Pada malam menuju hari ulang tahunnya, Galvarena menerima wangsit. Malam itu, ia tertidur dalam keadaan jendela kamar terbuka. Di dalam mimpinya, seorang laki-laki bertubuh tegap memintanya untuk terus memanjangkan rambutnya hingga usia 24 tahun.
“Itu berarti lima tahun lagi,” kata Claudya ketika Galvarena menceritakan detail mimpinya dengan menggebu-gebu.
“Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Kalau ternyata mimpi itu benar, kamu pasti menjadi orang paling repot karena saat ini saja rambutmu sudah sepanjang ketiak. Pasti repot sekali setiap keramas.”
Galvarena tahu betapa konyol mimpinya itu. Tetapi, tak ada kemungkinan lain selain mimpi itu adalah sebuah wangsit karena ia hadir pada malam menuju hari ulang tahunnya.
“Coba dipikir-pikir lagi, mungkin saja mimpi itu cuma bunga tidur, atau kayaknya kamu kebanyakan baca cerita fiksi.”
Baca juga: Suamiku Menjadi Serigala Ketika Malam Tiba
***
Perempuan berambut sepanjang ketiak itu menatap bayangan wajahnya di depan cermin. Masih segar dalam ingatannya bagaimana laki-laki itu meminta dia untuk terus memanjangkan rambut hingga usia 24 tahun.
“Jika rambutmu tetap panjang hingga malam menuju hari ulang tahunmu yang ke-24, aku akan kembali datang. Tidak melalui mimpi, aku akan mengetuk jendela kamarmu secara langsung,” ujar lelaki itu di tengah adegan cinta mereka dalam mimpi.
Galvarena bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana laki-laki itu bersuara, dan aroma cendana yang menguar dari tubuhnya seperti masih tertinggal di rongga hidungnya.
Apakah laki-laki asing yang muncul di dalam mimpi seorang perempuan, yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, selalu hanyalah buah dari imajinasi saja? Apakah aku terlalu banyak berkhayal sebab telah sekian lama aku hidup dalam kesepian? Bagaimana jika mimpi ini benar-benar wangsit dan sesuatu hal yang luar biasa sedang menungguku di usia 24 tahun?
***
“Setiap hal punya penjelasan dari segi ilmiah. Aku memintamu untuk tidak buru-buru menganggap mimpi itu sebagai wangsit.”
Setumpuk kitab mengenai tafsir mimpi disodorkan Claudya kepada Galvarena. Perpustakaan kampus tampak lengang. Di sekeliling mereka, hanya tampak beberapa mahasiswa duduk dengan buku dan kacamata yang sama tebalnya.
Galvarena tersinggung. Gadis itu melenguh seraya membenarkan letak kacamatanya.
Mudah saja bagi Claudya untuk tidak mempercayai apa yang ada di dalam mimpiku karena dia memang tidak mengalaminya langsung.
Galvarena bersikeras mengabaikan kehadiran Claudya, namun karibnya itu terus meracau menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan tafsir mimpi dari segi ilmiah.
“Kau harus mulai membenahi pola hidupmu yang buruk itu. Selama ini kau terlalu sibuk membaca buku-buku klasik, menghabiskan malam dengan gelas-gelas kopi, terlalu sering pergi ke bar. Pola tidurmu, aduh, buruk sekali. Berapa jam kamu tidur dalam sehari? Dengar aku ya, Galvarena, kamu harus tidur paling tidak delapan jam sehari. Jangan terlalu banyak begadang, dengan begitu tidurmu pasti berkualitas dan kamu tidak akan bermimpi aneh-aneh.”
Claudya terus menceracau laiknya radio rusak, namun Galvarena sama sekali tak menaruh minat untuk mendengarkan pemaparan karibnya itu. Matanya malah terfokus pada sosok seorang perempuan berseragam petugas perpustakaan yang melintas di hadapannya.
Perempuan itu berjalan pelan ke arah barisan rak di sebelah kanannya. Tangannya menopang tumpukan buku-buku klasik. Tetapi bukan itu yang membuat Galvarena takjub, melainkan sebuah fakta bahwa petugas perpustakaan itu memiliki rambut sepanjang betis yang dibiarkannya tergerai.
Baca juga: Apa Kuntilanak dan Sundel Bolong Tak Ingin Potong Rambut?
***
Menurut informasi yang Galvarena kumpulkan dari teman-teman kampusnya, petugas yang ditemuinya tempo hari di perpustakaan itu bernama May. Usianya sekitar akhir tiga puluhan, dan ia telah menjanda sejak usia 25 tahun.
May bekerja di perpustakaan karena kecintaannya terhadap buku-buku. Para mahasiswa biasa memanggilnya Nyonya Rapunzel karena perempuan itu tidak pernah memotong rambutnya selama hampir satu dekade belakangan.
Suatu sore, Galvarena datang menuju perpustakaan dengan maksud menemui Nyonya Rapunzel. Perempuan yang ia cari tengah berdiri di dekat rak sastra ketika Galvarena tiba. Namun, gadis itu sungguh tidak mengerti bagaimana cara paling tepat untuk memulai percakapan.
Ia lalu mendekat ke deretan buku-buku sastra sambil pura-pura bertanya di mana letak buku tertentu. Nyonya Rapunzel memberi arahan agar Galvarena mencari buku tersebut di sisi kirinya. Pada saat itulah gadis itu berbasa-basi mengenai rambut Nyonya Rapunzel.
“Kata para mahasiswa, Nyonya sudah memanjangkan rambut itu selama hampir satu dekade?” suara Galvarena terdengar ragu-ragu, sementara yang diajak bicara hanya tersenyum.
“Nyonya, katakan padaku apakah merawat rambut sepanjang itu sulit?”
Nyonya Rapunzel kembali tersenyum dengan ekspresi maklum sebagaimana seorang dewasa yang sedang menanggapi anak-anak.
“Rambutmu juga cukup panjang. Hanya saja milikku sepanjang betis, dan merawatnya tentu tidak jauh berbeda seperti ketika kamu merawat rambutmu sekarang. Paling-paling membutuhkan lebih banyak sampo.” Perempuan itu kembali tersenyum dan menampakkan raut wajah yang tenang.
Galvarena memutar isi kepalanya, berusaha mencari cara paling sopan untuk mencari tahu lebih jauh alasan kenapa Nyonya Rapunzel memutuskan memanjangkan rambutnya. Paling tidak setelah percakapan sore ini, ia sedikit punya pengetahuan tentang bagaimana merawat rambut panjang dengan baik.
“Apakah kamu berencana memanjangkan rambutmu?” Kali ini, gantian Nyonya Rapunzel yang bertanya. Pertanyaan itu disambut dengan lenguhan.
“Sejujurnya rambutku kali ini adalah yang terpanjang yang pernah aku miliki. Aku lebih sering berambut pendek atau paling-paling sepanjang bahu. Aku berniat memotong rambut di awal bulan ini sebab jadwalku untuk melakukan itu memang setahun sekali,” jelas Galvarena.
“Namun, sebuah mimpi yang datang pada malam menuju hari ulang tahunku tiba-tiba membuat aku tersentak. Nyonya, apakah kau percaya pada kebenaran sebuah mimpi?”
Nyonya Rapunzel terpana dengan pertanyaan Galvarena. Ia lalu bertanya, “Seperti apa mimpimu, Nak?”
Dengan lugas, Galvarena menjabarkan mimpinya waktu itu: Pertemuannya dengan seorang laki-laki, dan permintaan laki-laki itu agar Galvarena terus memanjangkan rambutnya hingga usia 24 tahun.
Mendengar cerita Galvarena, Nyonya Rapunzel hanya termenung. Diletakannya sisa buku-buku di tangannya pada sebuah meja kecil dekat rak. Sambil berupaya mengendalikan diri, Nyonya Rapunzel memandang Galvarena.
“Tahukah kamu, Nak. Aku memanjangkan rambutku hingga hari ini atas alasan yang sama.”
***
Pada usia 25 tahun, suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal. Ia begitu terpukul sebab usia pernikahan mereka memang baru berjalan delapan bulan. Lima tahun kemudian, masih dalam suasana duka yang sama, ia bermimpi didatangi arwah suaminya.
“Pada ulang tahunku yang ke-30, suamiku datang ke dalam mimpiku dan berpesan agar aku terus memanjangkan rambut hingga habis dekade ketigaku. Dengan begitu, dia akan menemuiku lagi,” kisah Nyonya Rapunzel.
“Awalnya kupikir ini hanya omong kosong, beberapa teman juga bilang yang seperti ini hanya bunga tidur. Tapi perasaan rindu yang mendalam membuat aku tidak bisa berpikir logis dan mencoba meyakini mimpi itu. Sekarang rambutku sudah nyaris sepanjang betis dan dekade ketigaku hampir berakhir dalam beberapa bulan lagi. Jika ternyata mimpi itu bohong, aku akan memotong rambutku.”
Lain dengan Nyonya Rapunzel yang memimpikan suaminya sendiri, Galvarena sungguh tidak mengenal laki-laki dalam mimpinya. Ia bahkan tidak pernah melihat wajah itu di kampus, di tempat-tempat umum, atau di mana pun sepanjang hidupnya.
“Menarik ketika aku mendengar ceritamu, aku merasa seperti dimengerti.” Nyonya Rapunzel tersenyum.
“Awalnya kupikir aku satu-satunya orang gila yang percaya pada mimpi, hingga akhirnya seorang perempuan datang dan mengeluhkan mimpi yang sama. Jangan-jangan, selain kita ada perempuan lain yang mengalami hal sama, mendapat semacam wangsit melalui mimpi?”
***
Lima tahun kemudian.
Aku mematut diriku di depan cermin. Malam ini adalah malam menuju hari ulang tahunku yang ke-24. Sulit rasanya membayangkan betapa kegilaan dan rasa penasaranku ternyata mampu membuat aku bertahan begitu lama mengikuti permintaan laki-laki itu. Aku mempercayai mimpiku dan membiarkan rambutku terus memanjang hingga sepanjang pinggul.
Di luar begitu hening hingga rasanya mampu kudengar embusan angin. Aku mempersiapkan diriku sebaik mungkin demi bisa menemui laki-laki itu. Ketika tengah memoles bibirku dengan sebuah gincu berwarna merah, kudengar suara jendela diketuk, begitu pelan dan berirama. Aku baru saja merasa sangat antusias dan berniat cepat-cepat menyambutnya ketika tiba-tiba saja sebuah kesadaran menyentakku.
Ya Tuhan, bukankah kamarku berada di lantai dua?
Bumiayu, Mei 2020
Comments