Women Lead Pendidikan Seks
February 21, 2022

JHT Baru Boleh Cair saat Usia 56: Lebih Banyak Mudarat buat Pekerja

Saya mengobrol dengan dua orang pekerja yang sempat mengklaim JHT, sebelum Menaker keluarkan aturan kontroversial yang baru membolehkan pencairan JHT setelah berusia 56 tahun.

by Aulia Adam, Editor
Issues
JHT Baru Boleh Cair saat Usia 56: Lebih Banyak Mudarat Saat Bekerja
Share:

Saat mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) akhir November kemarin, Yanti (bukan nama sebenarnya), tak tahu kalau Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sedang menyiapkan aturan baru tentang proses klaim JHT. Waktu itu, Yanti baru saja diminta mengundurkan diri dari perusahaannya dan belum dapat pekerjaan baru. Uang JHT jadi satu-satunya sumber penghidupan yang ia jadikan tumpuan.

“Ibu saya sedang sakit juga. Jadi, benar-benar butuh uang pegangan. Seenggaknya sampai dapat penghasilan lagi,” ceritanya pada Magdalene, (21/2).

Jumlahnya tak terlalu banyak, sambung Yanti. Tapi, iuran yang sudah dikumpulkannya dari gaji selama tiga tahun bekerja itu dirasa lumayan membantu masa-masa sulitnya.

"Barry", juga mencairkan JHT Januari kemarin. Ia berhenti dari pekerjaan lama karena kantornya sedang punya masalah internal. Ia kini masih mencari pekerjaan baru, tapi juga fokus ingin melanjutkan studi di luar negeri.

“Jadi butuh pegangan aja, makanya kemarin kepikiran ambil JHT,” kata Barry.

“Enggak kebayang kalau kemarin sempat nunda nyairin. Iya, kalau umur saya sampai 56 tahun,” sambung Barry.

Baca Juga: Hak Maternitas Kerap Diabaikan, Perlukah Intervensi Pemerintah?

Aturan kontroversial yang dimaksud Yanti dan Barry adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT (Permenaker 2/2022). Aturan baru ini membatasi pencairan dana JHT, yang baru bisa dilakukan ketika pekerja sudah berusia 56 tahun. Sebelumnya, dana JHT bisa dicairkan di umur berapa pun, seperti yang dilakukan Yanti dan Barry, sepanjang peserta mengundurkan diri atau terkena PHK.

Batasan umur ini diberlakukan Ida, karena pemerintah merasa JHT tidak seharusnya diklaim sebelum masuk usia hari tua. “Karena tujuan JHT adalah untuk menjamin adanya uang tunai di hari tua, maka klaim JHT seharusnya tidak dilakukan pada masa hari tua tersebut belum tiba,” ungkap Ida pada wartawan, (12/2) lalu.

Dalam laporan BP Jamsostek kepada DPR, klaim JHT yang dilakukan usia pensiun memang cuma 3 persen. Sementara, sekitar 55 persen dilakukan oleh pekerja yang mengundurkan diri, dan 36 persen dilakukan pekerja yang di-PHK.

Baca Juga: ‘Miss Independent’ SCBD Juga Bakal Mental Karena Omnibus Law

Namun, menurut Fathimah Fildzah Izzati, Peneliti di Pusat Riset, Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kondisi naiknya jumlah klaim JHT oleh mereka yang mengundurkan diri dan di-PHK adalah kewajaran belaka. Pasalnya, sejak pandemi COVID-19, angka pekerja yang dipecat atau diputus kontrak terus mengingkat. Sementara, banyak orang terpaksa mengklaim JHT-nya untuk bisa menyambung hidup.

“Kehadiran BPJS Ketenagakerjaan semakin mendesak di tengah pandemi COVID-19 ini karena PHK yang semakin meningkat, dan membuat kebutuhan akan dana JHT semakin tinggi,” ungkap Fathimah dalam artikelnya di The Conversation

Merugikan Pekerja Informal, Seperti PRT

Data dari Kemenaker, sampai akhir 2021, klaim JHT mencapai Rp 40,61 persen dari perkiraan awal Rp34,59 triliun. Kenaikan ini yang coba diantisipasi pemerintah dan ditalangi dengan menghadirkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang merupakan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja yang kontroversial.

JKP yang dianggap pemerintah bisa jadi andalan pekerja di situasi ketidakjelasan pandemi, nyatanya belum inklusif buat semua orang. Program ini mengucilkan banyak kelompok pekerja formal, karena manfaat JKP baru bisa dicairkan dengan syarat-syarat tertentu yang menyulitkan. Misalnya, manfaat JKP hanya boleh diterima pekerja yang di-PHK.

Baca Juga: Perlindungan Makin Minim, UU Cipta Kerja Perburuk Nasib Pekerja

Orang yang dipaksa berhenti, seperti yang dialami Yanti, akhirnya tidak bisa mengurus JKP. “Saya sempat usahakan mengurus, tapi gimana ya? Syaratnya harus yang di-PHK resmi, susah banget menjelaskan kalau kita tuh dibikin keluar pelan-pelan sama perusahan,” cerita Yanti.

Syarat lain, semisal harus membayar iuran enam bulan berturut-turut sebelum di-PHK, tidak bisa diakses oleh pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tetap (PKWT) di bawah enam bulan. Mereka otomatis tidak bisa mendapatkan JKP.

Kelompok pekerja lain yang nasibnya juga tidak jelas adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Ernawati di Jalastoria, mempertanyakan komitmen pemerintah untuk melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja. Terbitnya Permenaker 2/22 justru memperburuk situasi PRT, yang risiko pekerjaannya seperti upah, jam kerja, jaminan hari tua, dan jaminan pensiunnya belum dilindungi aturan apa pun.

Selain mempertanyaan niat Permenaker 2/22, Ernawati juga mendesak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) PRT yang sudah ditunda 17 tahun lebih. “Semoga pemerintah membuka hati terhadap perjuangan PRT,” pungkasnya.

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramadhita.