Women Lead Pendidikan Seks
June 09, 2022

Berkaca dari Maudy dan Eva Celia, Kapan Waktu Ideal untuk Menikah?

Maudy Ayunda dan Eva Celia adalah pengingat kalau kita punya waktu masing-masing untuk menikah, dan mendapatkan pasangan yang setara.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle // Madge PCR
Kapan Waktu Ideal Untuk Menikah?
Share:

Selain makeup yang patut dibicarakan dari pernikahan Maudy Ayunda dan Eva Celia, ada hal lain yang enggak luput dari pembahasan warganet. Adalah usia keduanya saat memutuskan menikah.

Sebenarnya pembahasan ini enggak akan jadi buah bibir yang perlu digarisbawahi. Masalahnya, sejumlah masyarakat kerap melemparkan pertanyaan “kapan nikah?”, karena kalau kelamaan dikhawatirkan akan keburu tua.

Padahal perkara kesiapan menikah enggak bisa dipatok dengan umur. Memang dari segi usia, mereka sudah cukup matang—Maudy 27 tahun dan Eva 29 tahun. Namun, secara karier dan intelektual, mereka pun relatif siap. Kesiapan menikah Maudy ini enggak terkait dengan pencapaian dia  lulus S-2 di Stanford University, atau Eva yang selama ini berprestasi dalam industri musik. Mereka memutuskan menikah karena memang ini waktu yang tepat untuk menikah, setidaknya menurut mereka.

Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya kita tahu waktu yang tepat untuk menikah? Berikut Magdalene merangkum beberapa jawaban yang perlu direfleksikan, sebelum kamu mengambil keputusan untuk menikah.

Baca Juga: Bayangan Pernikahan Disney dan “Cinta Buta” Menjebakku dalam Pernikahan

1. Menyelesaikan Urusan dengan Diri Sendiri

Setiap orang umumnya memiliki pencapaian yang ingin diraih. Entah karier, pendidikan, kemerdekaan finansial, relasi dengan orang-orang di sekitar dan diri sendiri, atau hal-hal sederhana, seperti memenuhi keinginan yang semasa kecil belum tercapai.

Sedikit banyak, beberapa hal tersebut berperan dalam menciptakan kebahagiaan pribadi sebelum menikah. “Kalau kamu bahagia dengan diri sendiri, kamu enggak akan merasa menyedihkan saat sedang sendirian. Justru kekosongan itu akan diisi dengan hal-hal dan orang-orang yang kamu sukai,” tulis Leslie Parrott, pakar relasi dalam situs Saving Your Marriage Before It Starts.

“Saat bertemu orang yang tepat, dia akan jadi bagian dari kebahagiaan yang sudah diciptakan.”

Yang dilakukan Maudy dan Eva sebenarnya adalah contoh pernyataan Parrott—bagaimana seseorang memprioritaskan diri sebelum menikah. Keduanya telah menemukan, mencintai, dan bahagia dengan diri sendiri, kemudian memilih membagi kebahagiaan itu dalam hubungan bersama pasangan.

Tak hanya soal prestasi dan keinginan-keinginan lainnya, urusan dengan diri sendiri juga berarti mengenali trauma masa kecil. Ini penting lantaran seseorang cenderung mencari pasangan dengan mengikuti gaya kelekatan—terbentuk berdasarkan pola asuh orang tua. Kalau enggak dikenali, ujung-ujungnya malah menyebabkan permasalahan baru dan mengungkit trauma yang ada.

Pun, dengan semakin mengenal diri sendiri, akan memperjelas intensi dalam hubungan. Termasuk alasan untuk menikah, cara berkomunikasi.

Baca Juga: Arti Sebuah Nama bagi Perempuan Menikah

2. Pembahasan Finansial

Meskipun bagi sebagian orang dirasa enggak nyaman, membicarakan masa depan pasti enggak luput dari urusan finansial.

Mulai dari penghasilan dan aset yang dimiliki, pembagian biaya pernikahan, pengelolaan keuangan, dan pembagian tanggung jawab keuangan setelah menikah, hingga memiliki akun bank bersama dan terpisah. Enggak heran jika pembicaraan ini bisa memunculkan dan membantu menyelesaikan masalah, yang dapat menyebabkan perselisihan.

Bahkan, dilansir dari Kompas TV, Pengadilan Agama Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mencatat, 75 persen perceraian selama pandemi diakibatkan oleh faktor ekonomi. Artinya, urusan finansial merupakan persoalan pelik yang sangat berperan dalam relasi.

Karena itu, pakar hubungan Pareen Sehat menyarankan, diskusi terkait keuangan penting dilakukan senyaman mungkin. Pasalnya, pembahasannya tidak hanya tentang pernikahan, tetapi menyangkut kehidupan setelahnya.

“Ini menunjukkan kalau pasangan siap membangun rumah tangga,” tuturnya dikutip Brides.

Selain merencanakan yang akan datang, pembahasan ini juga akan membuka permasalahan keuangan yang pernah dialami, cara pandangnya terhadap uang, dan latar belakang ekonominya. Tentu hal ini mencerminkan cara menyelesaikan persoalan tersebut, upayanya meraih financial goals, dan menghargai keberhasilan finansial.

Baca Juga: Apakah Salah Feminis Menikah Muda?

3. Melibatkan Pasangan dalam Merencanakan Masa Depan

Ketika menjalin hubungan romantis, setiap kepala tentunya memiliki perbedaan sudut pandang dan tujuan yang ingin dicapai. Namun, hal itu yang seharusnya diselesaikan dengan mencari jalan tengah, bukan meringankan salah satu pihak, sementara lainnya dibebankan.

Memang pembahasan yang akan berpengaruh terhadap perjalanan hidup ini bukan perkara mudah. Tapi, Sehat mengatakan, diskusi tersebut mengindikasikan bahwa kamu melihat pasangan sebagai bagian dari masa depan.

“Artinya juga kamu enggak takut menjalani hidup bersama dengan pasangan, dan siap untuk pernikahan,” jelasnya.

Dalam diskusi itu, biasanya akan ada pembahasan soal siapa mengikuti siapa, yang berpengaruh terhadap karier dan tempat tinggal. Seperti Jesse Choi yang rela meninggalkan Amerika Serikat, dan pindah ke Jakarta.

Selama ini, mungkin kita melihat keputusan serupa adalah pengorbanan yang dilakukan demi pasangan. Kenyataannya, itu bukan gambaran utuh yang perlu digarisbawahi. Sebab, dalam hubungan, kedua pihak perlu berkompromi dengan satu sama lain, untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Pada konteks Choi contohnya, di akun Medium, ia mengungkapkan kepindahannya ke ibu kota berawal dari pertanyaan, seberapa penting dirinya dan Maudy menetap di tempat yang sama?

Kemudian, ia menjelaskan keputusannya tersebut bukan hanya membuat hubungannya berhasil, melainkan demi personal growth-nya sebagai individu.

Hal tersebut menunjukkan, apa pun keputusan yang diambil, bukan berarti harus menutup kesempatan mengembangkan diri. Bukan mengutamakan pertumbuhan relasi, tapi enggak ada ruang bagi diri sendiri.

4. Punya Hak Penuh atas Hidup

Keinginan untuk menikah enggak seharusnya mengubah diri sebagai individu lain, dengan mengorbankan mimpi dan kegiatan yang disukai. Namun, enggak dimungkiri, hal ini terjadi dalam sejumlah hubungan, yang sejak berpacaran saja sudah merasa berhak atas hidup pasangannya.

Misalnya tidak boleh bekerja karena harus memprioritaskan keluarga, dilarang berkumpul dengan teman-teman, atau wajib meminta izin setiap akan mengambil keputusan bersifat pribadi dan melakukan sesuatu.

Mengutip WebMD, perilaku controlling itu disebabkan gangguan kecemasan atau kepribadian, sehingga perlu memastikan semuanya berjalan sesuai kehendaknya agar merasa tenang.

Kalau itu yang terjadi, artinya kamu enggak punya kebebasan sebagai individu, yang seharusnya tidak dikontrol siapa pun, selain diri sendiri. Alhasil, lebih baik pertimbangkan lagi keputusan untuk menikah dengan seseorang yang bersikap demikian. Sebab, pasangan yang suportif menginginkan mitra yang berdaya.

Selain itu, yang perlu ditekankan adalah pemahaman bahwa hidup berpasangan bukanlah mencari another half untuk merasa utuh, atau mengisi kekosongan dan kesepian.

Bahkan, terapis pernikahan dan keluarga asal AS, Liz Higgins menyebutkan, harapan agar pasangan bisa melengkapi, tidak seharusnya ditetapkan. Dikarenakan dalam hubungan sekalipun, diri sendiri adalah sosok yang perlu diperhatikan.

“Maksudnya bukan egois atau mengabaikan pasangan ya, tapi dalam arti mengerti untuk merawat diri sendiri,” katanya kepada Today. “Soalnya itu yang akan membawa versi terbaik kita dalam hubungan.”

Menganggap diri sebagai individu yang utuh, adalah bagian penting untuk menjadi pribadi yang sehat. Sementara jika beranggapan sebaliknya, justru bisa membawamu ke dalam hubungan yang tidak baik. Karena itu, seharusnya kebahagiaan menjadi tanggung jawab diri sendiri, bukan disandarkan pada pasangan, terlepas dari tujuan akan menikah atau tidak.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.