waktu yang amat singkat, tidak lebih dari satu abad, Islam dari tanah Arab telah menyebar ke tiga benua yaitu Afrika, Eropa, dan Asia termasuk Nusantara. Islam kemudian membentuk hemisperic yaitu bentangan wilayah peradaban yang berada di seputar Laut Tengah, Mediterania, dan Samudera Hindia.

Nusantara adalah titik paling subur dalam penyemaian benih Islam meskipun kawasan ini tidak terlalu dikenal dalam peta geologi Islam sebelumnya.

Islam menyebar di Nusantara sebagai hasil dari strategi penyiaran Islam secara damai dan penuh kasih sayang. Strategi dilaksanakan lewat tiga pilihan yaitu adaptasi, akomodasi, dan seleksi. Bisa dibayangkan andaikan Islam disebarkan melalui pendekatan yang kaku, sulit dibayangkan penyiaran Islam merata ke seantero Nusantara.

Pendekatan ini berbeda dengan Islamisasi di benua lain seperti Eropa dan Afrika yang didahului oleh strategi ekspansi atau penaklukkan. Pendekatan penaklukan dilakukan atas dasar pertimbangan kedekatan wilayah dengan pusat di Baghdad, Irak.

Sebaliknya di Asia Tenggara yang jaraknya lebih jauh, kecil kemungkinan dilakukannya melalui strategi ekspansi. Oleh karena itu, penyiaran Islam ke Nusantara dilakukan dengan melarutkan Islam ke dalam budaya lokal. Akibatnya, tentu saja, sulit diperoleh keseragaman budaya Islami di Nusantara.

Proses adaptasi terjadi ketika para penyiar Islam menyesuaikan penyampaian ajaran Islam baik muatan maupun sarana pembelajaran dengan budaya lokal. Bahkan lebih dari itu, masyarakat lokal diberi kesempatan untuk memahami, menghayati serta mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

Pendekatan ini dilakukan dengan memperkenalkan ajaran Islam sebagai kelanjutan dari Hinduisme dan Buddhisme. Islam kemudian dikemas dengan simbol-simbol lokal sehingga masyarakat menerima Islam sebagai milik mereka sendiri yang asli (genuine).

Dengan demikian, Islam dipraktikkan dengan meminjam idiom-idiom yang sudah dikenal sebelumnya dalam tradisi lokal. Islam melebur dalam beberapa prosesi kebudayaan lokal, seperti upacara selamatan, perkawinan, dan pemakaman dengan semangat ibadah.

Seandainya upaya memperkenalkan Islam terhadap masyarakat menggunakan format budaya yang tidak mereka kenal sebelumnya, tentu mengalami kesulitan, memakan waktu yang lama dan belum tentu bisa diterima masyarakat. Oleh karena itulah pengenalan terhadap Islam adalah dengan menjadikan budaya lokal sebagai jembatan yang mengantarkan masyarakat untuk mengenal Islam.

Penolakan terhadap Islam Nusantara

Namun, masih banyak yang menolak Islam Nusantara. Alasan paling utama adalah adanya kekhawatiran munculnya Islam aliran baru atau mazhab baru yang akan memadamkan semangat Islam dari dalam.

Kelompok umat Islam tertentu menuduh bahwa Islam Nusantara merupakan strategi baru mendukung proses integrasi agama dan budaya yang berdampak pada munculnya aliran-aliran baru yang mengaburkan Islam (sinkretisme).

Mereka khawatir munculnya Islam Nusantara akan menghadirkan aliran Islam baru yang berasal dari berbagai model interaksi umat Islam dengan ajaran di luar Islam.

Mengantisipasi Sinkretisme

Proses integrasi Islam dan budaya lokal ini tidak bertentangan dengan akidah dan ibadah, karena telah diberikan rambu-rambu peringatan.

Para ulama mengantisipasinya dengan menggunakan strategi dakwah yang menampik dengan bijaksana tradisi budaya yang dipandang bertentangan dengan akidah dan ibadah.

Upaya ini menunjukkan bahwa tidak ada unsur kompromi antara kepercayaan dasar yaitu akidah dan ibadah dengan unsur budaya yang bertentangan. Pemilihan unsur lokal yang sesuai dengan akidah dan ibadah dilakukan dengan bijaksana dan sesuai dengan strategi dakwah Al Nahl.

Upaya pengenalan Islam ke masyarakat lokal ditempuh secara bertahap melalui pola dakwah yang berangsur-angsur (al tadrij fi al dakwah). Ini merupakan strategi penyiaran yang telah dicontohkan Nabi Muhammad sejak dahulu yang kemudian dilanjutkan para sahabatnya.

Pola ini dilanjutkan oleh para ulama yang meneruskan dakwah ke seantero Nusantara sehingga Islam menyusup jauh ke berbagai wilayah terpencil di negeri ini.

Menakar Islam Nusantara

Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia, proses pengembangan adaptasi dan akomodasi Islam terhadap budaya lokal bukan hal yang sederhana karena mengharuskan implementasi Islam tampil dalam berbagai kearifan lokal.

Kearifan lokal dipakai mubalig untuk memperkaya proses pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam.

Atas dasar itu, Islam Nusantara dikembangkan sebagai proses pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam berdasar nilai-nilai universal yang menjadikan Islam di Nusantara membawa pesan perdamaian.

Islam Nusantara merupakan sebagian alasan penerimaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai negeri perjanjian dan perdamaian.

Pancasila adalah landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan Islam, landasan kehidupan manusia sebagai hamba Allah mewujudkan fungsi ibadah.

Pancasila merupakan titik kulminasi nilai-nilai universalitas Islam, dalam kehidupan berkemanusiaan. Dengan Islam Nusantara seorang muslim menghadirkan kedamaian, keadilan, dan kasih sayang kepada seluruh alam semesta.

Jadi, Islam Nusantara bukan agama baru, tapi wujud karakter Islam yang menjunjung persamaan derajat, rasional, dan berkemajuan, yang tetap relevan di zaman Internet.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ridwan Lubis Professor in Religious Studies, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta