Sahabat saya, sebut saja namanya Jenar, saat ini berusia hampir 40 tahun. Ia sudah menikah selama hampir sebelas tahun. Rumah tangga mereka terlihat damai. Tetangga tidak pernah mendengar pertengkaran atau hal mencurigakan lain. Meski jarang bepergian dalam formasi lengkap, tidak ada tanda-tanda bahwa perkawinan Jenar dan suaminya bermasalah.
Itu sebabnya saya terkejut saat Jenar menyampaikan rencana berpisah. Saya kemudian mencari tahu alasan Jenar berencana demikian. Saya kepo, meski tahu seharusnya saya cukup menjadi pendengar.
Jenar berkisah bagaimana selama hampir sebelas tahun ini, dia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meski tidak berupa kekerasan fisik, Jenar ternyata mengalami kekerasan psikis dan seksual.
Dari cerita Jenar, saya mengetahui bahwa selama menikah ia merasa tidak mendapatkan perhatian yang layak dari suaminya. Suaminya tidak menyediakan diri mendengar keluhan apalagi memberi masukan atas permasalahan yang dihadapinya. Suaminya hanya diam dan seperti tidak mendengarkan ceritanya. Secara ringkas hal ini bentuk pengabaian suami pada kebutuhan psikologis istri. Jika Jenar berkeluh kesah tentang keluarganya, suaminya malah akan menyalahkannya. Suaminya itu kemudian menjelek-jelekkan keluarga Jenar baik menggunakan kalimat langsung maupun sindiran.
Tak hanya itu, Jenar juga merasa tidak pernah mendapat apresiasi yang cukup dari suaminya. Misalnya, ketika Jenar berhasil meraih sesuatu, suaminya hanya diam. Tidak ada ucapan selamat atau sekadar pelukan untuk Jenar.
Pengalaman-pengalaman batin dilukai tanpa sadar ini lambat laun membentuk penghargaan diri yang rendah. Jenar menyadari bahwa ia selalu minder dan merasa tidak diinginkan. Salah satunya, ia tidak percaya diri menyampaikan ide atau gagasan meskipun menguasai bidang itu.
Jenar mengatakan bahwa karena ia tidak mengalami kekerasan fisik, ia bertahan dalam pernikahannya. Selain itu, Jenar juga mendapatkan komentar dan masukan yang justru menyudutkannya ketika ia bercerita pada anggota keluarganya. Di sisi lain, Jenar juga berdekatan dengan orang-orang yang toxic positivity, yaitu mereka yang selalu memberi pandangan dari sisi positif atas suatu keadaan dan menegasikan persoalan.
Baca juga: Kenali Tanda-tanda Hubungan Cinta Merenggang Lewat Bahasa di Media Sosial
KDRT Tak Hanya Kekerasan Fisik
Kasus seperti yang dialami Jenar ini sebenarnya cukup banyak. Hanya mungkin saja tidak tampil di permukaan. Korban pun bisa juga dari pihak laki-laki. Meski dalam budaya patriarki, perempuan lebih rentan menjadi korban.
Padahal, amat penting bagi para korban menyadari bahwa KDRT tidak sekadar kekerasan yang melibatkan pemukulan, tamparan, atau kekerasan fisik lainnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jelas menuliskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Hal-hal yang menyebabkan pasangan merasa diabaikan dan tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya sebenarnya sudah masuk dalam KDRT. Masalahnya, tidak semua orang memiliki keberanian untuk mencari pertolongan atau keluar dari hubungan toksik ini. Para korban dengan berbagai alasan masih mempertahankan hubungan yang toksik. Alasan manusia bersifat dinamis dan berakal budi selalu menjadi pegangan semu para korban KDRT.
Para korban kerap berpikir bahwa keadaan akan segera membaik. Pada titik tertentu, mereka berpikir bahwa apa yang terjadi pada kehidupan mereka merupakan “hukuman” atas kesalahan yang dilakukannya di masa lalu. Hal ini sebenarnya sesuatu yang amat menyedihkan.
Di sisi lain, para korban yang akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini akan berhadapan dengan hal baru. Mereka akan berhadapan dengan ragam masyarakat kita yang masih memandang bahwa perceraian adalah aib. Para korban ini semakin tidak berani keluar dari hubungan toksik karena takut menghadapi lingkungan yang begitu nyinyir.
Baca juga: Engkau Janda dan Engkau Terhormat
Pelaku KDRT Bukan Tanggung Jawab Korban
Ada hal penting yang bisa dijadikan pegangan bagi para korban. Pasangan yang “rusak” semacam suami Jenar bukan menjadi tanggung jawab para korban. Sebab sebagaimana dasar berpikir bahwa manusia memiliki akal budi, demikian juga dengan pelaku. Mereka seharusnya menggunakan akal budinya untuk memperlakukan manusia lain secara manusiawi.
Sistem kekerabatan patriarki telah menempatkan laki-laki seolah lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Dampaknya, perempuan dengan segala yang melekat pada dirinya kemudian diberi “tanggung jawab” memperbaiki dan menerima segala hal yang rusak.
Padahal, perilaku menyimpang dan dilakukan berulang (apalagi dalam hubungan yang sudah bertahun-tahun) bukan menjadi tanggung jawab perempuan. Setiap manusia punya tanggung jawab sendiri-sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupannya termasuk kualitas personalnya. Dalam hal ini para pelaku punya tanggung jawab memperbaiki dirinya sendiri.
Korban KDRT bisa saja orang yang ada di dekat kita. Mereka bisa tampak biasa di permukaan. Namun, kita tidak pernah tahu bagaimana mereka melewati hari-hari mereka. Kita juga tidak pernah tahu mereka nyaris gila dengan semua masalah yang dihadapinya.
Karenanya, sebagai orang yang dipercayai oleh para korban, apakah tidak lebih baik jika kita menawarkan tempat aman? Yakinkan mereka bahwa jika perpisahan bukan sesuatu yang memalukan. Doronglah mereka untuk berani mengambil keputusannya. Sebab mereka berhak bahagia. Dan perpisahan bisa jadi merupakan jalan terbaik bagi para korban. Bahkan mungkin bagi si pelaku itu sendiri.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments