Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat mencurahkan isi hatinya tentang pernikahannya yang masih ibarat bayi, baru saja belajar merangkai kata. Sahabat perempuan saya merasa tidak berdaya atas pernikahannya.
Dia dan suaminya sedang sama-sama menjalani studi pascasarjana di salah satu universitas ternama di Indonesia. Sementara sahabat saya ini disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, dia juga harus mengurus suami, anak, serta hal-hal domestik lainnya.
Dia mengawali curhatnya dengan kalimat, “Ada yang salah denganku. Aku mencintai suamiku, tapi kenapa mencintainya sungguh terasa melelahkan?”
Perempuan Kelelahan Bekerja dan Mengurus Rumah
Pernikahan adalah hubungan yang disepakati oleh dua laki-laki dan perempuan, sehingga tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga juga merupakan tanggung jawab kedua belah pihak. Namun, budaya dalam masyarakat masih saja menormalisasi perempuan (istri) untuk melakukan seluruh pekerjaan domestik, bahkan jika istri tersebut bekerja atau melanjutkan studinya seperti sahabat saya.
Pola pikir patriarkal semacam ini membuat perempuan mempunyai peran ganda. Parahnya lagi, perempuan yang memiliki peran ganda tetap dituntut untuk terus berada pada keseimbangan perannya.
Dari pengalaman sahabat saya, dia harus bangun pagi untuk membuat sarapan, mengurus anaknya, membersihkan rumah, kemudian menyiapkan makan siang (hingga mengambilkan nasi untuk suaminya). Pada waktu luang, dia akan belajar untuk persiapan tesisnya, mengerjakan tugas kuliah yang membuat tidurnya baru dimulai pada pukul 3 pagi. Memiliki peran sebagai seorang ibu, istri, dan mahasiswa pascasarjana sudah membuat saya yang mendengarkannya saja merasa sangat lelah, apalagi sahabat saya yang menjalaninya.
Pekerjaan domestik sejatinya bukanlah sebuah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan semata. Memasak, mencuci, membersihkan rumah adalah practical life skill; sebuah kemampuan yang harus dimiliki oleh semua manusia yang ingin hidup.
Baca juga: Resep Pernikahan Bahagia: Peran Gender yang Fleksibel
Sementara, mengurus anak adalah tanggung jawab bersama orang tua. Menemaninya bermain, belajar, menyuapi hingga menidurkannya adalah tugas kedua orang tua yang menghadirkannya ke dunia, bukan hanya ibu. Karena itu, tidak semestinya hanya perempuan yang telah menikah dan ingin memberdayakan dirinya di ranah publik yang harus merasakan lelahnya memiliki peran ganda.
Manipulasi Kuasa Sosial dalam Pernikahan
Keputusan siapa melakukan apa dalam keluarga selalu berkaitan dengan struktur kuasa dalam keluarga. Kuasa di sini didefiniskan sebagai kemungkinan di dalam suatu hubungan sosial di mana seseorang mampu untuk merealisasikan kehendaknya.
Idealnya dalam pernikahan, seseorang menyadari bahwa segala yang dia lakukan dalam sebuah hubungan adalah murni hasil refleksi kesadarannya, bukan karena hasil manipulasi kuasa sosial di sekitar kita.
Filsuf dan pendidik dari Brazil, Paulo Freire, membagi kesadaran menjadi tiga tingkat: Kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Pertama, kesadaran magis, individu dengan kesadaran ini melihat fenomena yang mereka alami sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, natural dan sulit diubah. Mereka cenderung mengaitkan kehidupannya dengan takdir, mitos, dan kekuatan superior yang tidak terbukti secara empiris maupun ilmiah.
Implikasinya dalam konteks pernikahan, individu dengan kesadaran ini menganggap kerja-kerja domestik sudah menjadi pekerjaan yang ditakdirkan untuk perempuan dan tidak bisa diubah lagi karena telah digariskan untuk perempuan. Jadi, bersabarlah!
Kedua, kesadaran naif. Individu pada tingkat kesadaran ini menganggap fenomena yang terjadi di sekitar dirinya adalah akibat dari pilihannya sendiri. Akibatnya, individu dengan kesadaran ini menganggap pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan karena pilihan dari perempuan itu sendiri. Hal ini membawa dampak berupa anggapan bahwa kelelahan yang dialami oleh perempuan adalah konsekuensi logis atas pilihannya. Jadi, berliburlah jika lelah.
Baca juga: Survei IBCWE: Beban Perempuan Berlipat Ganda selama Masa WFH
Ketiga, kesadaran kritis. Individu dengan kesadaran ini mengaitkan struktur lain di luar dirinya yang membentuk dirinya seperti itu. Implikasinya, individu dengan kesadaran ini menganggap peran ganda yang ditanggung oleh perempuan merupakan akibat dari masih adanya anggapan bahwa pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, ditambah dengan anggapan perempuan juga harus berdaya di ruang publik. Anggapan-anggapan tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil agama, teori-teori sosial, ataupun norma-norma budaya di sekitar perempuan. Jadi, ubahlah cara pandang tersebut.
Lalu beberapa orang mungkin berpikir, “Kalau sudah cinta, mau bilang apa?”
Sejauh Apa Kita Membiarkan Cinta Merebut Akal Sehat?
Ungkapan “Di negeri cinta, akal digantung” sangat pas menggambarkan pasangan-pasangan yang sedang kasmaran. Kita akan melakukan apa saja demi yang kita cintai. Mencintai adalah pengabdian diri seutuhnya kepada objek yang dicintai. Seorang ibu bahkan rela memberikan nyawanya jika dibutuhkan oleh anaknya, apalagi hanya mengurusi domestik demi keluarga yang sangat dicintainya.
Karena pernikahan bukanlah tindakan yang diambil sepihak oleh laki-laki atau perempuan, maka keduanya perlu menjalankan komitmen bersama-sama, termasuk komitmen untuk saling mencintai.
Definisi saling mencintai dalam pernikahan adalah saling mengabdikan diri seutuhnya kepada pasangan. Saling mencintai berarti saling meringankan beban pasangan masing-masing, istri kepada suami dan vise versa. Saling mencintai berarti saling membantu dalam mencapai mimpi pasangan masing-masing, mimpi istri juga mimpi suami. Saling mencintai berarti saling bekerja sama mengurus rumah tangga dan pernikahan
Jadi ketika kamu merasa lelah menjalankan peran sebagai istri sekaligus bekerja atau melanjutkan studi, jangan sungkan untuk mengutarakan keluhanmu ini kepada suami atau keluarga. Ketika kita sangat mencintai mereka, bukan berarti kita tidak boleh mengungkapkan keberatan atas beban yang kita emban demi kepentingan bersama. Iya, kan?
Comments