Polos, naif, dan apa adanya. Begitulah anak-anak.
Semasa SD dulu, saya mempunyai seorang teman. Ia adalah anak laki-laki enerjik yang berasal dari keluarga Tionghoa non-Muslim. Kulitnya yang paling putih di kelas plus sepasang mata sipit menjadikan sosoknya cukup mencolok dan mudah dikenali.
Ia adalah anak yang rajin dan aktif. Lebih tepatnya, rajin berlarian ke sana ke mari. Tapi kalau sudah duduk, dia betul-betul menjadi anak rajin sungguhan. Seingat saya, hasil rapornya selalu di jajaran 10 besar kelas. Sementara saya, sampai lulus SD tidak pernah dapat peringkat sama sekali.
Ia adalah tipikal anak yang pandai bergaul. Pernah suatu kali ia ditunjuk sebagai ketua kelas. Bukan asal tunjuk, karena memang idealnya seorang ketua kelas adalah yang pandai bergaul dengan semua anak. Ia tak bermasalah berbaur dengan anak laki-laki maupun perempuan, beda dengan anak-anak lainnya yang masih malu-malu dekat dengan lawan jenis. Setidaknya menurut diri saya yang dulu, teman saya ini sudah lumayan terlihat jiwa kepemimpinannya.
Suatu kali, guru kami menanyakan cita-cita kami satu per satu. Kebanyakan anak, termasuk saya, cuma sekdar asal jawab sesukanya. Paling-paling jawabannya itu-itu saja. Kalau tidak jadi polisi, ya tentara. Kalau tidak jadi dokter, ya guru.
Teman saya yang dari etnis Tionghoa itu dengan percaya dirinya menjawab ingin jadi presiden.
Walaupun kebanyakan Muslim, kami cuma anak SD yang belum punya khazanah pengetahuan luas, termasuk soal politik. Makanya, tidak ada tuh yang berceletuk, “Kamu kan keturunan Cina, non-Muslim pula. Mana boleh jadi pemimpin!”
Kalau adegan ini diulang lagi sekarang, saya yakin bakal lain ceritanya.
Mau tidak mau saya jadi berpikir. Seandainya dulu saya sudah mengerti bagaimana polemiknya, bisa jadi malah saya sendiri yang memulai perdebatan saat itu.
Kalau bisa, saya mau berkata pada teman saya ini bahwa cita-citanya hampir pasti belum bisa diraih. Bukan soal apakah ia mampu atau tidak mampu, layak atau tidak layak, baik atau tidak baik. Melainkan karena yang paling tidak adil: identitasnya sebagai minoritas.
Entah sejak kapan, minoritas sudah biasa disubordinasi melalui otoritas kekuasaan yang dimiliki pemerintah dan mayoritas. Belakangan ini, makin terang-terangan kelihatan melalui santernya beberapa isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Vonis penistaan agama untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pemilihan kepala daerah Jakarta dengan calon Tionghoa non-muslim, persoalan bela agama, kriminalisasi ulama dan seterusnya. Momentum berlapis ini dijadikan sarana yang pas untuk kembali menegaskan ‘aturan main’ kuasa golongan di negeri ini.
Konsep keberagaman yang harusnya jadi pemersatu, kini sudah banyak diintervensi oleh dogma dan ayat suci. Saat ini, visi keberagaman mengikuti kemauan kelompok yang paling dominan, dengan mengacu kepada dogma dan ayat suci mereka.
Tokoh intelektual atau pluralis mana pun akan kesulitan jika kajian keberagaman dibenturkan dengan ayat suci. Apalagi kalau berhadapan dengan ayat suci yang penafsiran dan terjemahannya sudah gamblang. Paling-paling mengajukan itikad baik dengan ajakan untuk mengkaji ulang penafsiran, supaya kemudian bisa dikontekstualkan kembali dengan kenyataan Indonesia dan zaman baru. Tetapi, bagi mereka yang berkeyakinan secara radikal dan kaku, hal ini juga sulit dilakukan.
Seluruh warga negara Indonesia mestinya paham, menjaga persamaan hak dan stabilitas sosial-budaya dalam keberagaman itu sulit. Perlu rasa toleransi, pluralisme, dan persatuan. Serta komitmen yang tak main-main dalam menjaganya. Perpecahan jadi konsekuensi yang harus ditanggung kalau aspek-aspek penting ini gagal dijaga.
Kalau sudah terjadi perpecahan, keberagaman bisa menjadi ladang pemetaan politik. Kelompok politik A menjadi perpanjangan tangan golongan A, begitupun kelompok politik B dengan golongan B, dan seterusnya.
Politik golongan jadi semakin hidup. Serangan dan sentimen golongan bisa jadikan bagian dalam kampanye politik.
Kalau sudah begini, yang jadi korban adalah anak-anak bangsa dari golongan minoritas seperti teman SD saya tadi. Terenggutlah kebebasannya dalam bermimpi dan bercita-cita.
Di sisi lain, barangkali teman saya saat ini sudah tidak bercita-cita menjadi presiden lagi. Bisa jadi sudah tidak ingin. Sudah punya cita-cita baru yang lebih menarik.
Sebab yang seperti ini bisa dimaklumi.
Namun, apabila sebabnya datang dari kesadaran bahwa dirinya berasal dari keturunan Tionghoa yang matanya sipit, kulitnya putih, dan agamanya bukan Islam, jangan harap akan saya maklumi.
Dan harusnya, siapa pun tidak boleh memakluminya.
Muhammad Berlian Nuansa Adidaya adalah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Berharap dapat menjadi jurnalis yang baik di masa depan.
Comments