Pejabat Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) menyangkal adanya diskriminasi terhadap mahasiswa lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT) di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia.
Direktur Pembelajaran Paristiyanti Nurwardani mengatakan tidak pernah ada pembahasan soal itu dari Menristekdikti Mohamad Nasir, bahkan yang selalu dibahas adalah pendidikan yang inklusif.
“Selama ini saya diarahkan oleh Pak Nasir untuk memastikan kampus-kampus kita tidak intoleran. Jadi saya tidak percaya kalau ada diskriminasi dalam undang-undang atau peraturan Ristekdikti," ujarnya dalam diskusi publik “Tanggung Jawab DIKTI dan Diskriminasi di Kampus” pada minggu lalu di Wisma PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), Jakarta.
Diskusi publik ini diadakan untuk meningkatkan kesadaran akan banyaknya diskriminasi yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia dan juga untuk memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia dan Transfobia (IDAHOBIT).
Pernyataan Paristiyanti bertentangan dengan laporan sejumlah pihak mengenai diskriminasi tersebut. Maret tahun ini, lembaga nirlaba Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia, juga melaporkan adanya 23 tindakan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di perguruan tinggi Indonesia sejak 2016.
Tindakan tersebut, menurut SGRC, dimulai pada Januari 2016 ketika Nasir melarang LGBT “masuk kampus-kampus di Indonesia karena aktivitas LGBT tidak sesuai dengan nilai kesusilaan.” Setelah itu, SGRC mencatat peningkatan diskriminasi terhadap LGBT di kampus, termasuk pada April 2017 ketika Universitas Andalas di Sumatra Barat meminta mahasiswa baru menandatangani pernyataan bahwa mereka bukanlah LGBT.
Pada 11 Oktober 2018, Menristekdikti Nasir kembali mengungkapkan bahwa kegiatan LGBT di dalam kampus sama sekali tidak mencerminkan budaya Indonesia, menyebabkan peningkatan demonstrasi dan aksi penolakan LGBT dari mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia.
Kasus terkini adalah penurunan paksa para anggota Suara USU, pers mahasiswa Universitas Sumatra Utara (USU), oleh rektor kampus karena mempublikasikan cerita pendek yang dianggap mempromosikan LGBT.
Cerpen yang berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” ini diunggah di situs Suara USU pada 12 Maret 2019 dan isinya diprotes oleh mahasiswa USU. Cerpen ini mengisahkan diskriminasi yang dihadapi seorang lesbian saat perasaannya terhadap seorang perempuan tersebar.
“Saya rasa apa yang terjadi antara rektor USU (Universitas Sumatra Utara) dan Suara USU hanyalah sebuah miskomunikasi. Kalau memang dianggap ada aturan yang dilanggar, seharusnya semuanya dikomunikasikan secara damai,” ujar Paristiyanti.
Yael Stefani, Pemimpin Umum Suara USU, mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba berdiskusi secara damai tetapi rektor universitas sudah bersikeras dengan keputusannya dan menolak adanya mediasi.
“Rektor USU Runtung Sitepu meminta cerpen tersebut diturunkan karena dianggap mempromosikan LGBT dan juga mengandung unsur pornografi,” ujar Yael, yang diundang dari Medan untuk menghadiri acara diskusi tersebut.
“Pornografi yang dimaksud olehnya adalah kata-kata yang wajar untuk digunakan seperti ‘sperma’ dan ‘rahim’,” tambahnya.
Karena alasan yang, menurut pengurus Suara USU, tidak jelas dan tidak masuk akal, mereka menolak untuk turunkan cerpen dari situs mereka, kata Yael. Pada 22 Maret 2019, 18 pengurus Suara USU dipecat melalui Surat Keputusan Rektor. Esoknya, Rektor USU mencabut legalitas pengurusan Suara USU.
“Saat ditanya, pihak Ristekdikti mengatakan bahwa persoalan ini akan selalu dikembalikan ke keputusan rektor atau keputusan kampus masing-masing. Kalau selalu dikembalikan ke pihak universitas, buat apa ada Ristekdikti?” tanya Yael.
Pertanyaan ini tidak ditanggapi oleh Paristiyanti karena ia sudah meninggalkan diskusi terlebih dahulu. Namun sebelumnya ia mengatakan pihaknya terbuka akan laporan dari berbagai pihak.
"Tetapi saya dengan senang hati menunggu surat-surat dari teman-teman sekalian tentang agar kita bisa berdiskusi tentang topik ini dengan kepala yang lebih dingin," ujarnya.
Ferena Debineva, salah satu pendiri dan Ketua SGRC, menjelaskan bahwa apa yang terjadi kepada Suara USU bukanlah sebuah kesalahpahaman tetapi merupakan pelanggaran Pasal 28 E Undang-Undang Dasar 1945, yaitu hak kebebasan berserikat berkumpul dan berpendapat.
“Bahkan dengan banyaknya kasus yang serupa, hal ini membuktikan bahwa ada diskriminasi struktural dari pemerintah terutama jika kita berbicara tentang LGBT,” ujarnya.
“Padahal kita sudah melakukan penelitian tentang LGBT, kita sudah menulis jurnal. Bahkan LGBT termasuk di dalam hak kesehatan seksual dan reproduksi dan juga di kajian gender. Namun penelitian itu tidak ditanggapi dan justru LGBT dilarang masuk kampus karena disamakan dengan proxy war atau perang nuklir,” ujarnya.
Ferena mendesak Kemenristekdikti melakukan sesuatu untuk mengakhiri diskriminasi di perguruan tinggi ini karena hal tersebut merupakan tanggung jawab lembaga itu.
“Kami berharap Kemenristekdikti sadar bahwa ada orang-orang yang bahkan terancam hidupnya. Ada orang-orang yang membayar perguruan tinggi untuk mendapatkan pendidikan tetapi hanya berujung kepada diskriminasi dan kekerasan,” katanya.
“Kalau Kemenristekdikti tidak berpihak kepada kami, beneficiaries mereka, tetapi berpihak kepada kaki-kaki kampus besar, ke mana lagi kita harus mengadu? Kalau Kemenristekdikti tidak bisa menjadi payung bagi kami yang mencari kebenaran dan keadilan, kami tidak tahu lagi kami harus ke mana,” ujar Ferena.
Baca juga bagaimana pendidikan seks bisa cegah kekerasan seksual pada anak.
Comments