Dalam pandemi virus corona (COVID-19), peran media sangat penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat dan sebagai pemantau kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi ini. Namun bisnis media telah mengalami kesulitan bahkan sebelum pandemi, dan wabah ini mempersulitnya lagi. Hal ini berdampak pada para jurnalis yang mengalami penundaan upah sampai pemutusan hubungan kerja (PHK).
Endah Lismartini, 45, editor Viva.co.id termasuk dari 200 karyawan portal berita itu yang mengalami penundaan gaji. Pihak manajemen PT VIVA Media Baru pada tanggal 26 Maret mengumumkan bahwa gaji bulan Maret akan dibayarkan antara 31 Maret atau 1 April.
“Gaji Maret akhirnya baru dibayarkan pada 7 April, itu pun secara bertahap. Dan hal ini juga terjadi untuk gaji bulan April yang dibayarkan baru 4 Mei lalu, dan lagi-lagi dibayarkannya secara bertahap,” kata Endah kepada Magdalene (5/5).
Hal ini membuatnya harus ekstra memutar otak untuk bertahan di tengah pandemi. Meskipun sudah bekerja dari rumah sejak awal Maret, namun pengeluaran keluarga membengkak terutama untuk penggunaan internet. Suaminya juga bekerja di rumah, ditambah kedua anaknya yang duduk di kelas satu SMA dan kelas 5 SD juga belajar secara online dari rumah.
“Tagihan bulan ini membuat saya mengurut dada. Tetapi beruntung suami juga bekerja jadi masih bisa teratasi,” ujar Endah, yang juga menjabat sebagai sekretaris Serikat Pekerja Media Viva.co.id.
Baca juga: Kasus Ravio Patra dan Pentingnya Regulasi Perlindungan Data Pribadi
“Ada rekan saya yang harus meminjam uang, ada juga yang terpaksa menggunakan uang simpanan mereka untuk keperluan sehari-hari dan membayar pulsa internet. Kami tetap berusaha profesional dalam situasi seperti ini,” tambahnya.
Situasi ini dialami oleh pekerja media di berbagai belahan dunia, seperti yang ditunjukkan oleh survei oleh Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) yang dilakukan pada 26-28 April dan melibatkan 1.308 wartawan dari 77 negara, termasuk Indonesia.
Hasil survei tersebut memperlihatkan, 65,4 persen responden menghadapi pemotongan upah dan kondisi kerja yang memburuk. Hal ini dikonfirmasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) yang mendapatkan puluhan pengaduan dari wartawan, terutama terkait upah.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengatakan, sejak 3 April hingga 1 Mei, LBH Pers dan AJI menerima 61 pengaduan, yang mencakup PHK (26 kasus); dirumahkan (21 kasus); pemotongan atau penundaan upah (11 kasus); dan tiga kasus lainnya.
“Sebagian besar perusahaan media menggunakan alasan force majeur atau keadaan yang memaksa untuk melakukan PHK dan mengurangi hak pekerjanya,” ujar Ade dalam webinar tentang kerentanan pekerja media dalam pandemi COVID-19, Minggu (3/5).
Ia menambahkan, Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan, perusahaan bisa menggunakan alasan force majeur untuk melakukan PHK dengan syarat perusahaan benar-benar tutup permanen. Jika perusahaan masih tetap beroperasi, maka mereka tidak dapat melakukan PHK atas dasar COVID-19 sebagai keadaan yang memaksa, ujarnya.
Baca juga: MadgeTalk: Pemberitaan Media Makin Tak Bermakna, Kita Harus Bagaimana?
Selain PHK, ada juga perusahaan merumahkan pekerjanya untuk menghindari PHK. Ade mengatakan perusahaan menjadikan momen tersebut untuk memangkas upah pekerjanya, padahal Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1998 tentang upah pekerja yang dirumahkan mewajibkan pengusaha untuk membayarkan upah pekerjanya secara penuh meski mereka dirumahkan.
“Kedua, jika ada pemotongan upah, sistemnya harus melalui proses negosiasi dengan pekerja,” kata Ade.
Keamanan di lapangan
Tantangan lain yang dihadapi oleh jurnalis selama pandemi adalah keamanan saat meliput di lapangan akibat kesediaan alat pelindung diri (APD) yang belum memadai.
“AJI Indonesia belum mencatat ada wartawan yang meninggal karena COVID-19. Namun, kami banyak mendapatkan cerita terkait dengan wartawan yang menjalani isolasi mandiri juga APD yang minim,” ujar Abdul Manan, Ketua Umum AJI, dalam webinar yang sama.
Dari aspek keselamatan wartawan, jurnalis foto Jawa Pos, Yudha, merasa cukup beruntung perusahaan media tempat ia bekerja menyediakan masker dan hand sanitizer untuk jurnalis yang harus turun ke lapangan. Ada tiga buah masker kain setiap minggunya untuk setiap orang, dan satu botol hand sanitizer berukuran 100 ml setiap bulan.
“Tapi walaupun sudah ada masker dan cairan pembersih tangan, ketika turun ke lapangan saya masih merasa waswas dan ekstra hati-hati. Apalagi di rumah ada istri dan anak yang masih berumur satu tahun,” ujar Yudha, 27, kepada Magdalene (4/5).
Kekhawatiran meningkat dalam situasi lapangan yang membutuhkan tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.
“Deg-degan juga waktu liputan mudik sebelum peraturan larangan mudik diberlakukan. Kan banyak itu rombongan pemudik yang datang dengan bus. Saya enggak tahu yang mana orang tanpa gejala. Kalau dokter sama petugas pakai face shield sudah terjamin keamanannya, sedangkan saya masih waswas karena cuma menggunakan masker,” ujar Yudha.
Rezim otoriter dan kekerasan berbasis online
Pandemi ini juga seakan menjadi kesempatan bagi pemerintah, baik yang merupakan rezim otoriter maupun tidak, untuk menyerang dan menghambat kerja media dan jurnalis. Laporan organisasi pemantau internasional, Reporters Without Borders, menunjukkan bahwa virus corona memperburuk ancaman yang sudah ada terhadap kebebasan pers di seluruh dunia. Di negara-negara seperti Iran dan China, jurnalisnya sudah seperti tidak bisa beroperasi. Di Hungaria, parlemen telah meloloskan undang-undang yang menghukum penjara sampai lima tahun siapa saja yang dianggap menyebarkan berita tidak benar.
Stasiun televisi ABS-CBN di Filipina minggu ini ditutup setelah izin penayangan tidak diperpanjang oleh Kongres. Media dengan jaringan terluas ini selama ini sering dikritik oleh Presiden Rodrigo Duterte, dan kasus penutupannya memperburuk situasi dan menghambat warga dalam mendapatkan informasi.
Baca juga: Tips Mengamankan Akun Media Sosial
Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump terus menyerang media dengan tuduhan menyebarkan berita palsu.
Di Indonesia, sejumlah pihak mengkhawatirkan peningkatan penggunaan pasal-pasal karet dari Undang-Undang Transaksi elektronik (UU ITE), yang sering kali dipakai oleh pihak berwenang untuk membungkam kerja wartawan dengan dalih penghinaan atau pencemaran nama baik.
Pada 4 April, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengeluarkan surat telegram terkait penanganan perkara pelanggaran siber selama masa pencegahan COVID-19. Surat ini adalah pemberitahuan, pernyataan, atau permintaan ke pejabat lain di dalam lingkungan Polri.
Nenden Sekar Arum dari Safenet, jaringan sukarelawan pembela hak digital di Asia Tenggara, mengatakan surat telegram tersebut tidak menjelaskan secara komprehensif mengenai konsep pelanggaran siber dan berita bohong, sehingga sangat memungkinkan berubah menjadi aturan karet.
“Pada akhirnya ini memberikan peluang oknum tertentu untuk kembali membungkam wartawan ketika wartawan tersebut mengkritisi kinerja pemerintah saat pandemi COVID-19, dengan melabel berita itu sebagai hoaks,” ujarnya.
Selain ancaman kebebasan berekspresi, Nenden mengatakan ada beberapa ancaman lain yang membayangi kinerja wartawan saat pandemi COVID-19, termasuk peretasan, pengawasan, doxing data pribadi dan persekusi online, hingga pelecehan seksual online. Nenden menyarankan agar jurnalis meningkatkan kewaspadaan dalam menggunakan teknologi dan internet.
“Kita harus selalu waspada dan bersikap seakan kita akan menjadi sasaran kejahatan siber selanjutnya. Maka dari itu, kita harus jeli memperhatikan privasi data dan menggunakan sandi yang berbeda-beda di tiap aplikasi,” tambahnya.
Comments