Beberapa waktu lalu komunitas pecinta manga dan anime baik di Jepang maupun internasional dihebohkan oleh pernyataan seorang mangaka (penulis manga), Ken Akamatsu. Dalam sebuah space Twitter yang ia pandu, Akamatsu mangaka Love Hina dan Magical Teacher Negima!, menyentuh topik kebebasan berekspresi dan kebenaran politik bagi seniman manga.
Ia menceritakan pengalamannya bekerjasama dengan mangaka perempuan saat mengerjakan Samurai Deeper Kyo dan Negima. Ia lalu bercerita tentang makin banyaknya mangaka perempuan hadir dalam industri, utamanya dalam genre shounen yang notabenenya ditargetkan untuk laki-laki.
Namun, saat berusaha membagikan pengalamannya Akamatsu secara “tidak sengaja” mengungkapkan identitas gender seorang mangaka yang beberapa tahun belakangan ini karyanya sedang naik daun di seluruh dunia. Adalah Gege Akutami, mangaka dari manga shounen Jujutsu Kaisen yang ia ungkap ternyata adalah perempuan.
Gege Akutami tidak pernah secara resmi dan terang-terangan mengungkapkan identitas gendernya kepada publik. Dalam kemunculan perdananya ke publik, Akutami bahkan cosplay sebagai mechamaru, salah satu karakter dalam Jujutsu Kaisen. Pun, dalam tutur bahasanya Akutami selalu memakai kata ganti orang yang bersifat netral gender, yaitu watashi. Bukan boku atau ore sebagaimana kata ganti orang yang biasa digunakan oleh laki-laki.
Pernyataan Akamatsu pun sontak membuat jagat dunia maya heboh. My Jitsu misalnya mengutip beberapa penggemar kaget dan menaruh empati pada mangaka perempuan yang harus menyembunyikan wajah mereka dan berbicara dengan suara laki-laki agar dapat diterima di industri ini.
Hal ini pun tidak jauh beda dengan temuan saya di Twitter, di mana tidak sedikit penggemar Jujutsu Kaisen (mayoritas laki-laki) marah dan kecewa. Saya sempat menelusuri reaksi para penggemar Jujutsu Kaisen Jepang di Twitter, dan tidak sedikit saya menemukan bagaimana laki-laki cenderung menolak mempercayai pernyataan Akamatsu atas dasar seksisme dan misogini.
Dalam satu tweet oleh user @ELVrtyrmiLHoRn misalnya mengungkapkan jika Jujutsu Kaisen tidak mungkin ditulis oleh perempuan. Menurutnya perempuan tidak mungkin bisa menulis manga sebagus Jujutsu Kaisen. Sehingga, ia kaget dan merasa aneh ketika mengetahui Akutami adalah perempuan dari pernyataan Akamatsu.
Baca Juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam
Perempuan Penulis Bersembunyi di Balik Bayang-Bayang
Terlepas dari benar tidaknya pernyataan Akamatsu, respons dari penggemar atas identitas gender Akutami jelas menarik. Nyatanya, diskriminasi terhadap perempuan penulis jelas ada dan merupakan fenomena jamak yang terjadi sejak ratusan tahun lalu.
Salah satu hal yang paling menonjol dari diskriminasi ini adalah bagaimana perempuan penulis memiliki kecenderungan memakai nama pena samaran fiktif atau dikenal sebagai pseudonym. Secara spesifik, para perempuan penulis menyembunyikan identitas gender mereka dengan memakai nama pena laki-laki atau nama yang netral gender dalam karya-karya mereka.
Mary Ann Evans adalah salah satu penulis berpengaruh yang pada 2015, bukunya Middlemarch (1872), menduduki puncak jajak pendapat BBC dari 100 novel Inggris terbesar dan telah dikutip sebagai salah satu karya terbaik yang pernah ditulis oleh penulis.
Namun sayang, pencapaian dan pengakuannya hadir karena dirinya memutuskan untuk menyembunyikan identitas gendernya dan memakai nama pena laki-laki. George Eliot. Dilansir dari Stylish UK, keputusannya untuk memakai nama pena laki-laki ini karena dua hal. Pertama, karena ia takut karyanya tidak diterima dan diapresiasi dengan baik semata-mata karena dirinya perempuan. Kedua, Mary adalah perempuan yang secara sosial kultural ketika itu dicap “memalukan”.
Mary, tidak pernah menikahi laki-laki yang ia cintai, George Lewes. Ia dan George hidup sebagai pasangan selama 24 tahun tanpa ada status resmi negara. Fakta ini tentunya akan menimbulkan skandal besar dan sebagai perempuan hasil karyaya akan berpengaruh besar.
Maju ke abad ke-21, pemakaian nama pena laki-laki juga nyatanya masih menjadi praktik yang lumrah ditemukan. Dalam hal ini, Joanne Rowling, penulis dari karya fenomenal Harry Potter mengadopsi nama pena laki-laki pada tahun 2013, ketika dia diam-diam menerbitkan novel Cormoran Strike-nya.
Dengan nama Robert Galbraith, Joanne mengirimkan manuskripnya dengan tujuan agar para penerbit akan menilai hasil karyanya berdasarkan kemampuannya sendiri bukan karena identitas gendernya. Dilansir dari Times of India, ia menggambarkan langkah itu sebagai langkah "benar-benar membebaskan".
Selain memakai nama pena laki-laki, Rowling juga memakai nama pena netral gender. Hal ini bisa dilihat saat ia menulis Harry Potter di mana ia memutuskan memakai nama pena JK Rowling dibandingkan nama aslinya. Keputusannya ini didorong oleh penerbitnya Bloomsbury pada 1997. Alasannya agar Harry Potter dapat menarik baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Baca Juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik
Seksisme dan Dampaknya pada Perempuan Penulis
Keputusan perempuan penulis untuk menyembunyikan identitas gender mereka dan memakai nama samara tidak lepas dari masih kentalnya seksisme di dalam masyarakat. Dalam penelitian Pseudonymity: Victorian Women Authors’ Recognition Strategy (2021), Mihaela Georgiana Manasia akademisi dari Universitas Constantin Brâncuşi dari Târgu Jiu, Rumania mengungkapkan sejak zaman Victoria, penulis perempuan harus menghadapi kenyataan tidak dianggap serius atau dipandang skeptis. Ini adalah bentuk nyata dari seksisme.
Dalam berbagai hal perempuan dianggap lebih emosional dari laki-laki. Stigma yang berasal dari bias gender ini berpengaruh kuat pada penilaian masyarakat dan penerbit tentang tulisan perempuan. Tulisan perempuan dianggap tidak berbobot karena hanya mengandalkan imajinasi cetek yang menekankan pada emosionalitas. Penulis perempuan tidak menawarkan ide, mereka hanya menawarkan sebuah rangkaian kata “indah” penuh dengan hiperbola.
Selain karena dianggap lebih emosional, seksisme yang dialami perempuan penulis juga hadir dari tanggung jawab rumah tangga beragam yang diharapkan akan diemban oleh mereka, yaitu mengurus keluarga dan menjalankan rumah tangga. Dikarenakan peran domestik yang selalu lekat pada mereka, perempuan tidak “diharapkan” lebih pintar atau memiliki keterampilan yang sama dengan laki-laki. Mereka adalah sang liyan yang karyanya kerap kali dinomorduakan.
Dampak dari seksisme ini tentu berbahaya yang tentunya sangat berdampak pada perempuan penulis dan karirnya. Dalam esainya Homme de Plume: What I Learned Sending My Novel Out Under a Male Name, penulis Catherine Nichols menemukan fakta yang membuatnya frustasi dan marah. Nichols mengungkapkan bagaimana setelah dia mengirimkan manuskrip novelnya ke 50 agen dengan nama aslinya, ia hanya menerima dua permintaan naskah.
Sedangkan ketika ia membuat alamat email baru dengan nama laki-laki, dan mengirimkan surat pengantar dan jumlah halaman yang sama ke 50 agen, novelnya mendapatkan permintaan yang lebih banyak. Manuskrip novelnya diminta 17 kali, delapan setengah kali lebih baik dalam menulis buku yang sama dengan nama aslinya sendiri.
“Bukan novelku yang jadi masalah, tapi aku—Catherine,” begitu ungkapnya.
Tidak hanya kesulitan untuk menerbitkan manuskrip novelnya, perempuan penulis pun harus kembali dipinggirkan dalam dunia literatur melalui pengkotak-kotakan genre. Untuk membedakan karya fiksi yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan, di Indonesia misalnya ada istilah Sastra Wangi. Kemunculan penulis perempuan pada tahun 2000-an mencuri perhatian dan menjadi pembicaraan banyak orang.
Baca Juga: Heteronormativitas, ‘Colonial Gaze’ Hambat Representasi Beragam dalam Sastra
Namun sayang, pembicaraan ini lebih condong ke aspek negatif. Pasalnya, menurut Yetti A.Ka., perayaan tubuh atau diri perempuan yang dilakukan oleh sejumlah penulis perempuan muda dan cantik dalam karya-karya mereka dianggap liar, tidak berbobot atau bernilai, serta melenceng dari norma-norma agama.
Dari sini muncul berbagai istilah yang melecehkan, misalnya “Sastra Wangi”, “Sastra Mazhab Selangkangan (SMS)”, dan sebagainya. Istilah ini pun pada prosesnya menjadi semacam penanda bagi perempuan penulis. Bahwasannya karya mereka tidak bisa disandingkan dan diperhitungkan sejajar dengan para penulis laki-laki lainnya.
Melihat dari bagaimana seksisme sangat berpengaruh pada perempuan penulis, maka paparan publik atas perilaku seksis ini harus diangkat. Hal inilah yang coba dilakukan oleh Joanne Michèle Sylvie Harris. Perempuan penulis berkebangsaan Inggris yang salah satu novelnya, Chocolat diadaptasi menjadi film dan dinominasikan untuk lima Oscar dan delapan BAFTA Awards.
Dilansir dari Bustle, pada April 2017, Joanne meluncurkan tagar #ThingsOnlyWomenWritersHear di Twitter. Tujuannya dalam meluncurkan tagar ini sederhana, pertama untuk membuka diskusi dan melibatkan publik, baik laki-laki dan perempuan untuk menyadari seksisme yang dialami perempuan penulis. Kedua, untuk membangun solidaritas atas perempuan agar dapat mendorong industri lebih inklusif.
Tidak sampai sehari, ratusan cuitan yang merinci dari bentuk unik seksisme yang dihadapi perempuan penulis pun hadir. Dalam 140 karakter atau kurang, perempuan penulis dari seluruh dunia membagikan pengalaman mereka dapatkan. Mulai dari diberi tahu bahwa tulisan mereka “bagus untuk ukuran perempuan” hingga ditanya bagaimana perasaan suami mereka tentang pekerjaan mereka.
Pada akhirnya, sesuai dengan apa yang telah disampaikan Joanne dalam wawancaranya bersama The Guardian. Bahwasanya seksisme dalam dunia literatur telah lama eksis. Ia telah mengalienasi perempuan dari dirinya sendiri, mencapai potensi terbaiknya, dan menjauhkan mereka pada apresiasi yang seharusnya mereka dapatkan.
“Yang perlu dilakukan dan jauh lebih luas daripada saat ini adalah membangun diskusi. Tunjukkan pada publik tentang apa yang perempuan penulis alami. Jangan biarkan itu (perilaku seksisme) begitu saja. Karena efek menetes ke bawah dari seksisme dalam bisnis buku akan selamanya terus berlaku, di Goodreads, di Twitter, di toko buku, di blog jika kita biarkan begitu saja."
Comments