Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan pada momen Idulfitri setelah sebulan penuh umat Islam berpuasa. Dalam kehangatan, orang-orang bertemu dengan kerabat dan kenalannya untuk meminta dan menerima maaf atas kesalahan mereka, baik yang disengaja maupun tidak.
Karena itu, Idulfitri menjadi momen rekonsiliasi masif dan massal yang menciptakan suasana tenteram dan akrab di masyarakat. Hal ini bukan hanya dapat dimaknai sebagai peristiwa teologis, tapi juga fenomena budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Mengapa kita mudah meminta maaf dan memberikan maaf saat Lebaran, tapi cenderung sulit melakukannya saat hari-hari biasa? Bagaimana ilmu perilaku menjelaskan momen meminta dan memberi maaf ini sebagai fenomena psikologis?
Sejumlah riset menunjukkan, hati yang bahagia dan adanya kesamaan identitas sosial antara peminta dan pemberi maaf mendorong hati seseorang lapang dada memaafkan kesalahan.
Baca juga: Jangan Sulit Minta Maaf, Efeknya Dahsyat!
Pengaruh Suasana Hati
Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Feng Jiang dan tim peneliti dari Central University of Finance and Economics, Beijing, Cina, mereka meminta para partisipan penelitian untuk memikirkan kemungkinan memberikan maaf kepada pelaku kejahatan. Para peneliti ini membuat beberapa skenario pembunuhan dan menanyakan kepada para subjek penelitian apakah mereka akan memberikan maaf kepada para pelaku.
Sebelum menganalisis hasilnya, Feng Jian dan tim membagi para partisipan menjadi dua kelompok besar berdasar kondisi suasana hatinya. Kelompok pertama adalah mereka yang sedang merasa bahagia saat itu. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang cenderung merasa datar atau bahkan tidak memiliki suasana hati yang senang hari itu.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa tendensi untuk memaafkan lebih mudah dilakukan oleh para partisipan yang suasana hatinya sedang bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi sehari-hari, keputusan untuk memberi maaf sangat tergantung dari disposisi individual, termasuk suasana hati yang sedang dirasakan.
Identitas Personal dan Identitas Sosial
Dalam ilmu Psikologi Sosial, para ilmuwan percaya bahwa manusia adalah individu yang tidak hanya memiliki identitas personal, tapi juga identitas sosial. Identitas personal adalah struktur fisik dan fitur kepribadian yang kita miliki sebagai seorang individu.
Misalnya, orang bernama Adi Darmawan adalah individu yang memiliki rambut ikal, kulit berwarna kuning langsat, pemalu, dan bertutur dengan lembut. Identitas personal menjelaskan siapa Adi dengan segala keunikan individualnya sebagai seorang manusia.
Selain itu, Adi juga memiliki identitas sosial. Identitas sosial menjelaskan identitas Adi sebagai bagian dari kelompok sosialnya. Kita ambil contoh, Adi berprofesi sebagai polisi. Identitas sebagai seorang polisi membuat Adi bersikap dan berperilaku sesuai dengan standar perilaku polisi.
Artinya, semua tindak tanduk yang ditunjukkan Adi dalam hubungan sosial merupakan representasi dari upaya Adi untuk menghayati nilai-nilai keprofesiannya dalam tingkah laku sehari-hari. Adi menampilkan diri sebagai sosok yang tegas karena identitas sosialnya sebagai penegak hukum, meski ia sebenarnya pribadi yang lembut.
Penjelasan tentang konsep identitas personal dan identitas sosial ini relevan untuk menjelaskan konteks permaafan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam peristiwa khusus seperti Idulfitri.
Dalam konteks sehari-hari, meminta maaf dan memberi maaf atas suatu kesalahan merupakan hal yang cenderung lebih sulit dilakukan karena ia merupakan hasil evaluasi atas reaksi psikologis terhadap yang ia rasakan. Hal ini berkaitan erat dengan harga diri.
Selanjutnya, kita masih akan perlu melewati berbagai evaluasi dan pengambilan keputusan untuk meminta atau memberi maaf kepada orang lain. Semuanya didasarkan pada keputusan individual yang merupakan akumulasi struktur dan fitur identitas personal kita.
Baca juga: Mengapa Pria Begitu Sulit Minta Maaf?
Sedangkan fenomena permaafan dalam konteks hari raya merupakan permaafan yang melibatkan identitas sosial. Artinya, seseorang meminta dan memberi maaf sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab yang ia lakukan sebagai pemeluk agama yang ia anut.
Literatur-literatur tentang dinamika psikologis manusia dalam menjalankan ajaran agama menunjukkan bahwa agama juga berperan sebagai standar baku tentang perilaku ideal yang harus ditunjukkan pemeluk. Dengan memiliki identitas sosial yang kuat terhadap agama, maka seorang individu akan mengevaluasi semua sikap dan perilakunya seselaras mungkin dengan apa yang diajarkan oleh agama, sekalipun itu bertentangan dengan sikap dan preferensi pribadinya.
Keterikatan dengan Agama dan Permaafan
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chelsea L. Greer dan timnya dari Virginia Commonwealth University, mereka membuat sebuah eksperimen tentang sejauh mana para partisipan penelitian akan memaafkan orang yang membuat mereka tersinggung. Dalam penelitian ini, Greer dan tim merancang sebuah kondisi yang menggambarkan orang yang membuat mereka tersinggung adalah anggota dari komunitas agama yang sama dengan para partisipan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kuat para partisipan memiliki keterikatan dengan agamanya, semakin kuat pula kemungkinan bahwa ia akan memberikan maaf kepada anggota komunitas yang membuatnya tersinggung.
Melalui konsep spiritualitas relasional (relational spirituality), Greer dan kolega percaya bahwa memaafkan pemeluk agama yang sama memiliki dimensi kesakralan. Hal ini membuat para pemeluk bereaksi dengan tidak ofensif ketika tersinggung dengan sesama rekan pemeluk dari komunitas agama yang sama. Anggota komunitas keagamaan yang membuat para partisipan tersinggung masih dipersepsikan sebagai saudara (in-group member) dan bukan musuh (out-group member).
Dari hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa memahami kesamaan identitas sosial dengan orang-orang yang membuat kita tersinggung akan membantu kita meminta dan memberikan permaafan dan melakukan rekonsiliasi. Momen Idulfitri membuat kita meminta dan memberi maaf kepada sesama umat Islam lainnya sebagai saudara seiman.
Tapi, kita tidak boleh melupakan bahwa sebenarnya kita juga memiliki kesamaan identitas sosial dengan umat agama lain. Kita sama satu bangsa, bangsa Indonesia. Bahkan di atas semuanya itu, kita hakikatnya adalah insan yang sama-sama mendambakan perdamaian dan kebahagiaan untuk semua makhluk di bumi. Kesadaran ini mestinya bisa membawa kita untuk memiliki hati yang pemaaf dalam kehidupan keseharian.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments