Saat duduk di bangku SMA, saya memiliki doa yang sama setiap selesai ibadah, semoga Chanyeol (anggota dari grup idola EXO) masuk Islam. Waktu itu saya sangat menggemari rapper dan penulis lagu itu sampai ke tahap halusinasi kami beragama sama. Dalam skala yang lebih besar, saya bertanya pada diri sendiri bagaimana caranya kami menikah kalau kami beda agama. Karenanya, saya sangat berharap Chanyeol mendadak jadi mualaf, sesuatu yang sebenarnya sulit dan mustahil untuk terjadi.
Hampir satu dekade berlalu sejak saat itu dan melihat ke belakang, doa tersebut membuat saya merinding ngeri dengan lebaynya diri saya dulu. Saya juga malu karena misuh-misuh sendiri soal sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Chanyeol mau menganut agama tertentu atau tidak, sejatinya bukan urusan yang seharusnya saya korek-korek. Itu adalah persoalan privat yang tidak memiliki sangkut paut dengan karya musiknya.
Sebagai penggemar pun, saya tidak memiliki hak untuk kepo soal kehidupan pribadinya selama itu tidak melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Sayangnya, perkara mempertanyakan agama idola K-pop tidak ada habisnya. Seringkali ketika mengetik nama idola tertentu untuk mencari biodatanya di internet, muncul kalimat yang tentunya bersinggungan dengan agama. Misalnya, biodata Jimin BTS lengkap dengan agama. Hasil pencariannya juga tidak jauh dari itu atau yang membahas teman satu grupnya RM, seorang ateis.
Belum lama bahkan penyanyi anak Farel Prayoga juga ditanyakan agamanya. Pertanyaan soal agama ini terlontar saat ia mengobrol dengan Gus Miftah. Dalam perbincangannya dengan sang pendakwah, dia menyebut agamanya adalah privasi.
Baca juga: Dangkal dan Sensasional: Wajah Selebriti di Media Massa
Tidak bisa dimungkiri, masyarakat Indonesia memiliki obsesi dengan agama yang dianut selebritas. Hal ini menjadi isu yang sudah mengakar dan semakin didorong dengan acara infotainment yang tidak luput memberitakan selebritas pindah agama. Melihat situasi ini, apa sebenarnya yang memotori obsesi kita dengan agama yang dianut selebritas?
Apa Perlu Obsesi dengan Agama Idola?
Perkara agama memang isu yang sangat mudah digoreng dan dibicarakan di media Indonesia, terlebih jika dinilai kontroversial. Tidak sedikit portal berita yang menulis artikel tentang daftar selebritas menganut agama tertentu, dalam satu grup K-pop agama apa saja yang dianut masing-masing anggotanya, atau siapa selebritas yang pindah agama.
Dalam riset kecil oleh Remotivi, memberitakan perpindahan agama juga ada bias. Isu pindah agama dari minoritas ke mayoritas akan dibingkai sebagai hal positif. Demikian sebaliknya, akan dibingkai sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini menunjukkan ada ideologi dominan atau mayoritanisme yang memengaruhi ruang berita. Kerja mayoritanisme tersebut akan berpihak pada cara pandang sebagian besar populasi.
Contoh paling sederhana tentang kasus seperti ini, mantan polisi Puput Nastiti Devi pindah agama saat menikah dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Tidak sedikit juga publik yang menghujat keputusannya karena dinilai melakukan sebuah kesalahan besar.
Baca juga: Di Balik Fenomena ‘Shipping’ Selebriti
Menilik kasus Puput dan caranya diposisikan sebagai sosok yang berasal dari out-group atau musuh dibahas dalam riset oleh Chelsea L. Greer, psikolog dari Virginia Commonwealth University. Ia menyebutkan, seseorang akan lebih mudah memaafkan orang lain yang memiliki agama sama. Penelitian itu menggunakan konsep spiritualitas relasional yang menyatakan, memaafkan pemeluk agama sama memiliki kesakralan. Oleh sebab itu, pemeluk agama yang sama tidak akan bertindak tidak adil dengan sesamanya ketika ada yang membuat kesalahan.
Selain itu, obsesi kita dengan agama yang dianut seseorang juga dipengaruhi oleh sebagian besar orang Indonesia menilainya sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hasil survei PEW Research Center, The Age Gap in Religion Around The World, selama 2008 sampai 2017 terdapat 93 persen masyarakat yang menilai peran agama sangat penting. Angka tersebut naik satu persen pada 2019.
Berdasarkan hal tersebut memang tidak mengherankan jika agama selalu jadi fokus masyarakat maupun pemberitaan. Lindsay Lohan maupun Janet Jackson, misalnya, yang disorot media dan banjir pujian karena dikabarkan pindah agama. Sementara Zayn Malik, ketika awal debutnya dalam boyband One Direction juga dibingkai sebagai penyanyi muslim yang prominen di era 2010-an. Namun, keimanannya kembali dipertanyakan ketika dia memiliki banyak tato dan mengaku sebagai non-practicing moslem.
Baca juga: Penulis Feby Indirani Ajak Masyarakat Indonesia Beragama Secara Rileks
Sementara itu, berkaitan dengan kegemaran fans yang kepo agama selebritas, tingginya kedekatan agama itu bercampur dengan hubungan parasosial. Relasi yang mayoritas satu arah itu, dari penggemar ke selebritas, memang memotori ikatan antara selebritas/idola dengan penggemarnya. Dalam hubungannya terjadi proses mengidentifikasi identitas selebritas dengan diri serang fans.
Hal tersebut disampaikan oleh beberapa pakar. Psikolog dari AS, Jacob Cohen, misalnya,mengatakan, mengidentifikasi dengan karakter di media sama dengan berbagi perspektif maupun perasaan. Sementara akademisi psikologi dari AS, Cynthia Hoffner dan Martha Buchanan, menyebut identifikasi itu dengan wishful identification, yaitu tendensi ingin menyerupai figur publik.
Hoffner dan Buchanan memang fokus dalam penggemar yang mengidentifikasi diri mereka berdasarkan gender. Temuannya, perempuan cenderung mengidentifikasikan dengan sesama perempuan berdasarkan tingkat kesuksesan. Hal yang sama juga disampaikan Ngoc Bui, psikolog dari University of La Verne. Lebih lanjut, pengaruh idola dalam mengidentifikasi diri juga berbeda karena ada yang menjadikan seorang selebritas sebagai seorang panutan. Namun, tidak ingin menjadi seperti mereka bahkan ada juga yang menyukai, tapi tidak menganut nilai sosial yang sama.
Namun, jika menyoal tentang hubungan parasosial dan interaksinya, relasi antara keduanya semakin kuat dengan mengenal sosok yang diidolakan dan mencari tahu lebih banyak informasi tentangnya. Apalagi jika idola tersebut menganut nilai yang sama dengan penggemarnya, dia akan semakin nyambung dan digemari. Penggemar K-pop, misalnya, merasa dekat dengan idola yang membawakan lagu tentang kesehatan mental. Singkatnya, hubungan yang memang sedikit timpang itu memiliki hasil yang dinamis, kadang kala juga menjadi negatif jika berujung terlalu obsesif.
Penggemar menyukai ketika ada kesamaan atau memiliki sudut pandang yang serupa dengan idola. Karenanya, masyarakat Indonesia yang mempertimbangkan agama dalam berbagai aspek juga dilekatkan dalam perihal selebritas sebagai figur publik dengan kekuatan sosial besar.
Candaan Mino dari grup idola Winner, beragama Islam karena dalam beberapa potongan video variety show ia tampak seperti menggelar sajadah dan ambil wudhu memang harmless bahkan mudah mengundang gelak tawa. Sama halnya dengan membuat candaan idola K-pop lokal, seperti idola K-pop Kim Sejeong memakai suit yang serupa dengan seragam PNS.
Namun, menyudutkan seseorang karena agama yang berbeda atau menyerang penggemarnya karena mengidolakan seseorang dengan iman berbeda bukan sesuatu yang mengindikasikan pembelaan kebenaran. Lagipula persoalan agama yang dianut dan mengusik ranah privasi sampai dijadikan berita, idealnya harus berhenti dipertanyakan.
Comments