Women Lead Pendidikan Seks
October 13, 2022

Kasus Suap Kampus Makin Marak, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Dengan mencuatnya berbagai kasus dan kontroversi di atas, publik mulai menyoroti dan menuntut transparansi pada pimpinan perguruan tinggi.

by Luthfi T. Dzulfikar
Issues
Share:

Beberapa bulan ke belakang, dunia pendidikan tinggi Indonesia heboh akibat munculnya kasus korupsi maupun sorotan terkait transparansi di antara pejabat kampus.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, menangkap Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila), Karomani, dan beberapa pejabat kampus akibat kasus suap seleksi mahasiswa jalur mandiri tahun 2022.

Sang rektor mematok “harga” Rp 100-350 juta untuk meloloskan mahasiswa dan kabarnya mengantongi total dana suap hingga Rp 5 miliar.

Tak lama setelah itu, Rektor Universitas Indonesia (UI), Ari Kuncoro, turut mendapat sorotan. BEM UI mempertanyakan harta kekayaan Ari yang naik sekitar Rp 35 miliar hanya dalam waktu tiga tahun.

Baca juga: Biaya Kuliah Naik Terus, Model Bisnis Kampus Justru Ancam Akses Pendidikan Kita

Meski KPK telah menjelaskan alasan kenaikan harta Ari, kasus ini menambah sorotan publik seputar transparansi sang rektor. Tahun lalu, ia diduga melanggar Statuta UI terkait larangan rangkap jabatan rektor ketika masih menjabat Wakil Komisaris Utama di suatu bank pelat merah. UI dan pemerintah justru merevisi Statuta UI sehingga mengakomodasi rangkap jabatan tersebut.

“Dalam masyarakat, posisi universitas kan sebagai sumber produksi ilmu pengetahuan, erat dengan sikap rasional dan penuh pertimbangan,” kata Ayu Rachman, mahasiswa S3 bidang ekonomi politik pendidikan di Universitas Padjadjaran.

“Enggak mudah bagi masyarakat untuk menerima bahwa ternyata di kampus bisa jadi tempat yang sangat cocok bagi munculnya potensi korupsi dan konflik kepentingan.”

Dengan mencuatnya berbagai kasus dan kontroversi di atas, publik mulai menyoroti dan menuntut transparansi pada pimpinan perguruan tinggi.

Bagaimana cara meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas pejabat kampus?

Meredam Konflik Kepentingan di Tingkat Kepemimpinan Kampus

Ayu menjelaskan bahwa secara eksternal, ada beberapa mekanisme pengawasan terhadap harta kekayaan dan kondisi ekonomi di tingkat kampus.

Salah satunya, misalnya, perguruan tinggi negeri (PTN) wajib secara periodik menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) para pejabat kampus ke KPK. Kampus juga bisa melakukan audit eksternal terkait kondisi keuangannya.

Namun, Ayu mengatakan mekanisme tersebut belum cukup menjamin transparansi perguruan tinggi.

Baca juga: Peringkat Kampus Sebagai Kriteria Beasiswa Doktoral, Masih Relevankah?

KPK mengindikasikan bahwa meski LHKPN adalah instrumen penting, hal ini tak sepenuhnya bisa jadi tolak ukur dugaan korupsi pejabat. Selain itu, tidak semua jenis kampus wajib menyelenggarakan audit keuangan.

Di sini, badan-badan tertinggi di perguruan tinggi, seperti Majelis Wali Amanat (MWA) dalam hal PTN Berbadan Hukum (PTN-BH), biasanya memainkan peran sebagai pengawas pejabat kampus dari internal institusi.

Sayangnya, lembaga-lembaga ini pun berpotensi sarat konflik kepentingan, kata Ayu.

“MWA problematik karena terdiri dari unsur kampus juga. Misalnya, unsur dalam MWA melibatkan pimpinan kampus seperti dekan, termasuk rektor, jadi ketika terjadi kongkalikong sulit untuk kita verifikasi karena di dalamnya kepentingannya dominan mereka.”

Selain itu, terang Ayu, MWA dan anggotanya juga membawahi fungsi yang luas – dari legislatif (pengangkatan rektor, otonomi penyusunan statuta, dan pengusulan anggaran), eksekutif (pelaksanaan kebijakan), hingga yudikatif (pengawasan aturan dan anggaran).

“Misalnya, saat ini kan statuta dibahas di MWA, artinya yang membuat statuta tersebut. Tapi, di dalam proses ini juga sebagai pelaksana, karena di dalamnya ada dekan-dekan.”

“Tumpang tindih wewenang inilah yang membuat pengawasan ini tidak maksimal, bahkan kemungkinan bisa bias,” ujarnya.

Menurutnya, hal ini terlihat pada kasus revisi Statuta UI tahun lalu. Revisi ini diusung oleh MWA UI, yang juga beranggotakan Rektor UI.

“Rektor UI kemarin, dia [kala itu] tidak melepaskan jabatan komisarisnya, malah aturannya yang dibuat untuk menyesuaikan kondisinya dia, kepentingannya dia – malah statuta UI yang diubah.”

Baca juga: Cina Gunakan Beasiswa untuk Setir Pandangan Politik Santri Indonesia

Dalam kasus suap Unila, konflik kepentingan di lembaga tinggi kampus pun terlihat.

Bersamaan dengan Rektor Unila, KPK juga menangkap Muhammad Basri, Ketua Senat Unila – lembaga tertinggi di kampus tersebut yang bertanggung jawab atas kebijakan akademik yang rektor juga turut menjadi anggotanya. Alih-alih mengawasi arah kebijakan akademik Unila, Basri justru membantu mengkoordinasi uang suap dari orang tua calon mahasiswa dalam kasus seleksi jalur mandiri tersebut.

Ayu mengusulkan adanya pemisahan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih jelas pada organ-organ tertinggi kampus agar mencegah terjadinya konflik kepentingan.

“Jadi betul-betul demokratisasi. Kampus harus lihat ini, di dalam strukturnya sendiri logis nggak? Struktur pengawasanya nggak logis, belum ideal menurut saya.”

Memperluas Definisi Korupsi untuk Menjangkau Institusi dan Kampus Swasta

Sementara itu, peneliti korupsi di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Zuhairan Yunmi Yunan mengkritisi kerangka antikorupsi di Indonesia yang belum menyentuh sektor swasta, termasuk perguruan tinggi swasta (PTS).

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), misalnya, definisi korupsi masih terbatas pada kegiatan memperkaya diri atau orang lain yang “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

“Kenapa nggak secara umum perekonomian atau keuangan secara umum? Ini menjadi celah UU Tipikor yang tidak merambah wilayah privat atau swasta […] Padahal kerugian ekonomi terjadi dalam praktik misal kampus swasta,” katanya.

Sebagai konsekuensi, menurut Zuhairan, KPK tidak bisa melakukan penyidikan ke kampus swasta ketika tidak ada kerugian negara, walaupun muncul banyak laporan dugaan korupsi dalam proses seleksi mahasiswa seperti di Unila.

“Itu nggak bisa mau diadukan kayak gimanapun kecuali pidana kriminal biasa ke kepolisian. Tapi masyarakat kayaknya jarang melakukan itu di kampus swasta,” katanya.

“Saya kaget ketika baca data MA (Mahkamah Agung). Kita bisa lihat dari Sabang sampai Merauke [..] berbagai macam jenis korupsi, dari grant (hibah) sampai petty corruption (korupsi skala kecil pada pejabat). Yang kena selalu bagian pemerintah [..] tapi swasta hampir nggak ada kecuali jika terlibat proyek pemerintah.”

“Kenapa Rektor Unila bisa kena karena di bawah Kemdikbud, pemerintah. Kalau bukan Unila, kalau pejabat kampus swasta, nggak tahu kita kan?” ujar Zuhairan.

Cetak Biru Antikorupsi Sebagai Panduan Kampus

Menurut Ayu, ketiadaan kerangka antirasuah yang jelas di lingkungan perguruan tinggi juga turut menghambat pencegahan dan penanganan praktik korupsi dan penyuapan.

“Kita masih sulit menyepakati definisi pelanggaran moral yang terjadi dalam mimbar akademik. Bukan hanya soal pelanggaran keuangan, tapi juga kayak kekerasan seksual,” katanya.

“Enggak bisa kampus mau ngikut mana [..] karena nggak ada desain besar bagaimana korupsi ini diberantas. Yang ada adalah menangkap dan diberitakan, seru, dan sudah, hilang beritanya,” tambah Zuhairan.

Dalam artikel yang terbit di The Conversation Indonesia selepas kasus suap Unila, Ayu menyatakan pemerintah dan kampus bisa mengadopsi kerangka internasional, salah satunya Anti-Bribery and Corruption Compliance (Kepatuhan Anti-Suap dan Korupsi) dari The Wolfsberg Group.

Kerangka ini diterapkan berbagai kampus di seluruh dunia dalam menyusun standar keuangan untuk tindakan anti-korupsi dan pencucian uang, termasuk di University of Birmingham, Inggris.

Baca juga: Mahasiswa Jangan Terjebak Politik Homofobia, Harus Perjuangkan Keadilan Gender

“Ketika kerangka antisuap itu diterapkan, jelas definisi operasionalnya. Korupsi itu apa, penyuapan itu apa, penyelewangan itu apa, dan sebagainya. Rujukan kampus dalam bergerak, koridornya lebih jelas apa yang dimaksud,” kata Ayu.

“Kalau bicara suap kan apa dulu, berapa yang disuap, dan lain-lain masih diperdebatkan. Itu yang dijadikan celah bagi sebagian orang untuk memanfaatkan situasi dan lepas dari tindakan.”The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Luthfi T. Dzulfikar, Editor Pendidikan + Anak Muda, The Conversation