Women Lead Pendidikan Seks
October 05, 2022

Kematian Mahsa Amini: Perempuan Iran Makin Solid Tuntut Perubahan Transformatif

Pemberontakan yang terjadi saat ini merupakan rantai protes perempuan Iran, yang telah lama ditundukan rezim konservatif Iran.

by Vrinda Narain dan Fatemeh Sadegh
Issues // Politics and Society
Share:

Pada 16 September 2022, Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun asal Iran, meninggal dunia di Teheran, Iran, saat berada dalam tahanan kepolisian setempat. Sebelumnya, Amini ditangkap oleh Guidance Patrol, “pasukan moral” Komando Penegakkan Hukum Republik Islam Iran yang mengawasi implementasi peraturan hijab. Saat itu ia dianggap tidak mengenakan hijab dengan benar.

Berita kematian Amini kemudian disiarkan dan foto-foto dirinya dalam keadaan koma di rumah sakit tersebar di media sosial, menyulut kemarahan masyarakat Iran.

Kematian Amini tidak hanya menggambarkan kekerasan sistematis polisi di Iran, tapi juga menampakkan brutalnya rezim yang tengah berkuasa terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Amini merupakan seorang Kurdi, salah satu kelompok etnis minoritas paling tertindas di Iran.

Seluruh perempuan Iran yang merasa terus-menerus direndahkan karena gender mereka pastinya berempati dengan Amini. Namun, orang-orang Kurdi, terutama perempuannya, secara khusus dapat memahami makna politik di balik kematian Amini di tangan polisi dan cara negara merespon aksi-aksi protes yang terjadi.

Baca juga: Sebenarnya Kita Berproses Jadi Lebih Baik atau Sekadar Mabuk Berhijab?

Menyusul kematian Amini, rangkaian demonstrasi besar-besaran terjadi di 31 provinsi Iran. Ini termasuk Kurdistan dan Teheran, serta kota-kota seperti Rasht, Isfahan, dan Qom yang banyak dimukimi oleh kelompok-kelompok konservatif di Iran.

Orang-orang turun ke jalan meneriakkan slogan-slogan yang menentang aturan wajib berhijab dan mengecam Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei. Puluhan orang telah meninggal dunia di tangan pasukan keamanan dan ratusan lainnya ditangkap. Ini merupakan momen bersejarah di Iran.

Kerumunan besar dan mobil-mobil terlihat di jalan kota yang dipenuhi pepohonan dengan kepulan asap di beberapa tempat.Pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan dalam aksi protes atas kematian Mahsa Amini, yang ditahan oleh polisi moral di pusat kota Teheran, Iran, pada 21 September 2022. Foto ini diambil oleh individu yang tidak dipekerjakan oleh Associated Press dan diperoleh oleh AP di luar Iran. (AP Photo)

Perempuan dalam Revolusi

Pemberontakan dengan skala seperti saat ini mungkin memang terlihat sebagai hal yang baru dan revolusioner. Namun, sebenarnya ini adalah bagian dari gerakan perlawanan perempuan Iran yang telah mengakar dan sudah berlangsung sejak lama.

Aturan hukum wajib berhijab mulai berlaku sejak tahun 1981, dua tahun setelah protes antirezim yang memicu Revolusi Iran pada 1979. Aturan itu seakan menjadi hukuman bagi ratusan perempuan yang berpartisipasi dalam protes kala itu.

Akibatnya, melepas hijab di depan umum dianggap perbuatan yang menantang pemerintah.

Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada 2017, seorang perempuan Iran bernama Vida Movahed menaiki sebuah podium di Jalan Enghelab, pusat kota Teheran, lalu melepas hijabnya dan melambaikannya ke udara sebagai tanda penolakan terhadap kewajiban berhijab.

Baca juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Aksinya itu kemudian diikuti oleh perempuan-perempuan lain, dan gerakan ini dengan cepat dikenal sebagai “Perempuan-Perempuan Jalan Revolusi” (The Girls of Revolution Street atau Dokhtaran e Khiaban e Enghelab).

Gerakan tersebut menjadi simbol perlawanan para perempuan muda terhadap aturan wajib hijab Iran dan membuat semakin banyak perempuan berani menentang negara dengan berpergian tanpa hijab.

Kemenangan Ebrahim Raisi, seorang Muslim garis keras, sebagai presiden pada pemilu 2020, memberi pesan yang jelas: Perempuan akan semakin tertindas.

Zan, Zendegi, Azadi: Perempuan, Kehidupan, Kebebasan

Pemberontakan yang terjadi saat ini merupakan sebuah mata rantai dalam rangkaian protes lain yang berpotensi membawa perubahan besar di Iran, seperti halnya Gerakan Hijau (Green Movement) tahun 2009 yang pro-demokrasi, diikuti oleh beberapa pemberontakan besar pada 2018 dan 2019. Sebagian besar aksi Gerakan Hijau dilaksanakan dengan damai, tetapi setiap terjadi represi oleh pasukan keamanan, pemberontakan menjadi semakin konfrontatif.

Perempuan telah mengambil peran dalam memimpin semua aksi protes tersebut. Ini menunjukkan tantangan nyata bagi rezim konservatif Iran. Perempuan menjadi pemimpin perubahan transformatif dan pelopor revolusi yang menantang legitimasi pemerintahan saat ini.

Baca juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?

Protes saat ini fokus pada dua tuntutan utama: martabat dan kebebasan. Keduanya belum menjadi bagian dari sistem politik di Iran selama ini, dan selalu hadir di hampir semua slogan selama pemberontakan ini, terutama “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.” Ini juga memperjelas bahwa tuntutan perubahan di Iran sangat kuat dan signifikan.

Seorang wanita memegang poster bertuliskan _Women, Life, Freedom_ pada pawai protes.Anggota komunitas Iran dan pendukung mereka berkumpul dalam solidaritas dengan pengunjuk rasa di Iran di Ottawa, Kanada pada 25 September 2022. THE CANADIAN PRESS/Justin Tang

Dalam setiap gelombang protes, tuntutan akan kebebasan semakin menguat, suara semakin keras, dan kesuksesan menjadi makin dekat. Sekali lagi, perempuan Iran berada di garis depan menuntut perubahan transformatif.

Dengan dukungan kuat dari laki-laki, kelompok politik dan etnis minoritas, serta kelompok lain yang kehilangan haknya saat ini, mereka memimpin negara menuju masyarakat yang lebih bebas dan lebih adil.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Vrinda Narain, Associate Professor, Faculty of Law, Centre for Human Rights and Legal Pluralism; Max Bell School of Public Policy, McGill University dan Fatemeh Sadeghi, Research associate, Politics, UCL