Women Lead Pendidikan Seks
April 21, 2018

Kartini Sebagai Kakak Perempuan Panutan

Kartini adalah sosok panutan bagi adik-adiknya, seperti juga kakak perempuan saya.

by Novita Putri Rudiany
Issues // Politics and Society
Share:
April adalah bulannya Kartini, sosok yang melawan budaya patriarki di Tanah Jawa dengan memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Namun ada satu hal yang luput dari perhatian masyarakat soal Kartini, bahwa ia adalah seorang kakak perempuan panutan bagi adik-adiknya, seperti Kardinah dan Rukmini. Di mata adiknya, Kartini adalah perempuan pelindung, cerdas, mandiri dan kuat. Sikap Kartini yang hangat pada akhirnya menularkan semangat juang pada Kardinah. Dan keteladanan pada sosok Kartini, mengingatkan saya pada kakak perempuan yang sangat dekat dengan saya.

Kakak saya adalah anak sekaligus cucu perempuan pertama di keluarga kami. Saya yakin, menjadi anak pertama bukanlah perkara mudah. Meskipun terlahir sebagai perempuan, kakak saya dituntut untuk senantiasa memiliki jiwa pelindung. Dia melindungi saya bahkan dari hal yang paling sepele. Saya masih ingat, ketika kecil, bersepeda menjadi aktivitas paling menyenangkan bagi kami. Saya selalu menikmati duduk di kursi boncengan sambil merangkul pinggangnya erat agar tidak jatuh. Sambil bernyanyi lagu-lagu yang kami suka, lima menit sekali dia berkata, “Awas kakimu!” Maksudnya adalah agar kaki saya tidak masuk ke jeruji roda saat sepedanya membelah jalanan sekitar rumah kami. Tidak pernah sedetik pun dia meninggalkan saya tanpa perlindungan. Bahkan ketika saya sudah di bangku kuliah, saya masih sering menerima pesan singkat, “Jangan pulang malam-malam! Nanti Mama marah.” Niatnya sederhana, dia tidak ingin saya ada dalam masalah.

Kakak saya adalah perempuan yang cerdas. Kecerdasannya sering membuat saya kesal karena saya selalu dibandingkan dengannya. Dia begitu lihai mengerjakan soal Matematika, sementara saya tidak pernah mendapat nilai di atas minimum untuk mata pelajaran itu. Tidak hanya orang tua saya yang memuji kecerdasannya, guru SMA-nya pun mengakuinya. Saya jadi kena getahnya, karena kami bersekolah di SMA yang sama. Tetapi, dia tidak pernah menjadi sombong karenanya. Dia juga tidak pernah mendorong saya untuk menjadi seperti dirinya. Dia justru mendukung saya untuk meyakini kemampuan saya sendiri.
Dari dia saya belajar, adalah sebuah kewajiban bagi seorang perempuan untuk menjadi cerdas. Sebab dengan kecerdasan, perempuan tidak perlu terus menerus bergantung pada orang lain. Dengan kecerdasan, perempuan akan selalu menemukan cara untuk bertahan hidup dan berkembang menuju kualitas hidup yang lebih baik.

Kegemarannya membaca semakin menunjang kemampuannya berlogika. Kami sering berdiskusi di malam hari untuk membahas habis buku-buku yang sudah dia baca. Koleksinya tertata rapi di lemari buku di bawah meja riasnya. Buku-buku itu banyak berisi tentang motivasi dalam menjalani hidup. Inilah yang membuatnya tidak hanya memiliki kecerdasan akademis, tetapi juga cerdas secara psikologis. Membaca buku adalah dunianya. Dia juga yang membuat saya berani untuk terus menulis, sehingga dia bisa menjadi pembaca pertama.

Kakak saya adalah perempuan yang mandiri. Memiliki adik berarti harus siap untuk mengalah dalam hampir semua situasi dan kondisi dan kakak saya paham sekali soal ini. Dia sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Ibu saya pernah bercerita bahwa selepas SD, kakak saya sendiri yang menentukan untuk mendaftar di sekolah mana. Dia bahkan sudah bisa berargumen kenapa sekolah itu menjadi pilihannya. Hal itu juga terjadi saat masuk SMA dan kuliah. Ia keluar rumah dan menyandang tas di pundak kanan, mengambil ujian masuk tanpa diantar. Tidak seperti saya yang harus diantar sampai ke depan ruang ujian ketika hari SNMPTN tiba.




Kakak perempuan saya juga sudah bisa mandiri secara finansial sejak semester satu kuliah. Dia bekerja paruh waktu sebagai guru les privat. Dari situ, pelan-pelan dia mulai mencicil motor untuk mempermudah mobilitasnya. Beberapa waktu setelahnya, dia bisa membeli barang-barang yang dia inginkan, dia bisa menabung, dan yang terpenting, dia tidak lupa memberi kado di hari ulang tahun saya. Kado yang selalu istimewa. Salah satunya bahkan selalu ada di meja belajar saya selama sembilan tahun belakangan. Sebuah tas laptop sederhana, tapi sangat berguna bagi saya yang cenderung ceroboh untuk urusan merawat barang-barang elektronik.

Kemandiriannya mengajarkan kami, adik-adiknya, untuk tidak pernah menyerah saat pekerjaan terasa susah. Meminta bantuan adalah pilihan terakhir ketika dia benar-benar sudah habis akal. Baginya, menjadi perempuan bukan berarti harus selalu dilayani ketika melakukan aktivitas sehari-hari. Perempuan juga memiliki kewajiban atas dirinya sendiri.

Kakak saya adalah perempuan yang kuat. Dia bukan pegulat atau atlet angkat besi. Tapi, hampir tidak pernah saya melihatnya mengeluh atau menangis. Dia yang paling tahu sejarah keluarga kami, terutama ketika masa-masa sulit. Saat krisis itu, dia tetap rajin ke sekolah meskipun harus berangkat pagi-pagi buta untuk mengejar angkot yang hanya lewat di depan kompleks rumah kami. Lengah satu menit saja, dia tidak mungkin bisa mengikuti pelajaran karena sekolahnya tidak memperkenankan siswa yang terlambat untuk masuk. Tidak berhenti di situ, dia harus berjalan agak jauh dari sekolah agar mendapat kendaraan untuk pulang. Padahal tenaganya seharian sudah habis tersita karena SMA-nya menerapkan sistem full day school. Belum lagi di rumah, saya masih sering membuatnya pusing dengan tugas rumah saya yang harus dikumpulkan keesokan paginya. Dia tidak menolak apalagi membentak, tetapi dengan sabar mengajari saya sampai semuanya selesai.

Masih segar di ingatan saya, ketika dua tahun yang lalu saya dengan mata sembab mengeluhkan masalah saya kepadanya. Lulus dari bangku kuliah dan terjun di dunia kerja yang bukan menjadi passion saya, hampir membuat saya gila. Semalaman saya gelisah. Sambil mengusap punggung saya, dia berkata, “Ini hanya masalah kecil, tidak akan bisa menjatuhkanmu. Ingat, kita ini wanita kuat anti sambat (bahasa Jawa yang artinya mengeluh). Kalau memang tidak suka, tinggalkan. Kejar mimpimu yang lain.” Ah, nasihat-nasihatnya memang selalu rasional dan tidak pernah menggurui. Saya hanya bisa menatap ke dalam matanya. Pandangannya tajam tapi meneduhkan.

Dialah kakak perempuan saya. Yang selalu ada untuk saya. Yang darinya saya belajar banyak untuk menjadi perempuan tangguh. Yang bukan menganggap predikat “kakak perempuan” sebagai beban, melainkan sebagai sebuah peran. Yang senantiasa memberikan sebuah teladan sebagai seorang kakak perempuan.

Selamat Hari Kartini, kak. Seperti Kardinah yang bangga memiliki Kartini sebagai kakaknya, saya pun bangga memilikimu sebagai kakak perempuan saya.

Novita Putri Rudiany merupakan perempuan yang menikmati profesinya sebagai pembelajar dari setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Ia dapat diajak mengobrol sambil menikmati sepiring siomay tanpa pare dan sambal.