Ini pukul setengah lima pagi. Semalaman saya enggak bisa tidur, memikirkan menu gorengan apa yang gampang dibuat, untuk dititip-jualkan di angkringan teman saya. Saya kira, cuma itu satu-satunya peluang saya agar dapat bertahan ke depannya. Menjadi wartawan di kota saya benar-benar bikin saya gila.
Sudah lebih dari setahun saya bekerja di salah satu media ternama di kota ini. Tapi, beberapa bulan belakangan, kondisinya benar-benar kacau. Usai ditinggal pergi pimpinan media untuk selama-lamanya, ditambah pandemi COVID-19, keuangan perusahaan jadi amburadul. Bulan ini adalah bulan ketiga saya tidak menerima gaji seperti biasa karena perusahaan mengangsur bayaran karyawannya sedikit demi sedikit.
Bos baru bilang bahwa kendala penggajian di kantor saya disebabkan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang beberapa waktu lalu disahkan belum bisa dieksekusi. Jadi, uang iklan dari pemerintah daerah belum bisa dicairkan. Karena itulah, perusahaan media yang hanya menggantungkan hidup dari iklan seperti tempat saya bekerja ini jadi kelabakan. Belum lagi di situasi pandemi ini, semua anggaran di fokuskan ulang dan bikin para relasi berpikir dua kali untuk pasang iklan.
Semua kendala keuangan itu—yang entah benar atau sekadar alasan—bertumpuk jadi satu sehingga tidak ada celah bagi saya untuk menuntut gaji seperti biasa atau minta kejelasan kapan gaji akan cair.
Pengangkatan saya sebagai wartawan tetap yang sempat dijanjikan perusahaan tempo hari juga terancam batal. Petinggi perusahaan bilang saya belum memenuhi kualifikasi sehingga masa magang saya perlu ditambah. Tapi, entah kenapa saya yakin sebabnya bukan karena kualifikasi, melainkan karena kondisi keuangan yang memang tidak stabil.
Kenapa saya bisa berpikir gitu? Ya, kalau memang saya tidak memenuhi kualifikasi, buktinya berita-berita saya selalu tayang, baik di media daring maupun cetak. Terus, kualifikasi seperti apa lagi yang harus saya penuhi?
Baca juga: Saat Pandemi, Apakah Wartawan Boleh Bilang ‘Mana THR-nya, Ndan?’
Paham Jurnalisme Tidak Cukup Jika Kurang Jago Cari Iklan
Saya percaya diri untuk bilang bahwa saya cukup paham soal jurnalisme. Cukup, tentu tidak akan sepaham peneliti media Roy Taniago atau penerima Nielman Fellowship, Andreas Harsono. Soal independensi, cover both side, keharusan untuk tunduk pada kepentingan umum, dan lain sebagainya, saya memahaminya dengan baik.
Tapi, di dunia nyata jurnalis daerah, pemahaman soal jurnalisme yang baik saja tidak cukup. Kamu yang paham segala macam teori akan kalah sama yang jago lobi dan bersilat lidah, jago mendekati pejabat, atau jago mencari iklan. Di sini, pemahaman soal jurnalisme hanya berguna sampai bangku kuliah semester tujuh.
Dulu, saya sering bilang ke teman-teman di kampus bahwa daripada menerima amplop, lebih baik berhenti jadi wartawan. Omongan itu sekarang menampar muka saya sendiri.
Saya merasa kemampuan saya cuma ini. Satu-satunya potensi yang saya miliki cuma di dunia jurnalistik. Tapi, ternyata dunia tersebut tidak seperti yang saya harapkan. Tidak menerima amplop, berat. Mau kerja yang lain, tidak percaya diri.
Di dunia nyata jurnalis daerah, pemahaman soal jurnalisme yang baik saja tidak cukup. Kamu yang paham segala macam teori akan kalah sama yang jago lobi dan bersilat lidah, jago mendekati pejabat, atau jago mencari iklan.
Kalau ada yang nanya, “Pernah menerima amplop?” Saya jawab, “Pernah, daripada tidak makan.” “Pernah mencari iklan?” “Pernah, daripada enggak bisa ikut kuliah lagi.” Selalu ada pembenaran yang akan saya lontarkan meski dalam hati nurani saya merasa bersalah.
Tapi, kebutuhan pribadi bukan alasan satu-satunya saya melakukan itu. Jadi anak baru di tengah wartawan-wartawan senior yang hampir semua menerima amplop, menolak “alur main” konsekuensinya dua: Dicap sok idealis dan dijauhi. Sementara saya yang masih hijau ini perlu sekali menjalin relasi dengan wartawan senior.
Teman saya bilang, “Uang amplop itu menyalahi kode etik, tapi belum tentu haram. Haram kalau cara mendapatkannya salah. Haram ketika kita mendapatkannya dengan paksaan, dengan ancaman.” Tapi, tetap saja salah, kan?
Baca juga: Jurnalis di Tengah Pandemi: Upah Tertunda, PHK, sampai Ancaman Keamanan
Wartawan Disuruh Cari Makan Sendiri
Kalau dipikir-pikir, kantor tempat saya bekerja masih agak mendingan. Kami masih dibayar meski tersendat. Banyak media yang saya dapati, bahkan memang sejak merekrut wartawan, tidak membicarakan gaji. Wartawan disuruh cari makan sendiri-sendiri. Media-media tersebut hanya memberikan kartu pers dan akses memuat tulisan di laman. Selebihnya, tergantung seberapa kencang wartawannya "membaca" peluang. Bisa dalam bentuk iklan, menekan narasumber dengan tulisan, dan hal-hal lain yang sepengetahuan saya tidak etis dilakukan dalam dunia jurnalisme yang ideal.
Meski telanjur basah pernah menerima amplop, saya mengakui bahwa saya tidak berbakat mencari "celah". Barangkali, petinggi media saya tidak paham hal itu dan menyamakan saya dengan wartawan lain. Alhasil, ketika saya bilang saya kehabisan uang, bahkan hanya untuk makan satu kali, mereka tertawa. Dikira saya bercanda dan hanya pura-pura.
Rekan saya yang sudah jadi wartawan jauh lebih lama di media saya bekerja memutuskan untuk resign sesegera mungkin. "Iklimnya udah enggak sehat," katanya. Padahal, dia juga enggak punya pilihan pekerjaan lain. Saya, entah sampai kapan akan bertahan.
Pesan saya untuk adik-adik yang bercita-cita jadi jurnalis di daerah, percaya sama saya, segera ganti cita-citamu. Sebelum kamu menyesal, terus enggak bisa tidur gara-gara mikirin mau jual gorengan di mana biar bisa tetap hidup. Dunia nyata wartawan di Indonesia, terutama di daerah, berbanding terbalik dari apa yang kamu pelajari di bangku kuliah. Percayalah.
Realitas vs Fakta Menjadi Wartawan Daerah
Baik, sekarang mari merefleksi diri. Teori ndakik-ndakik soal jurnalisme yang ideal selalu jadi sarapan keren mahasiswa Komunikasi. Tapi, saya berharap supaya para pemikir media itu juga memaparkan teori bersama dengan kenyataan di lapangan. Bahwa media kesulitan duit, bahwa kebanyakan wartawan miskin dan digaji rendah. Ini supaya mahasiswa paham dunia apa yang sedang dipelajari dan akan dihadapinya.
Terus, coba mereka bikin solusi-solusi yang masuk akal gitu. Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) tiap tahun selalu merilis upah layak wartawan. Tahun lalu, upah layak menurut AJI untuk seorang wartawan itu sekitar Rp8 juta.
Saya sebenarnya setuju sama AJI. Saya paham maksudnya baik. Jadi wartawan itu tidak mudah. Kebutuhannya banyak, begitu juga risikonya. Tapi, kok rasanya standar yang mereka harapkan tercapai itu terlalu melangit. Kalau becermin dari realitas wartawan di daerah, upah layak yang diusulkan AJI itu justru seakan-akan mengejek, bahan jadi olok-olokan. Jangankan gaji Rp8 juta, wong gaji Rp1,5 juta bisa cair tepat waktu saja rasanya mau sujud syukur.
Rumit? Sangat. Wartawan ideal dilarang berurusan sama iklan karena dianggap akan mengganggu independensinya. Tapi, media harus membuat dapurnya terus ngebul. Akhirnya, segala upaya dilakukan media untuk dapat pemasukan lewat iklan.
Tidak jarang media mengurangi personelnya untuk meminimalisasi anggaran gaji. Malah, di beberapa tempat pekerja di media punya double job. Ya wartawan, ya pemimpin redaksi, ya cleaning service, kalau bisa semuanya mencari iklan. Tidak bisa lagi wartawan kerjanya hanya mencari berita, sedang iklan ada bagian tersendiri yang mengurus. Tidak efisien menurut media-media di daerah.
Lalu ada masalah lain yaitu ketakutan kehilangan kesempatan mendapat iklan. Media daerah bisa dengan mudah “menghaluskan bahasa” kalau sebuah berita menyerempet nama pengiklan di medianya. Bahkan, boleh jadi mereka tidak jadi memberitakan suatu hal ketika pengiklan yang bekerja sama dengan mereka terlibat kasus yang merugikan publik. Hal-hal seperti ini jamak terjadi.
Bagaimanapun, meski dunia jurnalisme Indonesia begitu amburadul, tetap harus ada yang membicarakan dan menegakkan nilai-nilai ideal di dalamnya. Setidaknya agar orang-orang yang berkecimpung di dunia media tahu ada rel-rel nilai yang semestinya tidak mereka terobos, walaupun kemungkinan itu kecil, bahkan nihil.
Comments