Dewasa ini, kata ‘narsisisme’ kerap mengalami pendangkalan makna. Sifat narsis dihubungkan dengan aktivitas keranjingan swafoto (selfie), getol mengunggah, dan memuji diri sendiri, serta aneka bentuk ekspresi pamer.
Padahal narsisme tidak sesederhana itu. Narsisisme juga bisa hadir, misalnya, dalam ekspresi keagamaan yang bersifat kelompok.
Bahkan narsisisme keagamaan bisa menyulut permusuhan antarkelompok yang selama ini sering hanya dipandang dari kacamata konflik mayoritas-minoritas – dari diskriminasi terhadap kelompok Syiah di Madura, Jawa Timur dan Makassar, Sulawesi Selatan hingga penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah.
Perseteruan antarumat tersebut tidak saja melibatkan orang dewasa, namun juga kaum muda, dalam bentuk ‘narsisme keagamaan kolektif’. Kecenderungan psikologis ini berskala komunal dan berbasis ikatan keagamaan tertentu.
Riset saya pada akhir 2019 berupaya mengurai fenomena narsisme kolektif keagamaan ini, dan mengamati wujudnya dengan mempelajari empat akun Instagram dan Facebook kaum muda Muslim di Indonesia.
Baca juga: Pasangan Narsistik, Apa Saja Tandanya dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Gencar pada Kaum Muda dan Berkembang Jadi Kolektif
Dalam psikologi, narsisisme diambil dari mitologi Yunani. Narcissus, sosok yang terlalu mengagumi pantulan wajahnya sendiri di telaga, diadopsi jadi istilah gangguan psikologis akan kecenderungan egophilia (kecintaan pada ego yang tinggi).
Narsisisme lalu masuk ke Manual Diagnosis dan Statistik Gangguan Mental DSM-V keluaran American Psychiatric Association (APA). Ini terangkum dalam beberapa gejala – termasuk fokus berlebihan pada diri sendiri, rasa superior, kurangnya empati, hingga cenderung mengeksploitasi orang lain.
Menurut peneliti psikologi seperti Kevin S. Carlson dan Joshua Grubbs, narsisisme ini lebih sering terlihat pada kaum muda. Riset Grubbs mengamati generasi muda dalam rentang usia 18-25 tahun ternyata lebih cenderung narsisistik ketimbang generasi yang lebih tua.
Psikolog sosial Agnieszka Golec de Zavala juga memandang narsisisme yang pada mulanya gejala individual, ternyata dapat berkembang menjadi kolektif – termasuk dalam konteks ideologi seperti agama.
Misalnya, narsisisme dapat merambah ke banyak sektor seperti etnosentrisme, rasa nasionalisme yang berlebihan (hyper-nationalism), hingga fanatisme keagamaan.
Lalu, bagaimana variasi narsisisme kolektif ini menampakkan diri di antara kaum muda beragama di Indonesia?
Kaum Muda, Logika In-group, dan Fanatisme
Riset saya berupaya mengamati ini melalui akun @pemudahijrahyuk, @generasi_muda_nu_official, dan @pp.pemudamuhammadiyah di Instagram, serta Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) di Facebook pada akhir 2019. Meski demikian, saya melihat karakter unggahan mereka pada tahun 2022 ini secara umum masih memiliki corak yang sama.
Pada dua akun Instagram kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kelompok Muslim mayoritas ini menunjukkan ekspresi keagamaan dengan kebanggaan besar terhadap grup mereka sendiri.
Muhammadiyah menawarkan dukungan rasa kepercayaan diri dan solidaritas kepada kader mudanya tanpa memandang perbedaan kepentingan politik – setidaknya dalam batasan pandangan menurut kelompok mereka sendiri (Gambar 1). Ini menjadi tanda kepercayaan diri kolektif dan rasa memiliki terhadap organisasi yang cukup tinggi.
Sedangkan kader muda NU, yang tidak jauh berbeda dari Muhammadiyah, juga proaktif unjuk menampilkan wajah di dunia maya.
Mereka sering membagikan “rasa memiliki” dan “kebanggaan” menjadi NU dengan mengunggah keyakinan bahwa mereka berada di jalan yang benar (Gambar 2). Tapi, mereka juga terkadang memberi respons yang cenderung agresif atau ofensif terhadap kalangan yang tidak sejalan dengan nilai kelompoknya (Gambar 3).
Di sisi yang lain, Pemuda Hijrah dan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) memiliki ekspresi yang tak kalah khas.
Unggahan Pemuda Hijrah memiliki kecenderungan mengajak menjadi seorang Muslim yang merujuk ke ajaran Islam ‘puritan’ – atau sesuai dengan nilai pada masa awal Islam. Ada kesan bahwa pandangan generasi muda kelompok ini cenderung konservatif, meski terkadang diselangi dengan konten budaya populer seperti TikTok dan drama Korea.
Dalam satu unggahan, misalnya, mereka gelisah dan menyudutkan kelompok Muslimah lain yang memegang nilai tentang aurat dan busana yang berbeda dengan kelompok mereka (Gambar 4).
Selanjutnya, ITP hadir sebagai kelompok yang cukup militan dalam menolak berpacaran. Aktivitas siber dan penyebaran nilai in-group (khas kelompok) mereka di media sosial menggambarkan suatu kecenderungan narsisisme yang cukup kuat – untuk tidak menyebut ekstrem.
Kita bisa melihat bagaimana keempat kelompok ini memiliki kecenderungan narsisisme religius kolektif yang variatif.
Ada yang ‘positif’, sebagaimana ulasan peneliti psikoanalisis dari Prancis, Andre Green, yang mampu mendongkrak self-esteem (rasa percaya diri) seseorang dan meningkatkan mood dalam beraktivitas kelompok.
Sebaliknya, ada yang cenderung ‘negatif’ dan menandakan narsisisme yang mengarah ke fanatisme.
Beberapa unggahan tersebut, misalnya, menunjukkan karakter merendahkan (devaluasi) dan berupaya memancarkan dominasi terhadap kelompok liyan yang berpotensi melahirkan ketimpangan dan penindasan.
Baca juga: Tingkah Laku Polri-TNI: Dari Flexing sampai Narsistik
Perlu Waspada dan Lebih Berempati
Kita sering menjumpai individu dan kelompok yang membawa label keislaman tertentu yang menunjukkan narsisisme dan fanatisme. Terkadang, mereka bahkan merasa paling unggul dengan logika kelompoknya (in-group).
Perangai seperti ini dapat mengarahkan seseorang atau komunitas untuk melegitimasi perlakuan tindak kekerasan atas nama kebenaran kelompok.
Mengingat hal ini, kaum muda perlu waspada akan kecenderungan psikologi sosial tersebut – utamanya yang mengarah pada upaya dominasi sosial.
Melatih diri dan kelompok agar lebih berempati agaknya menjadi penting untuk menjaga harmoni di masyarakat, sekaligus meredam potensi konflik antarumat beragama.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments