Di tengah lautan orang dengan aneka kostum berwarna-warni dalam Pride Parade Paris di Perancis pada 29 Juni lalu, terselip sekelompok perempuan dan laki-laki yang mengenakan baju adat Indonesia dan menaiki kuda lumping. Tampak menonjol dan berbeda dari segi kostum dan warna kulit, namun mereka memiliki kesamaan dengan peserta pawai lainnya, yakni mendorong persamaan hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Pride Parade Paris 2019 atau La Marche des Fiertes ini merupakan pawai tahunan untuk merayakan berakhirnya pride month pada bulan Juni. Tidak hanya tampil meriah dengan bendera pelangi untuk menunjukkan kebanggaan sebagai bagian dari kelompok LGBT, pawai ini diadakan setiap tahun untuk memperingati perjuangan hak-hak LGBT di masa lalu, dan sebagai pengingat bahwa masih banyak hak yang harus diperjuangkan.
“Banyak sekali yang turun ke jalanan dan menari-nari mengikuti musik dari DJ dari truk terbuka. It just felt like happiness was in the air,” ujar H, perwakilan Bianglala Indonesia, sebuah kelompok LGBT Indonesia yang berbasis di Paris, dalam wawancara lewat telepon dengan Magdalene pada 5 Juli 2019.
Bianglala Indonesia baru saja dibentuk pada tahun ini berdasarkan keprihatinan mereka terhadap situasi kemanusiaan yang memburuk di tanah air, terutama dengan meningkatnya diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
“Kita awalnya berkumpul untuk saling berkenalan, tetapi atas keprihatinan kita dengan kondisi kemanusiaan di Indonesia, terutama terhadap kelompok LGBT, kita memutuskan untuk membentuk kelompok ini,” ujar H.
“Padahal Indonesia sebelumnya tidak memiliki sejarah mengkriminalisasi hubungan sesama jenis dan tidak ada hukum yang mendiskriminasi kelompok LGBT. Tetapi sepertinya budaya toleransi di Indonesia sudah mulai memudar,” tambahnya.
Dalam periode dua tahun terakhir, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok LGBT di Indonesia semakin meningkat. Dalam hasil survei berdasarkan pantauan media yang dirilis akhir tahun lalu oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), ditemukan 973 orang menjadi sasaran dalam kasus diskriminasi, persekusi, dan kekerasan di seluruh Indonesia pada 2017. Hampir tiga perempat dari korban adalah transgender, diikuti dengan 23 persen laki-laki homoseksual, dan 3 persen lesbian. Kasus-kasus berkisar dari pengekangan kebebasan berekspresi (termasuk larangan acara atau diskusi terkait LGBT) dan penggerebekan rumah serta penggusuran, sampai penangkapan di klub malam gay, hingga pembunuhan.
Laporan Human Rights Watch berjudul “Scared in Public and Now No Privacy: Human Rights and Public Health Impacts of Indonesia’s Anti-LGBT Moral Panic”, mencatat bahwa pada 2017, polisi menangkap 300 orang karena orientasi seksual dan identitas gender mereka. Angka ini melonjak dari tahun-tahun sebelumnya dan angka tertinggi yang pernah tercatat di Indonesia.
Sejak saat itu protes dan demonstrasi anti-LGBT terus meningkat. Meningkatnya diskriminasi terhadap LGBT juga didukung oleh banyak politisi yang memanfaatkan pembahasan isu ini untuk menarik hati pihak-pihak konservatif dan religius. Diskriminasi terhadap LGBT di kehidupan sosial dan karier juga terus bertambah. Baru-baru ini juga ada petugas polisi yang diberhentikan dari pekerjaannya karena diungkap orientasi seksualnya sebagai gay.
Situasi di tanah air mendorong Bianglala Indonesia untuk berbuat sesuatu, diawali dengan partisipasi dalam Pride Parade Paris. Partisipasi tersebut dikecam sejumlah kalangan, dan beberapa orang menyebarkan hoaks bahwa pemerintah Indonesia telah mengirimkan kelompok LGBT ke Paris khusus untuk berpartisipasi di dalam pawai tersebut.
Penyebaran hoaks dan kontroversi ini mendorong warganet untuk mendesak Duta Besar Republik Indonesia untuk Perancis, Arrmanatha Nasir, untuk mengkonfirmasi berita tersebut.
"WNI yang mengikuti Parade Gay Pride di Paris tidak mewakili Indonesia. Mereka mengikuti acara itu atas nama pribadi mereka," ujar Arrmanatha seperti dikutip media di Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah juga menekankan kepada media bahwa partisipasi WNI di Pride Parade ini adalah inisiatif perorangan, dan mereka bertanggung jawab pada diri mereka sendiri atas apa yang dilakukannya.
Menurut H, penjelasan dari Duta Besar RI di Prancis dinilai sangat objektif dan tidak dianggap sebagai serangan oleh Bianglala Indonesia karena ia hanya menjelaskan situasi yang sebenarnya.
“Kita di sini memang tidak ada dukungan dari negara Indonesia atau negara Prancis. Kita di sini atas kemauan sendiri. Kita di sini karena ingin menyampaikan kepada saudara-saudara LGBT di Indonesia bahwa mereka tidak sendirian dalam situasi yang sulit ini,” ujarnya.
Pada hari itu, para anggota Bianglala mewarnai pawai di Paris dengan baju-baju tradisional Bali dan juga Minang. Beberapa orang juga tampil dengan pakaian tradisional Jawa sambil menaiki kuda lumping. Dalam pawai tersebut, mereka juga memberikan pernyataan sikap mereka terhadap diskriminasi LGBT di Indonesia dalam bahasa Prancis, yang diberikan kepada panitia pawai untuk dibacakan di menit-menit terakhir pawai.
“Karena baju tradisional kita ini, banyak yang menghampiri kita dan menanyakan tentang kelompok kami dan isu LGBT di Indonesia,” ujar H. “Mereka juga banyak yang berfoto dengan kita.”
Lewat keikutsertaan ini, H mengatakan bahwa Bianglala Indonesia berharap dunia internasional akan semakin sadar dengan situasi yang menimpa kelompok LGBT di Indonesia.
“Kami sadar bahwa keikutsertaan kita di dalam pawai ini bukan hanya untuk kami, tetapi untuk membantu teman-teman kita di Indonesia,” ujar H.
Selain itu, Bianglala Indonesia juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi semua warga negara, menghormati hak-haknya sebagai manusia dan segala perbedaannya, serta menghentikan kelompok-kelompok yang cenderung memaksakan kepercayaan mereka dengan kekerasan.
“Kita harap ke depannya tidak ada lagi kriminalisasi dan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia. Sesuai dengan apa yang kita tulis di spanduk yang kita bawa pada pawai hari itu, Indonesia adalah negara yang beragam. Beragam budaya, agama, etnis, orientasi seksual dan gender,” ujar H.
“Seharusnya pemerintah Indonesia melindungi semua warga negaranya tanpa memperhatikan perbedaannya, termasuk preferensi seksual dan identitas gender mereka.”
Baca juga tentang sejarah gerakan dan perjuangan hak-hak LGBT di Indonesia.
Comments