Baru-baru ini Netflix merilis secara global musim pertama docu-series Jepang, Old Enough! yang dalam bahasa Jepang lebih dikenal dengan judul Hajimete Atsukai (はじめてあつかい). Penayangannya secara global sontak membuat jagat dunia maya riuh. Ada yang gemas, merasa terhibur, dan tidak sedikit juga yang membelakkan matanya karena kaget.
Bagaimana tidak? Docu-series yang sebenarnya sudah ditayangkan secara tidak teratur sejak tahun 1991 di Nippon Television ini secara terang-terangan memperlihatkan kemandirian anak-anak Jepang melakukan tugas-tugas domestik alias pekerjaan rumah tangga.
Didampingi kru kamera yang menyamar dan secara sembunyi-sembunyi merekam, anak-anak berusia 2 sampai 6 tahun membeli bahan makanan, pergi mencuci baju di tempat laundry, hingga mengantarkan paket.
Dengan langkah yang masih diiringi bunyi decitan khas sepatu balita serta omamori (お守り, jimat perlindungan)yang tergantung di dada mereka, anak-anak ini menjelajah sudut-sudut kota sendirian atau bergandengan tangan bersama teman sebayanya.
Hiroki, balita yang kala itu masih berusia dua tahun sembilan bulan mengawali penayangan variety show ini. Ia diberikan tugas oleh ibunya untuk membeli kari manis, boten atau kue ikan, dan bunga.
Baca juga: Ciptakan Kota Aman Bagi Anak Perempuan
Dengan jarak tempuh kurang lebih 1 kilometer, Hiroki berjalan kaki menikmati perjalanannya sambil sesekali melihat mobil dan bus yang lalu lalang. Sesampainya di supermarket Hiroki langsung berlari mengambil boten dan ketika ia tidak bisa menemukan bunga yang ia cari, tanpa malu-malu ia langsung bertanya pada pegawai supermarket.
Selesai berbelanja sendirian, Hiroki memutuskan untuk pulang. Berbekal bendera warna kuning yang bertuliskan tomaru (止まる, berhenti) ia melambaikan benderanya dan menyeberangi jalan besar yang penuh dengan kendaraan roda empat. Di sinilah akhir perjalanan “tugas pertama” Hiroki, ia sukses membeli ketiga barang yang diminta oleh ibunya dan pulang dengan selamat.
Budaya yang Membentuk Kemandirian Anak-Anak Jepang
Kisah Hiroki yang sudah melakukan tugas pertama di usia yang masih sangat muda mungkin membuat kita mengernyitkan dahi. Faktanya, anak seusia Hiroki di Jepang belum diperbolehkan untuk “berkelana” sendirian tanpa pengawasan orang tua. Namun, faktanya anak-anak Jepang di usia muda (6-10 tahun) memang memiliki tingkat kemandirian yang berbeda dengan anak-anak seusia mereka di negara lain.
“Di Jepang, banyak anak sudah diajarkan untuk mandiri. Mereka pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum seperti kereta api bawah tanah sendirian tanpa pengawasan orang tua. Hal ini sudah jadi pemandangan yang cukup umum di sini,” kata Hironori Kato, seorang profesor perencanaan transportasi di Universitas Tokyo dalam wawancarnya bersama Slate.
Kemandirian anak-anak Jepang ini sudah terpupuk sejak dini dengan cara memberikan diberi tugas sederhana pada usia 2 atau 3 tahun. Sebagian besar tugas ini berkaitan dengan urusan keluarga seperti membersihkan atau membuang sampah kecil.
Penekanan yang kuat pada kemandirian kemudian semakin terasa ketika mereka menginjak usia enam tahun. Dalam sebuah dokumenter singkat berdurasi 8 menit yang dirilis oleh SBS The Feed pada 2015, dijelaskan bahwa penekanan ini terlihat jelas dalam sebuah peribahasa Jepang: "kawaii ko ni wa tabi o saseyo” (可愛い子には旅をさせよ)—yang jika diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti "kirim anak tercinta dalam perjalanan”.
Satoko Ando, seorang ibu berusia 39 tahun menjelaskan bagaimana pribahasa ini dipegang kuat oleh para orang tua Jepang. Katanya, fenomena ini memiliki arti sebagai ajakan bagi para orang tua untuk menumbuhkan kemandirian dalam diri anak.
“Peribahasa ini memiliki arti, orang tua—tanpa harus over protective terhadap anak—(baiknya) membiarkan anak melakukan berbagai hal yang bisa mereka lakukan sendiri. Orang tua memang harus mendorong anak-anak mereka (untuk mandiri),” jelasnya.
Hal yang kemudian menarik dari pengimplementasian peribahasa ini adalah bagaimana masyarakat Jepang juga memadukannya dengan etika “group reliance.”
Baca juga: Dear Orang Tua, Bebaskan Anak dari Enam Hal Ini
“Anak-anak [Jepang] belajar sejak dini. Idealnya, setiap anggota komunitas dapat dipanggil untuk melayani atau membantu orang lain,” tulis Dwayne Dixon di The Atlantic. Ia adalah antropolog budaya yang menulis disertasi doktoralnya tentang anak- Jepang.
Etika ini lalu diperkuat di sekolah, di mana anak-anak secara bergiliran membersihkan dan menyajikan makan siang sendiri. Mereka tidak lagi mengandalkan guru atau staf sekolah untuk melakukan tugas tersebut. Dalam hal ini, anak-anak tidak saja diajarkan untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab pada lingkungan dan orang sekitarnya.
Harmoni antara diri sendiri dan orang lain jadi nilai yang menonjol untuk dijaga, karena selaras dengan kebudayaan saling mengandalkan dalam praktiknya. Sebab, jika ada salah satu orang saja enggan melakukan tugasnya, maka “ketertiban” yang seharusnya dijaga dalam suatu kelompok akan kacau dan berdampak bagi banyak orang.
Disempurnakan Lewat Desain Tata Ruang Kota Ramah Anak
Banyak orang tua Jepang percaya bahwa negara mereka aman bagi anak-anak, karena tingkat kejahatannya relatif rendah. Dikutip dari World Bank, tingkat kejahatan Jepang untuk 2017 adalah 0,24, turun 15,28 persen dari 2016. Hal ini jadi alasan utama orang tua merasa percaya diri untuk mengirim anak-anak mereka sendirian di jalanan.
Salah satu faktor pendukung yang bikin predikat itu bisa diraih Jepang, adalah karena desain tata kota mereka yang sengaja dibikin aman buat anak-anak. Mulai dari tata ruang hingga penggunaan transportasi publiknya.
“Jalan dan jaringan jalan dirancang agar anak-anak dapat ke luar rumah dengan aman,” kata Kato pada Slate. Pengemudi di Jepang juga diajari untuk menaati rambu-rambu dan menghormati para pejalan kaki dengan menetapkan batas kecepatan rendah secara ketat.
Dalam publikasi Designing Child-Friendly High Density Neighbourhoods (2019), dijelaskan bahwa sekolah-sekolah dan pemerintah daerah setempat membangun rute perjalanan ramah anak. Mereka memetakan rute perjalanan umum anak-anak dan meningkatkan infrastruktur jalan jika diperlukan.
Rute yang biasanya dilalui anak-anak usia belia dibatasi dengan papan petunjuk. Sehingga pengguna jalan lebih waspada terhadap anak-anak yang berjalan kaki. Pemilik toko dan rumah tangga terdekat juga bisa membantu anak-anak jika diperlukan.
Selain itu, piktograf seperti kaki kecil sering dilukis di persimpangan. Fungsinya untuk mengingatkan anak-anak agar memperhatikan rambu lalu lintas. Banyak zona di sekitar sekolah juga ditutup untuk lalu lintas kendaraan, terutama selama waktu perjalanan anak-anak ke sekolah dimulai.
Waktu penutupan jalan dicat di jalan dengan teks besar dan papan petunjuk ditaruh untuk memblokir jalan. Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa anak-anak dapat berjalan dengan aman tanpa takut akan bahaya lalu lintas.
Tidak hanya jalan-jalan yang aman bagi anak-anak, transportasi umum di Jepang juga dibangun aman bagi mereka. Transportasi umum di Jepang dikenal sebagai sistem transportasi terbaik di dunia karena ketepatan waktu, keamanan, dan kenyamanannya.
Kereta bawah tanah, misalnya, sengaca didesain dengan kemungkinan keterlambatan sangat tipis. Semua jadwal keberangkatan tersedia secara daring dan dapat digunakan orang tua untuk melacak kedatangan anak-anak mereka di stasiun.
Dilansir dari Yabai, publikasi online berbahasa Inggris yang bertema budaya dan travel Jepang, keamanan dan kenyamanan anak-anak dalam menggunakan transportasi umum dipermudah melalui 'teiki-ken', kartu pelajar komuter.
Dengan kartu ini, orang tua atau siswa dapat membeli tiket dua arah untuk jangka waktu tertentu dan bisa digunakan baik untuk naik kereta atau bus di sepenjuru Jepang.
Baca Juga: ‘Kotaro Lives Alone’: Drama Jepang yang Menyentuh dan Bikin Gemas
Selain menjamin kemududahan akses demi keselamatan pelajar, tiket komuter ini juga berfungsi sebagai tanda pengenal dengan informasi pribadi seperti nama, foto, dan alamat dan hanya dapat digunakan pada rute tertentu. Hal diberlakukan tentunya untuk membantu menentukan, apakah seorang siswa atau anak hilang, telah turun stasiun yang salah. Alias mempermudah proses pelacakan, jika sesuatu yang buruk terjadi.
Singkatnya, kemandirian yang dimiliki anak-anak usia belia di Jepang nyatanya tidak datang dari sebuah ruang hampa. Kemandirian ini dipupuk dari banyak hal, bukan tergantung pada variabel tunggal. Dalam hal ini, kemandirian anak-anak Jepang tidak hanya dipupuk dari budaya dan etika yang diajarkan sedari mereka kecil. Namun, ia kembali disempurnakan lewat peran pemangku kebijakan yang mampu menciptakan tata ruang kota yang aman dan nyaman bagi anak-anak.
Comments