Women Lead Pendidikan Seks
December 09, 2021

‘Kabuki’: ‘Queerness’ dalam Seni Teater Jepang

Sebagai seni teater, Kabuki sedari awal telah lekat dengan queerness dan menggambarkan bagaimana Jepang dulu sangat toleran dengan homoseksualitas

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
Share:

Dari rentetan pertunjukan hiburan di Tokyo 2020 Summer Olympics, 23 Juli sampai 8 Agustus 2021 lalu, ada satu aksi yang menarik perhatian dunia. Adalah Kabuki atau teater tradisional Jepang yang dikemas secara megah. Dengan iringan musik tradisional Jepang shamisen, ditemani musik jazz pianis jazz Hiromi Uehara, aktor Kabuki Ichikawa Ebizō XI, memerankan drama dalam repertoar Kabuki, Shibaraku (salah satu Kabuki Jūhachiban (Delapan Belas Drama Besar) yang terkenal).

Melalui segmen yang dimaksudkan untuk menghilangkan energi negatif, pertunjukkan Kabuki dan jazz sekaligus menjadi “perkawinan” cantik dalam seni Jepang.

Kabuki sendiri sebenarnya adalah seni teater tradisional Jepang yang sudah berumur lebih dari 400 tahun, tepatnya sejak 1603. Selain musik yang memanjakan kuping, kemegahan Kabuki juga mewujud dalam kostum hingga propertinya yang detail. Kemegahan teater ini tidak lepas dari riasan kumadori yang rumit. Riasan kumadori umumnya terdiri dari garis-garis atau pola berwarna cerah di atas fondasi putih, yang masing-masing melambangkan karakter yang spesifik.

Baca Juga:  ‘Nanshoku’, Homoseksualitas Jepang yang Dulu Lumrah Sekarang Dianggap Aneh

Namun dari semua elemen tersebut, ada satu hal yang membuat Kabuki unik dan menarik. Semua pemain dalam pementasan Kabuki adalah laki-laki. Aktor Kabuki tidak hanya memerankan karakter laki-laki, tapi mereka juga memerankan karakter perempuan dengan gaya feminin yang khas.

Sejarah Kabuki: Ketika Perempuan menjadi Pionir Seni Tradisional Jepang

Siapa sangka Kabuki yang terkenal dengan pemain laki-laki sebenarnya diciptakan oleh seorang perempuan, Izumo no Okuni. Dalam penelitian Sex, androgyny, prostitution and the development of onnagata roles in Kabuki theatre (2006), Sara K. Birk associate professor dari Universitas Montana menulis, penciptaan Kabuki terjadi ketika Okuni menampilkan tarian dan sandiwara pendek di dasar sungai kering Sungai Kamo di Kyoto pada 1603.

Dalam pementasan Kabuki yang diprakarsai oleh Okuni, para pemeran laki-laki dan perempuannya kerap melakukan crossdressing atau memakai kostum androgin. Queerness telah sejak awal melekat dalam seni ini dengan Okuni sendiri. Misalnya kerap kali mereka melakukan pementasan dengan memakai pakaian dan atribut yang dipakai laki-laki kala itu.

Lebih lanjut buku Beautiful Boys/Outlaw Bodies: Devising Kabuki Female-Likeness (2005), Katherine Mezur menuliskan Okuni tidak hanya menikmati kostum androgin, tetapi juga setiap bagian dari penampilan kelompoknya bertujuan untuk menentang perilaku yang ditentukan secara sosial seperti peran gender dan kritik terhadap kelas sosial. Hal ini terlihat dari salah satu tariannya yang termasuk tarian karakter laki-laki, tarian Narihira.

Ariwara no Narihira adalah pecinta dan penyair legendaris yang terkenal dengan kecantikan luar biasa, yang sering disebut karena campuran atribut feminin dan maskulin yang dimilikinya. Okuni menampilkan Narihira versinya yang mampu membuat para penontonnya bertanya-tanya tentang identitas gendernya. Apakah ia perempuan ataukah laki-laki.

Salah satu sandiwara paling populer yang dibawakan oleh Okuni dan menjadi sandiwara yang paling banyak dimainkan dalam pementasan Kabuki setelah kematiannya adalah Keiseikai. Keiseikai adalah sebuah drama Kamigata, yang karakter utamanya adalah seorang laki-laki muda yang telah jatuh cinta dengan seorang keisei (pekerja seks kelas atas) yang cantik. Laki-laki muda ini dengan putus asa mencari uang untuk menebus keisei yang ia cintai dari kontraknya dengan majikannya.

Ketika Okuni mementaskan Keiseikai, dia akan memainkan karakter pelanggan laki-laki yang membeli pekerja seks perempuan, sedangkan pasangan laki-lakinya berperan sebagai pekerja seks perempuan. Sebagai pekerja seks perempuan, pemain laki-laki mengenakan kimono dan syal warna-warni, sedangkan Okuni memakai pakaian khas laki-laki kala itu.

Baca Juga: Queer Love: Kapan Seseorang Disebut Queer?

Apa yang Okuni lakukan dalam Kabuki melalui peran gender campurannya mengilhami kelompok perempuan muda untuk berpakaian dan menari dalam pakaian laki-laki. Penampilannya mendistorsi dan menumbangkan tindakan gender yang ditentukan secara budaya. Dengan demikian, ia menggarisbawahi bagaimana tindakan gender menjadi identitas performatif dan tidak esensial atau ditentukan secara biologis.

Peminggiran Perempuan dalam Kabuki

Sayangnya, Kabuki yang dahulu bisa diperankan baik laki-laki dan perempuan mulai berubah. Karena sandiwara yang dibawakan dalam pementasan Kabuki sangat lekat dengan prostitusi, pada perkembangannya Kabuki pun tidak dapat terlepas dari prostitusi itu sendiri di mana pemainnya merangkap jadi pekerja seks untuk para klien mereka.

Dilansir dari website The Art History, Kabuki dilihat keshogunan Tokugawa (pemerintahan diktator militer feodalisme) sebagai “ancaman”. Pasalnya, itu menghancurkan tatanan sosial yang didasari ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme ini secara signifikan mengontrol kelas sosial di Jepang kala itu dengan Samurai sebagai kelompok di strata tertinggi dan kelas pedagang di strata terendah. Perempuan dalam ajaran ini pun ditempatkan di bawah laki-laki dan harus “berjalan tiga langkah di belakang laki-laki.”

Sumber: Japan-experience.com

Dalam hal ini Kabuki telah menjadi ‘ancaman’ untuk mempertahankan status quo keshogunan Tokugawa karena dua hal. Pertama, Kabuki telah menciptakan sebuah interaksi bisnis antara kelas Samurai dan kelas Pedagang. Kedua, sandiwara yang dibawakan Kabuki mengangkat tema-tema erotis dan menempatkan perempuan dalam sorotan publik.

Karena kedua hal inilah, para pemeran perempuan akhirnya dilarang tampil di pementasan Kabuki. Tak tanggung-tanggung, perempuan tetap dipinggirkan dari seni itu hingga hari ini.

Onnagata: Laki-Laki yang Memerankan Peran Perempuan

Dilarangnya pemain perempuan dalam pementasan Kabuki berimbas langsung pada bagaimana sampai sekarang seni teater tradisional ini dimainkan oleh pemain laki-laki. Adalah onnagata (女形/女方), aktor laki-laki yang memainkan peran perempuan kemudian menjadi sorotan utama dalam pementasan Kabuki.

Dalam buku Beautiful Boys/ Outlaw Bodies: Devising Kabuki Female-Likeness (2005), dijelaskan bahwa onnagata merumuskan peran gender seperti perempuan yang dibentuk dari tindakan gender. Secara bertahap, sebuah fiksi ideal mengenai feminitas dengan estetika sensual dan visualnya sendiri, berkembang dari generasi ke generasi.

Sumber: Japan-experience.com

Ide-ide mereka tentang bagaimana menggambarkan feminitas ini muncul bukan dari pengamatan seorang perempuan atau bahkan perempuan pada umumnya, tetapi dari cara bagaimana laki-laki memaknai dan “menjadi” perempuan. Oleh karena itu, onnagata tidak bertujuan untuk "mewakili" perempuan, tapi menampilkan versi “perempuan” ideal mereka sendiri. Dengan demikian, onnagata mampu menciptakan ruang bagi para aktor untuk mengembangkan tindakan gender mereka sendiri.

Baca Juga: Transgender and Gender Diverse Teens: How to Talk to and Support Them

Sebagai bagian dari pelatihan mereka, onnagata murni terus mengabdikan seluruh kehidupan profesional mereka untuk penggambaran perempuan di atas panggung. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki kualitas yang sangat istimewa  dengan identitas mereka yang berbeda dan terpisah yang mampu memberikan daya tariknya sendiri yang kuat.

Bandō Tamasabu, seorang onnagata dalam film 書かれた顔  (The Written Face, 1995) misalnya mengatakan:

“Saya memerankan seorang perempuan dengan mata dan perasaan seorang laki-laki, seperti seorang laki-laki melukis potret seorang perempuan. Saya mengumpulkan pengetahuan dengan melihat ‘Beginilah reaksi mereka, beginilah cara mereka meletakkan tangan di rambut mereka’. Saya mengumpulkan jenis bahan ini dan mengubahnya. Dengan demikian, naluri maskulin saya berkembang, dan, sedemikian rupa, pola keperempuanan terbentuk.”

Kebanyakan onnagata belajar estetika mereka sendiri mengenai erotisme dan cara yang paling banyak dilakukan onnagata dalam mengeksplorasi peran tersebut adalah dengan menampilkan diri mereka kepada pelanggan melalui pelatihan menjadi iroko (pekerja seks muda). Hal ini membantu mereka karena sandiwara yang dimainkan dalam Kabuki terus memiliki konten erotis bahkan sering kali bertema nanshoku (homoseksualitas).

Menarik untuk digarisbawahi adalah bagaimana Jepang ketika itu melihat hubungan antar laki-laki sebagai sesuatu yang lumrah. Dalam buku Male Colors: The Construction of Homosexuality in Tokugawa Japan (1995), Gary P. Leupp misalnya dijelaskan bagaimana pada periode Tokugawa (1603-1868) perilaku homoseksual sangat umum, setidaknya di kota-kota besar dan kecil. Seks antara laki-laki tidak hanya ditoleransi secara luas antarkelas sosial, tetapi juga dirayakan secara positif dalam seni populer dan literatur.

Namun, pada era Meiji (1868-1912), pandangan mengenai homoerotisme mulai bergeser. Doi Takeo, psikolog ternama Jepang dalam bukunya The Anatomy of Dependence (1971) mengatakan pandangan orang Barat mengenai relasi antara sesama laki-laki menimbulkan sebuah kekhawatiran mendalam masyarakat Jepang. Hal ini pada akhirnya membangun fondasi homofobia yang membuat laki-laki akhirnya berhenti memiliki relasi intim dengan rekan laki-laki lainnya.

Pergeseran pandangan ini pun berpengaruh besar pada Kabuki, di mana pemerintah Meiji meminta para manajer teater kabuki untuk melangsungkan pementasan dengan sandiwara yang menekankan kepada “kebaikan moral” (moral righteousness). Sensor sandiwara pun marak dengan daftar hal-hal yang harus digambarkan dan dihindari terus bertambah.

Sebagai bagian dari upaya untuk membersihkan teater ini dari moral yang “melenceng”, pemerintah mendorong untuk mengganti onnagata dengan aktris. Khawatir akan karir mereka, onnagata pun akhirnya melunakkan gaya flamboyantmereka, dan perlahan menghilangkan unsur erotisme atau homoerotisme dalam pertunjukan mereka.  

Format baru dari teater Kabuki inilah yang bertahan sampai sekarang. Pada akhirnya, Kabuki memiliki sejarah yang kaya dan panjang. Di dalamnya terdapat peran besar perempuan dalam memasak fondasinya, tapi terpaksa terpinggirkan karena penguasa. Begitu pula dengan ciri queerness-nya yang harus luntur karena dicabut paksa oleh penguasa. Kendati demikian, Kabuki masih bisa eksis hingga kini dengan sisa-sisa peninggalannya yang akan terus dikenang.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.