Bertepatan dengan Pidato Kepresidenan pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jumat (14/8), sejumlah aktivis dari gerakan buruh, perempuan, dan mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), yang dianggap mengancam hak pekerja.
Siaran pers Aliansi Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) menyatakan, aksi ini dilakukan oleh berbagai organisasi lintas isu, mulai bergerak dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menuju ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Unjuk rasa ini akan diikuti setidaknya 10.000 anggota GEBRAK secara simultan di berbagai kota, termasuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Solo, dan Semarang.
Baca juga: Apa Itu Omnibus Law dan Mengapa Kita Harus Waspada
Aksi protes ini didorong oleh tindakan DPR yang membahas RUU Ciptaker di tengah masa reses ini. Padahal pada 16 Juli lalu, dalam pertemuan antara perwakilan GEBRAK dengan Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Badan Legislasi (Baleg) di DPR, pihak DPR memastikan tidak akan ada sidang dan rapat pembahasan Omnibus Law.
Juru bicara GEBRAK, Nining Elitos mengatakan, banyak hak-hak normatif pekerja yang selama ini sudah diperjuangkan akan hilang akibat RUU Ciptaker.
“Hak-hak normatif ini bakal musnah, akibat dari hilangnya upah minimum kabupaten/kota, sehingga buruh-buruh akan dibayar di bawah Upah Minimum Provinsi, ini bakal berbuntut pada kondisi kerja yang memburuk,” ujar Nining, yang juga Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dalam siaran pers GEBRAK.
Unjuk rasa tidak hanya dilakukan di jalan, sesuai protokol kesehatan, tetapi juga secara daring. Kampanye ini sudah dilakukan selama ini, namun semakin digencarkan lagi menyusul kemunculan tagar #Indonesiabutuhkerja yang dipromosikan oleh beberapa influencer untuk mendukung Omnibus Law Ciptaker ini.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Tunda Pembahasan RUU Bermasalah di DPR
Jagat media sosial dikagetkan dengan kemunculan sejumlah selebritas Indonesia yang tiba-tiba secara serempak mengunggah konten berisi ajakan kepada masyarakat untuk mendukung Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satunya adalah aktris Gritte Agatha, yang mengunggah video dukungannya terhadap Omnibus Law.
Selain Gritte, musisi Ardhito Pramono dan pembawa acara Gofar Hilman juga membuat konten dukungan RUU tersebut. Namun menyusul kritikan dari warganet, beberapa selebritas itu langsung menghapus konten mereka.
“Atas ketidaktahuan dan seakan tidak berempati pada mereka yang sedang berjuang menolak RUU ini, saya mohon maaf. Ke depan saya akan berusaha lebih berhati-hati dan peduli,” ujar Ardhito dalam salah satu twitnya.
Tagar yang tiba-tiba muncul dan viral di media sosial ini memunculkan kecurigaan bahwa pemerintah sengaja membayar para influencer untuk mengampanyekan RUU ini. Dilansir CNBCIndonesia.com, Staf Ahli Bidang Regulasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Elen Setiadi mengatakan, ia tidak tahu menahu perihal para influencer yang mempromosikan RUU Cipta Kerja ini. Ia menambahkan, Kemenko Perekonomian tidak mungkin memiliki anggaran untuk program seperti itu.
Omnibus Law berdampak buruk pada semua
Sekretaris Jenderal Organisasi Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan para influencer atau artis harus berhati-hati dengan apa yang mereka promosikan dan perlu lebih teliti dan kritis memahami substansi dari promosi tersebut.
“Sebagai figur publik, tanggung jawab kepada moral dan nilai-nilai kemanusiaan seharusnya sudah melekat dan menjadi dasar dalam pekerjaan mereka. Mereka akan menyikapi secara cerdas jika mereka tahu sebenarnya apa yang menjadi masalah di masyarakat,” ujar Dewi kepada Magdalene, Jumat (14/8).
Menurut Dewi, masyarakat, dalam hal ini influencer, perlu tahu bahwa RUU Omnibus Law sangat berbahaya terhadap semua sektor, tidak hanya buruh tetapi juga petani hingga nelayan.
“RUU ini lebih jahat dari UU Agraria di masa penjajahan Belanda, karena membuka monopoli tanah tiada akhir lewat pemberian Hak Guna Usaha langsung 90 tahun bagi korporasi. Padahal, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sudah diatur 25-30 tahun saja,” ujar Dewi kepada Magdalene.
Selain itu menurutnya, Omnibus Law akan mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan yang sudah dihilangkan di UUPA. Jika Omnibus Law disahkan, ujar Dewi, maka sangat dimungkinkan konflik agraria, penggusuran, dan pemiskinan secara struktural semakin parah.
“Jika disahkan, akan semakin banyak petani yang ditangkap dan direpresi dengan dalil RUU ini,” ia menambahkan.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Tiasri Wiandani mengatakan, RUU Ciptaker juga akan berdampak pada penghidupan buruh tani perempuan, akibat alih fungsi lahan yang dimudahkan prosesnya di dalam RUU tersebut.
“Melihat dari konflik-konflik lahan yang terjadi, dan bagaimana perempuan berupaya mempertahankan lahannya, ini bakal berujung pada pemiskinan perempuan, karena kebijakan-kebijakan yang tidak berperspektif perempuan,” ujar Tiasri kepada Magdalene pada Kamis, (14/8).
Tiasri Wiandani mengatakan, RUU Ciptaker akan sangat berdampak pada kualitas hidup buruh perempuan, apalagi menyangkut upah. Ketika RUU ini disahkan, ini akan berdampak pada standar kualitas kehidupan pekerja perempuan, ujarnya.
“Ketika buruh perempuan mengambil cuti haid, korporasi tidak berkewajiban membayarkan upah buruhnya. Sedangkan di UU Ketenagakerjaan ini sudah diatur bahwa buruh perempuan punya hak dua hari untuk cuti haid dan upah dibayarkan secara penuh,” ujarnya.
Selain itu, sistem pengupahan akan ditarik menjadi sistem pengupahan provinsi, padahal undang-undang ketenagakerjaan memiliki beberapa standar upah, yakni upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan upah minimum sektor.
“Ketika upah minimum hanya berdasarkan pada UMP ini bakal sangat berdampak pada Buruh perempuan dalam sektor padat karya yang jumlahnya sangat banyak,” ujarnya.
Comments