Trauma sering kali jadi pembicaraan eksklusif. Sering juga cuma disebut di ruang-ruang internal. Misalnya, saat curhat dengan teman dekat, di ruang konseling bersama terapis, atau bahkan di ruang paling privat: di kepala kita sendiri.
Namun, percakapan tentang trauma perlahan-lahan berubah seiring narasinya yang mulai lumrah hadir di produk-produk budaya populer, seperti film dan serial.
Dalam Encanto (2021) misalnya, penonton diajak menyelami trauma berkepanjangan yang dialami satu keluarga latin, Madrigal. Sebagai kepala keluarga Madrigal, Abuela Alma, kehilangan banyak hal termasuk suaminya yang membuatnya harus membesarkan anak-anak mereka sendirian. Pengalaman traumatis ini meninggalkan luka besar yang memengaruhi cara Alma membesarkan anak-anaknya dan bagaimana dia berhubungan dengan cucu-cucunya.
Alma punya harapan yang sangat tinggi pada keturunannya dan kekuatan magis mereka. Sehingga tak jarang, ia kabur dalam melihat apa yang benar-benar dibutuhkan keluarga mereka. Tekanan yang dirasakan Alma disalurkannya pada seluruh anggota keluarga melalui pembagian peran tertentu. Peran-peran ini tentu sepaket dengan ekspektasi yang harus mereka penuhi. Kebanyakan anggota keluarga Madrigal ternyata tak bisa menjadi diri mereka sendiri demi menjalankan ekspektasi sang Abuela.
Baca Juga: Apa itu ‘Emotional Blackmail’ dan Bagaimana Cara Mengatasinya
Tidak hanya Encanto, Bad Buddy (2021) serial komedi romansa Thailand juga mengangkat tema yang sama untuk plot utamanya. Kedua anak laki-laki, bernama Pat dan Pran harus tumbuh dalam lingkungan keluarga toksik. Kedua orang tuanya sedari lahir mengajarkan mereka untuk berkompetisi dan membenci satu sama lain.
Cara orang tua Pat dan Pran mendidik anaknya adalah buah dari trauma masa lalu ibu Pran dan ayah Pat yang tidak terselesaikan. Pran dibesarkan dengan rasa takut, sedangkan Pat dibesarkan dengan rasa bersalah. Akhirnya, kedua anak itu yang harus bertanggung jawab atas trauma orang tua mereka yang lambat laun juga menanamkan luka baru pada keduanya.
Tema besar yang berusaha disampaikan Encanto dan Bad Buddy ini mendapat atensi luar biasa dari para penonton. Khususnya, penonton dewasa muda. Banyak sekali orang-orang dewasa muda di media sosial mengungkapkan bagaimana pengalaman tokoh-tokoh dalam film atau series ini beresonansi dengan kehidupan mereka di dunia nyata.
Pertanyaannya, apakah lingkaran trauma berkepanjangan ini lebih umum dari yang kita pikirkan?
Generational Trauma di Mata Sains
Jenis trauma yang coba digambarkan dalam plot utama Encanto dan Bad Buddy dalam psikologi disebut sebagai generational trauma atau umum juga disebut intergenational trauma.
Dalam penelitian Preventing intergenerational trauma transmission: A critical interpretive synthesis (2019), Sophie Isobel dkk menjelaskan generational trauma sebagai trauma yang ditransmisikan secara relasional lintas generasi, secara langsung atau tidak langsung. Jenis trauma ini biasanya sulit didefinisikan dan kerap tersembunyi.
Dalam hal ini, generational trauma melibatkan proses orang tua dengan trauma yang belum terselesaikan mentransmisikan traumanya kepada anak-anak mereka melalui pola interaksi tertentu. Hal ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Melanie English Ph. D, psikolog klinis dalam wawancaranya bersama Health. English bilang, generational trauma hadir tanpa disadari dan tertanam pada hidup seseorang dan masuk ke dalam nilai-nilai serta sikap yang diajarkan orang tua sejak anak masih usia dini hingga mereka dewasa.
Karenanya, keunikan generational trauma ini terletak pada keberadaannya sebagai proses relasional. Alih-alih merupakan trauma dari suatu peristiwa yang dialami secara individual dan berhenti pada diri mereka sendiri, generational trauma merupakan anteseden (hal yang terjadi dulu) dan hasil dari keterikatan traumatis.
Dilansir dari Psychology Today, keluarga dengan riwayat trauma, depresi, kecemasan, dan kecanduan yang belum terselesaikan dapat terus mewariskan strategi koping maladaptif (perilaku yang tidak sesuai ransangan internal) dan pandangan hidup kepada generasi berikutnya. Artinya, seseorang dapat mengulangi pola dan sikap yang sama dari generasi sebelumnya—yang mengakibatkan lingkaran trauma tanpa ujung.
Baca Juga: ‘Silent Treatment’ Orang Tua ke Anak: Kekerasan Emosional yang Tak Terlihat
Menilik dari sejarahnya, konsep generational trauma sendiri sebenarnya pertama kali dikenal pada 1966, ketika psikiater Kanada Vivian M. Rakoff, dan rekan-rekannya mencatat tingkat tekanan psikologis yang tinggi di antara anak-anak korban Holocaust.
Dalam artikel American Psychological Association, dijelaskan kendati pada 1966 Rakoff dan rekan-rekannya telah mencatat tingkatan psikologis anak-anak korban Holocaust, studi resmi mengenai konsep ini baru muncul pada penelitian tahun 1988 yang diterbitkan dalam The Canadian Journal of Psychiatry. Dalam studi ini ditemukan bahwa 300 persen dari cucu para penyintas Holocaust yang mereka catat harus mendapatkan perawatan kesehatan mental.
Sejak diterbitkannya penelitian inilah, korban Holocaust dan keturunannya telah menjadi kelompok yang paling banyak dipelajari dan menjadi pondasi dalam penelitian terkait generational trauma.
Pada perkembangannya ditemukan fakta bahwa kebanyakan kelompok rentan memiliki trauma generasi ini. Mereka yang dieksploitasi secara sistematis, mengalami pelecehan serta kekerasan berulang dan terus-menerus, rasisme, dan kemiskinan adalah pihak yang paling rentan mengalaminya.
Baca Juga: Waspada, Kekerasan Emosional Bisa Diam-diam Membunuhmu
Ciri-ciri Generational Trauma dan Cara Memutus Rantainya
Generational trauma merupakan sebuah respons emosional yang dapat memiliki efek fatal bagi siapapun yang mengalaminya.
Dalam Health misalnya, dituliskan bagaimana generational trauma dapat menimbulkan kecemasan, depresi dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Bahkan para ilmuwan telah mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana trauma ini memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Psikiater anak dan remaja dan penulis Gayani DeSilva dalam wawancaranya bersama Health, mengungkapkan bagaimana trauma ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh tidak berfungsi.
“Ketika dalam keadaan trauma reaktif yang tinggi, mikroglia (jenis neuroglia (sel glial) yang terletak di seluruh otak dan sumsum tulang belakang) menggerogoti ujung saraf alih-alih meningkatkan pertumbuhan dan menghilangkan kerusakan. Mikroglia rusak di otak dan menyebabkan depresi, kecemasan, dan demensia. Ini dapat diterjemahkan ke dalam perubahan genetik, yang dapat diturunkan ke generasi selanjutnya,” ujarnya.
Dilansir dari Ensemble Therapy, gejala generational trauma antara lain adalah kewaspadaan berlebihan, perasaan cemas pada masa depan, ketidakpercayaan, sikap acuh tak acuh, kecemasan tinggi, depresi, serangan panik, mimpi buruk, insomnia, respons melawan atau lari (fight or flight) yang sensitif, dan masalah dengan harga diri, dan kepercayaan diri.
Sedangkan ciri-ciri dari generational trauma dalam keluarga dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Sebuah keluarga tampak mati rasa secara emosional atau memiliki keraguan yang kuat untuk mendiskusikan perasaan satu sama lain.
- Sebuah keluarga mungkin melihat diskusi tentang perasaan atau memperlihatkan kerentanan diri sebagai tanda kelemahan.
- Orang tua dalam keluarga memiliki masalah kepercayaan dengan "orang luar" dan punya kecenderungan terus-menerus berkonflik.
- Orang tua dalam sering tampak cemas dan terlalu protektif terhadap anak-anak atau anggota keluarga mereka, bahkan ketika tidak ada ancaman bahaya.
- Sebuah keluarga memiliki batas-batas hubungan yang tidak sehat dan keluarga secara tidak sadar mempelajari perilaku bertahan hidup yang tidak sehat.
Jika melihat gejala dan ciri-ciri generational trauma sangat beresonansi dengan keadaanmu sekarang, apa yang bisa kamu lakukan?
Sebenarnya tidak ada jawaban yang mudah terkait hal ini, karena dibutuhkan intervensi yang holistik dan intens dilakukan dalam“menyembuhkan” trauma ini. Namun, bukan berarti kita tidak memiliki kuasa apa-apa untuk memutus rantai ini. Dalam hal ini, Elizabeth Dixon, pekerja sosial klinis berlisensi dan peneliti dari Universitas South Carolina menawarkan lima tips bagi kita untuk mulai memutuskan rantai generational trauma:
- Buka percakapan dengan orang tua tentang pengalaman hidup mereka dan bagaimana mereka mengatasinya.
- Perhatikan pola, sikap, atau narasi apa pun yang tertanam di keluargamu yang sering muncul ketika kamu membicarakan keluarga.
- Bicaralah mengenai hal ini dengan teman, anggota keluarga, atau terapis tepercaya dan pertimbangkan cara alternatif untuk mengatasi atau berkomunikasi tentangnya.
- Tumbuhkan rasa empati dan kasih sayang untuk keluarga kamu dan perjuangan yang mereka alami.
- Menumbuhkan lingkungan rumah yang mendukung dan memperkaya. Kamu bisa memulainya dengan membentuk kebiasaan baru dan menawarkan cara pandang baru dalam keluarga kamu sendiri.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments