Women Lead Pendidikan Seks
June 20, 2022

Janji Surga Lewat Poligami dalam ‘Keep Sweet: Pray and Obey’

Semakin banyak istri, semakin tinggi pula kedudukan laki-laki di dalam surga. Doktrin jemaat FLDS ini cuma menguntungkan laki-laki.

by Aurelia Gracia, Reporter
Culture // Screen Raves
Review Keep Sweet Pray and Obey
Share:

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler

Segudang tanda tanya mungkin muncul di kepalamu, ketika mendengar seorang perempuan langsung menikah dengan laki-laki beristri yang baru saja ditemuinya di gereja. Namun, kenyataan itulah yang direkam dokumenter Keep Sweet: Pray and Obey (2022). Mereka menyorot pernikahan jamak di kalangan jemaat Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints (FLDS).

Paham poligami itu pertama kali dibenarkan oleh Joseph Smith, nabi pertama Mormonisme. Menurutnya, memiliki banyak istri adalah yang sesungguhnya diinginkan Yesus, sehingga hukum itu yang harus dijalankan untuk mendapatkan keselamatan tertinggi. Bahkan, Joseph sendiri memiliki 40 istri.

Penulis Brian Hales menjelaskan awal mula poligami yang dilakukan Joseph, lalu diikuti jemaat FLDS. Melalui studi Encouraging Joseph Smith to Practice Plural Marriage: The Accounts of the Angel with a Drawn Sword (2010) ia mengatakan, ada sosok malaikat menampakkan diri dalam hadapan Joseph. Malaikat itu memerintahkannya melanjutkan pernikahan jamak.

Baca Juga: Poligami: Ketika Nafsu Menunggangi Agama

“Saat menampakkan diri untuk ketiga kalinya, malaikat datang membawa pedang terhunus, mengancam Smith dengan kehancuran. Kecuali ia mematuhi perintah itu sepenuhnya,” tulis Brian.

FLDS sendiri merupakan agama perpecahan dari Latter-day Saints (LDS) atau Mormon, yang muncul pada abad ke-20. Anggota FLDS dikucilkan dari LDS, lantaran ingin tetap mempraktikkan pernikahan jamak. Sementara LDS pada saat itu mengeluarkan “Manifesto Mormon”, sebuah hukum antipoligami, setelah muncul kampanye antipoligami di Amerika Serikat yang menciptakan gangguan besar dalam komunitas Mormon.

Dengan demikian, keputusan berpoligami lantas dilakukan Lloyd Wall, mantan jemaat FLDS. Dalam dokumenter itu, ia menceritakan pengalamannya diperintahkan Rulon Jeffs—pemuka agama yang menganggap dirinya nabi—untuk menikahi Sharon, salah seorang jemaat perempuan.

“Waktu itu saya sedang menghadiri pertemuan di hari Minggu. Lalu sang nabi menarik saya dan mengatakan, ‘Sharon milik keluargamu. Ayo kita selesaikan (pernikahannya) malam ini,” cerita Lloyd.

Sebagai eks jemaat LDS, Myrna Bradshaw, istri pertama Lloyd, mengaku sempat keberatan dengan hidup berpoligami, sebelum akhirnya terbiasa. Ini dikarenakan, ia dan Lloyd baru bergabung dengan FLDS setelah menikah dan memiliki lima orang anak.

“Rumah tangga kami nggak selalu mulus,” kata Myrna, mendeskripsikan kehidupannya dalam pernikahan jamak itu selama 30 tahun.

Pernikahan Lloyd dengan Sharon berakhir karena adanya perbedaan pendapat antara Lloyd dan Warren Jeffs—anak dari Rulon yang menjabat sebagai nabi setelah ayahnya meninggal. Lloyd juga menyebutkan, ia tidak menyukai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Warren.

Akibat perselisihan itu, Warren memerintahkan Sharon untuk menikah dengan laki-laki lain. Kemudian pada 2014, Myrna dan Lloyd meninggalkan FLDS tanpa keterangan jelas.

Di golongan perpecahan Mormon tersebut, nabi memiliki otoritas untuk memerintahkan perempuan mana pun, menjadi istri laki-laki, sekalipun perempuan itu telah bersuami. Dalam kepercayaan ini, suara nabi dianggap perwakilan Tuhan yang harus didengarkan, sehingga ketaatan terhadap nabi adalah yang terpenting.

Selain itu, nabi juga yang mengatur pasangan dalam pernikahan. Ia punya wewenang untuk “memindahtangankan” perempuan dan anak-anaknya ke laki-laki lain, ketika suaminya dianggap melanggar peraturan.

Peristiwa serupa juga terjadi pada Alicia Rohbock, salah satu istri Rulon. Setelah kematian Rulon, ia menikah dengan Leroy Jeffs, anak mendiang suaminya. Namun, Leroy diusir dari persekutuan gereja lantaran dianggap tidak mematuhi peraturan FLDS. Karena itu, Warren meminta Alicia untuk menikah dengan Seth Jeffs, salah satu saudara kandung sang nabi.

Lebih dari itu, Warren kerap mengingatkan jemaatnya yang laki-laki, bahwa mereka minimal memiliki tiga istri. Berdasarkan keyakinannya, semakin banyak istri dan anak, semakin tinggi pula posisi mereka di surga.

Semasa hidupnya, Rulon sendiri memiliki 75 istri. Sementara Warren memiliki 78 istri. Termasuk sejumlah istri mendiang sang ayah yang juga dinikahkannya, dengan mengatakan dirinya adalah sosok reinkarnasi Rulon.

Sebenarnya sejak 1935, Utah, negara bagian tempat FLDS berada, melarang poligami.Itu sebabnya, mayoritas keluarga yang menganut poligami hidup bersembunyi.

Contohnya Lloyd yang menggunakan nama samaran. Di akta kelahiran Rebecca Wall—salah satu anak dari pernikahan keduanya dengan Sharon, Lloyd mencantumkan “Lewis Wilson” sebagai nama ayah Rebecca. Namanya lalu tercatat sebagai Rebecca Wilson di catatan resmi negara.

Kehidupan berpoligami yang disembunyikan itu juga dapat dilihat melalui data.Pada 2012 Associated Press mencatat, sejak 1962 hanya ada dua kasus poligami yang dituntut, tanpa melibatkan kasus kejahatan lain. Sebab, hukum di Utah akan menghitung poligami sebagai kejahatan, ketika seseorang juga terlibat dalam kasus lainnya berupa penculikan, perdagangan manusia, pembunuhan kriminal, penyelundupan, pelecehan anak, dan pelanggaran seksual.

Secara kasat mata, kondisi ini jelas menjerat perempuan dan hanya menguntungkan laki-laki. Pasalnya, tidak disebutkan apakah perempuan juga dijanjikan kedudukan tinggi di surga. Namun, atas dasar “perintah Allah”, mereka memuliakan laki-laki dengan menerima pernikahan paksa, lewat indoktrinasi yang kerap disuarakan sang nabi.

Baca Juga: 'Our Father': Cerita Korban Pemerkosaan Medis Cari Keadilan

Melanggengkan Kekerasan Terhadap Perempuan

Elissa Wall tak mau dinikahkan dengan sepupunya sendiri. Ia memohon kepada Warren, yang bersikeras melakukannya.

“Kamu merasa lebih tahu daripada nabi? Kalau kamu mempertanyakan saya, artinya kamu juga mempertanyakan Allah.” Kalimat itu keluar dari mulut Warren, sebagai respons permohonan jemaatnya.

Tak ada pilihan lain, Elissa yang saat itu berusia 14 tahun menyerahkan dirinya secara terpaksa. Sayangnya, kehidupan rumah tangganya jauh dari happily ever after. Elissa justru menjadi korban kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan suaminya, sampai mengalami beberapa kali keguguran.

Ketika mengungkapkan permasalahannya pada Warren dengan harapan akan mendapatkan perlindungan, sang nabi justru menegur karena Elissa tidak patuh. Warren kembali menekankan ajaran agamanya, bahwa perempuan adalah milik suaminya, yang berhak melakukan apa pun terhadapnya.

Selain poligami, pernikahan paksa juga jadi salah satu aspek yang disorot dokumenter ini. Terutama yang melibatkan perempuan di bawah umur seperti Elissa. Dokumenter ini ingin menegaskan bahwa praktik pernikahan paksa itu jadi sesuatu yang lazim di kalangan FLDS.

Realitas mengerikan itu tentu saja tak terlepas dari aturan-aturan Nabi Warren, yang suka menjodohkan anak-anak perempuan dengan laki-laki berusia jauh lebih tua.

Di sini, perempuan tidak memiliki ruang untuk berbicara. Sesuai judul dokumenter ini, para perempuan FLDS tak punya banyak pilihan selain bungkam, bersikap manis dan meredam emosi, serta patuh atas segala perintah laki-laki. Mereka dipandang sebagai alat berkembang biak—bahkan setiap istri bisa melahirkan sampai 10 kali. Semua ini dianggap sebagai upaya “membantu” pasangannya mencapai surga yang dijanjikan.

Mirisnya, indoktrinasi pernikahan jamak begitu kuat ditanamkan dalam diri setiap perempuan. Sampai-sampai terjadi pernikahan anak. Bahkan, perempuan 12 tahun yang dinikahi Warren menilai, sosok nabi tidak mungkin dinyatakan bersalah atas tindakan kejahatan. Sebab, Tuhan sendiri yang memberitahu Warren tentang waktu yang tepat, bagi seorang anak perempuan untuk menikah.

Akibat dari tindakannya, Warren dinyatakan bersalah atas perilaku seksual dengan anak di bawah umur, setelah melakukan “ritual” di tempat ibadah yang dibangunnya. Tak lain tak bukan adalah hubungan seksual, yang disebutnya sebagai “heavenly sessions”.

Belum cukup sampai di situ. Selain mengontrol otoritas tubuh lewat marital rape,Keep Sweet: Pray and Obey juga menunjukkan tidak adanya ruang bagi perempuan, untuk mengekspresikan diri lewat penampilan.

Ke mana pun mereka pergi, tak ada satu pun yang mengenakan pakaian bermotif dan berwarna terang. Layaknya seragam yang wajib dikenakan, semuanya memakai gaun berwarna pastel yang menutupi tubuh mulai leher hingga tumit. Pun gaya rambutnya yang panjang mesti dikepang atau digulung menutupi leher.

Menurut mereka, tubuh perempuan diibaratkan sebagai tempat ibadah yang suci, sehingga perlu dijaga dan tidak diekspos kepada siapa pun. Karena itu, seluruh aturan berpakaian tersebut mengacu pada satu hal: menghindari ajakan laki-laki melakukan hubungan seksual.

Kenyataannya, FLDS masih mengamini pola pikir bahwa pakaian adalah salah satu penyebab kekerasan seksual pada perempuan, ketika pemerkosaan itu sendiri menjadi budaya yang diwariskan pemuka agama. Bahkan, siku yang tidak tertutup pakaian dianggap mampu membangkitkan hasrat seksual laki-laki.

Stephen Kent, profesor sosiologi di University of Alberta, Kanada, memberikan sudut pandang lain tentang gaya berpakaian perempuan FLDS. Menurutnya, aturan itu salah satu bentuk perilaku mengontrol, agar perempuan terisolasi dari lingkungan di luar lingkup FLDS.

“Pakaian konservatif itu memisahkan perempuan dari dunia luar. Akhirnya membentuk persepsi bahwa kehidupan di luar sana buruk dan sensual,” ujar Kent dalam wawancara bersama ABC News. Hal itu sekaligus memperkuat kepercayaan mereka, dengan memandang dirinya saleh dan dekat dengan Tuhan.

Baca Juga: De-romantisasi Poligami

Apakah Perempuan Punya Pilihan?

Selain mengungkap kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup FLDS, Keep Sweet: Pray and Obey turut menampilkan perlawanan perempuan lewat kisah Rebecca. Sebagai salah satu istri dari Rulon, ia berulang kali mempertimbangkan pilihannya untuk melarikan diri.

“Saya nggak tahu harus dimana harus mencari dukungan atau bantuan shelter perempuan,” tuturnya. Hingga akhirnya ia melarikan diri di Minggu pagi, dengan bantuan adiknya.

Keputusannya untuk meninggalkan FLDS mencerminkan keberanian dan upaya untuk bertahan hidup. Terlebih di tengah keadaannya yang terisolasi dari dunia luar, membuatnya merasa tidak berdaya.

Sayangnya, Rebecca hanyalah segelintir perempuan di FLDS, yang memiliki keberanian dan kesempatan untuk membebaskan diri. Pasalnya, hal itu bukan pilihan utama yang bisa diputuskan, atau bahkan terpikirkan, ketika permasalahan terletak pada budaya patriarki yang bersifat struktural di dalam agama.

Meskipun tidak dijanjikan kedudukan di surga layaknya laki-laki, perempuan tetap memilih menjalankan “perintah Allah”. Mereka meyakini Tuhan memberikan otoritas terhadap laki-laki, sehingga apa pun yang laki-laki katakan adalah perwakilan dari Tuhan.

Selain melakukannya atas dasar iman, mereka juga memiliki konsekuensi apabila memilih untuk tidak patuh.

Contohnya dipisahkan dari anggota keluarga, ada juga yang dikeluarkan dari gereja—bagi mereka yang menolak terlibat dalam pernikahan jamak. Atau pelatihan berkedok ajaran kitab suci yang diberikan Warren untuk istrinya, yang termasuk tindakan seksual.

Lagi-lagi, perbuatan keji ini mengacu pada perintah Tuhan, yang disebutnya sebagai “heavenly training”. Dalam sesi tersebut, Warren akan memutarkan rekaman dirinya mengajarkan para istri cara memuaskannya secara seksual. Hukuman itu jelas di luar kehendak istri-istrinya. Ia kembali memanfaatkan kekuasaannya sebagai laki-laki dan nabi untuk melindungi perilakunya.

Ditambah adanya tekanan dari keluarga dan teman-teman yang akan ditinggalkan. Yang seperti Elissa, adik Rebecca, yang menyebut hari itu sebagai momen kehilangan sahabatnya. Ia mengungkapkan, keputusan kakaknya meninggalkan FLDS menyakiti perasaan ibu dan sejumlah saudara kandungnya. Bahkan, Rebecca sendiri sempat berat hati untuk meninggalkan keluarganya dan para sister wives.

Atau desakan yang datang secara tidak langsung dari ayahnya sendiri, ketika Rulon menyampaikan niatnya untuk menikahi Rebecca. Hal itu menjadi sebuah kehormatan bagi Lloyd, untuk menikahkan anaknya dengan keluarga nabi. Sementara perempuan tersebut merasa jijik, lantaran harus menjadi istri dari laki-laki yang saat itu berusia 85 tahun.

Pun dari pernikahan itu, Lloyd memperoleh istri ketiga dari Rulon. Semacam “barter” atas keputusannya menikahkan anak perempuannya.

Meskipun poligami atau pernikahan jamak bukan satu-satunya terjadi di antara jemaat FLDS, pada akhirnya Keep Sweet: Pray and Obey tetap memberikan angin segar lewat perlawanan sejumlah perempuan. Rebecca dan Elissa berhasil menunjukkan, bahwa perempuan selalu punya pilihan untuk membebaskan diri dari jeratan patriarki. Sekalipun dihadapkan dengan sejumlah risiko, yang bisa membuat mereka terjebak lebih dalam lagi.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.