Women Lead Pendidikan Seks
April 20, 2022

Kejarlah Daku Kau Kubatasi: Nasib Seniman di Tengah Rezim Opresif

Berdalih melanggar protokol kesehatan, kebebasan berekspresi seniman dipatahkan aparat negara. Selain melanggar haknya, hal ini juga memengaruhi ekonomi mereka.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Share:

Mungkin kamu masih ingat, bagaimana mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar”, “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”, dan “404: Not Found” yang menampilkan wajah Jokowi, dihapus paksa oleh aparat pada Agustus lalu. Langkah itu mencerminkan, seniman relatif tak bebas berekspresi. Padahal, seni merupakan salah satu medium kritik sosial paling mujarab.

Pernyataan itu diamini oleh Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni Ratri Ninditya, dalam “Dalih Baru Opresi: Potret Kebebasan Berkesenian 2021” yang digelar daring pada (19/4).

“Seharusnya seni itu berbahaya dan berisiko, karena fungsinya bukan sebagai hiburan aja,” tegasnya. “Justru bisa menginterogasi kuasa, cara hidup, dan pola pikir masyarakat.”

Pasalnya, sepanjang 2020 dan 2021, Koalisi Seni mencatat 51 pelanggaran kebebasan berkesenian. Tiga puluh sembilan di antaranya berkaitan dengan COVID-19, termasuk pelarangan dan pembubaran yang dilakukan di berbagai acara, seperti khitanan dan pernikahan.

Salah satunya pentas kesenian kuda lumping di Kendal, Jawa Tengah pada November 2021, yang meramaikan khitanan. Acara itu dibubarkan karena membentuk kerumunan, tidak memiliki izin, dan dinilai tidak sesuai dengan protokol kesehatan. Saat itu, Kabupaten Kendal masih memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Ratri menjelaskan, pelaku seni yang dianggap melanggar itu adalah mereka yang sehari-harinya berkesenian. Alhasil, larangan yang ditetapkan aparat, membuat mereka tidak memiliki mata pencaharian lain. Berbeda dengan pelaku seni di kota-kota besar yang mendalami bidang tersebut sebagai pekerjaan sampingan.

Bahkan, kesenian yang mereka tekuni belum tentu bisa dialihkan ke ranah digital, seperti bentuk kesenian yang ditemukan di kota-kota besar. “Kalau yang dilarang itu, biasanya mereka berkarya dan tampil di ruang fisik,” ujar Ratri.

Pun Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 yang melarang penyelenggaraan acara, menggunakan sistem tebang pilih. Pada Oktober 2021, ketika Pentas Barongan di Kabupaten Kendal dihadiri sejumlah pejabat, tidak ada pembubaran seperti dilakukan terhadap masyarakat.

Kejadian itu menimbulkan protes dari warga, karena pelaku seni Barongan yang pentas di kampung-kampung justru dibubarkan.

Menurut Ratri, peristiwa tersebut dapat terjadi karena adanya bias industri. Seni yang dilakukan dalam acara-acara pemerintahan, maupun menghasilkan potensi ekonomi, mendapatkan izin lebih mudah jika dibandingkan perayaan atau ritual, yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Hal itu menunjukkan adanya standar ganda yang dimainkan negara selama pandemi. Ruang gerak pekerja seni dibatasi, dengan aturan yang tidak transparan dan konsisten, berpihak pada penguasa. Dengan kata lain, hari ini opresi terhadap seni dilakukan dengan mengatasnamakan pandemi.

Padahal, pekerja seni merupakan salah satu sektor yang terdampak secara ekonomi sejak awal 2020. “Teman-teman musisi punya side hustle, yang membuat fokusnya terbagi. Jadi waktu untuk mendalami karyanya berkurang,” tutur musisi dan peneliti Rara Sekar.

Terlebih dalam kasus pelanggaran kesenian terkait COVID-19, korban yang paling dirugikan adalah seniman dan penghayat seni yang tidak tinggal di kota-kota besar. Mereka tersingkir dari narasi pemulihan pasca pandemi, yang bias industri dan perkotaan.

Baca Juga: Nasib Seniman dan Atlet Saat Pandemi: Hilang Pendapatan, Ganggu Kesehatan Mental

Seniman Takut Berkarya

Sebenarnya para pekerja seni memiliki enam jenis hak kebebasan berkesenian. Seperti mendapat perlindungan hak sosial dan ekonomi, berkarya tanpa sensor atau intimidasi, mendapat dukungan, jalur distribusi dan pengupahan atas karya, kemudian ikut serta dalam kehidupan kebudayaan, berserikat, dan berpindah tempat.

Namun, sejumlah larangan dan pelanggaran yang ditetapkan menjadi bukti, kesenian kurang memiliki kebebasan di negara ini. Hal itu diperkuat dengan sejumlah aktor yang terlibat dalam pembubaran kegiatan seni terkait COVID-19.

“Kalau berdasarkan aktornya ya itu negara,” kata Ratri.

“Entah mengatasnamakan dirinya polisi, tergabung dengan Satgas COVID-19, Satpol PP, atau unit terkecil kayak Kades.”

Keterbatasan seniman dalam kondisi ini mampu berdampak pada swasensor karya, baik fisik maupun digital, akibat ketakutan yang diinternalisasi.

Pasalnya, survei yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2020, tentang pelaksanaan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi menunjukkan, 36 persen responden merasa takut menyampaikan pendapatnya di internet.

Maka itu, dikhawatirkan berpengaruh pada seniman yang berekspresi lewat karya. Pun swasensor itu dilakukan untuk mencegah konflik, entah dilakukan secara sadar ataupun tidak.

Realitas ini dapat kita perhatikan lewat karya yang diciptakan selama beberapa tahun belakangan. Pegiat seni minim menyampaikan kritik sosial, atau cukup diekspresikan lewat kiasan. Hal itu dilakukan untuk melindungi diri, sekaligus memberikan karya dalam konteks lebih kritis.

Meskipun pada akhirnya, maknanya tidak sekeras karya-karya yang dihasilkan Iwan Fals pada masanya. Mungkin salah satu musisi yang mengungkapkan keresahan terhadap keadaan saat ini, adalah grup band .Feast. Dengan lirik lagu yang acap mengkritik lingkungan sosial dan situasi negara ini.

“Ini menjelaskan bagaimana sistem demokrasi, ekonomi, dan politik hari ini, begitu menindas dan membatasi penggunaan seni, sebagai medium kritik yang efektif,” terang Rara.

Lebih dari itu, pelantun “Seroja” tersebut juga mengatakan, tuntutan ekonomi dan industri musik, serta kondisi demokrasi yang serba tidak pasti, membuat musisi melakukan swasensor. “Kita nggak tahu siapa yang bakal diciduk atau nggak,” ungkapnya.

Bahkan, kata dia, absennya negara dalam aspek sosial ekonomi pekerja seni, merupakan salah satu bentuk kekerasan. Pasalnya, kegiatan seni yang dilakukan adalah bagian dari kehidupan mereka. Bukan sekadar hiburan atau pemasukan, melainkan bagian dari identitas dan cara hidupnya dalam masyarakat.

Alhasil karena keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi itu, ruang untuk mengeksplorasi dalam berkesenian juga semakin sempit.

Baca Juga: Artivisme: Seni Sebagai Medium Perubahan di Akar Rumput

Ruang Aman untuk Kesenian

Sebagai warga negara, masyarakat—termasuk pegiat seni, memiliki hak mengritik pejabat publik. Bahkan harus dijamin dan dilindungi dalam instrumen hukum, baik skala nasional maupun internasional.

Seperti diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Atau dalam Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (KIHSP) Pasal 19 ayat 1 dan 2, menyatakan setiap orang berhak berpendapat tanpa campur tangan, dan memiliki hak kebebasan menyatakan pendapat. Terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai pilihannya.

Sayangnya, kritik itu kerap diinterpretasikan mencemarkan nama baik, atau dianggap sengaja menyebarkan informasi, yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu.

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menuturkan, sebenarnya hal itu dilarang untuk dilakukan. Ia juga menyinggung pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang perlu direvisi terkait kebebasan berekspresi.

Baca Juga: Seniman Muda Manfaatkan Teknologi Digital untuk Bertahan Selama Pandemi

Karena itu, untuk melawan ketakutan berkarya sekaligus mengisi kekosongan negara dalam mendukung seniman, Arif menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan.

Pertama, mengenal lebih jauh hak-hak yang dimiliki sebagai warga negara, bagaimana hukum di negara ini mengatur, melindungi, dan menghormati kesenian, khususnya bagi yang bergiat di kesenian dan menikmatinya.

“Saya pikir teman-teman akan lebih paham, apakah kita punya batasan dan ada upaya yang bisa dilakukan, termasuk tanggung jawab yang bisa dipenuhi setelah berkarya,” ucapnya.

Pun Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP), tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, termasuk berkesenian.

Kedua, berjejaring menjadi salah satu hal penting untuk dilakukan. Tidak sekadar memperluas relasi, tetapi lebih bertujuan mendapatkan hak atas bantuan hukum apabila sewaktu-waktu berhadapan dengan suatu kasus.

“Bantuan itu nggak selalu kalau ada kasus lalu didampingi, tapi berbicara preventifnya juga,” kata Arif. Ia merujuk pada pendidikan dan konsultasi hukum, karena terdapat kemungkinan kegiatan yang dilakukan berisiko.

“Jadi bisa konsultasi di lembaga atau jaringan, yang punya keahlian di isu hukum dan HAM,” tambahnya.

Sementara menurut Rara, diskusi yang dihasilkan lewat berjejaring dengan para seniman dari berbagai latar belakang, dapat membentuk kekuatan yang menjamin kebebasan dalam berkarya. Bahkan menyusun siasat baru, yang bermanfaat untuk seluruh bidang seni.

Ketiga, masyarakat perlu mengingatkan pemerintah dan berdialog dengan mereka, tentang peran dan fungsinya dalam menghormati, melindungi, dan memberikan jaminan hak berekspresi.

Di sinilah elemen masyarakat perlu terlibat seluas mungkin, untuk saling mendukung, menjaga, dan menciptakan ekosistem berbangsa dan bernegara yang sehat, termasuk demokrasi.

“Negara yang bisa menjaga hak warga negaranya itu negara yang demokratis. Lalu juga namanya HAM, hak sipil politik itu dilindungi, bukan direpresi,” ujar Arif.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.