Sejak kecil, biasanya kita yang muslim sudah dicekokin soal betapa jahatnya orang Yahudi.
“Yahudi itu orang durhaka yang ingkar,” kata ayah saya waktu saya kecil. Saya ingat betul, saat itu media sedang gencar-gencarnya memberitakan tentang penyerangan jalur Gaza oleh Israel.
Ragam umpatan untuk orang Yahudi Israel semacam itu kemudian menjadi hal biasa bagi saya, yang lahir di tengah keluarga Islam konservatif. Konflik antara Palestina dan Israel yang sampai sekarang masih bergulir seolah mengukuhkan Yahudi (suka dipelesetin jadi Wahyudi) sebagai musuh bebuyutan ayah saya. Saya yang naif ini dulu mana saya tahu kalau Yahudi dan zionisme itu berbeda. Pokoknya seperti orang Islam kebanyakan saya ikut membenci Yahudi. Titik.
Beranjak remaja, kebencian terhadap orang Yahudi itu mulai luntur setelah saya tahu Albert Einstein ternyata Yahudi. Lalu Daniel Radcliffe, aktor pemeran Harry Potter, juga ternyata Yahudi. Saya sampai galau, terus mengidolakan Radcliffe atau pindah ke lain aktor (kata Ayah, idolakan dulu Nabi Muhammad, tapi ya gimana). Saya akhirnya meninjau ulang kebencian saya terhadap orang Yahudi, dan memilih melakukan dispensasi terhadap Radcliffe dengan lanjut menonton Harry Potter sampai film terakhir.
Saat kuliah, saya yang mengambil jurusan Sejarah justru semakin larut dalam dilema. Salah satu mata kuliah yang membahas tentang Holocaust ketika masa Perang Dunia II membuat saya melihat sisi lain penderitaan orang-orang Yahudi. Berbagai foto yang menggambarkan bagaimana buruknya keadaan di kamp konsentrasi Auschwits mulai mengganggu pikiran saya. Bagi orang skeptis seperti saya, genosida yang dilakukan Adolf Hitler kepada orang-orang Yahudi di Eropa lantas menyisakan banyak pertanyaan di kepala. Apa yang salah sebenarnya dengan orang Yahudi?
Bukan lagi kebencian berdasar kacamata agama seperti waktu saya kecil, ketertarikan saya kini pada Yahudi lebih kepada budaya dan kehidupan yang mereka jalani, terutama Yahudi Ortodoks yang masih memegang kemurnian ajaran Yudaisme. Mereka masih menjalani tradisi yang dilakukan oleh leluhurnya sejak ratusan tahun lalu; menolak sekularisme dan gaya hidup modern, serta membangun sistem komunitas yang membuat mereka bisa hidup secara swadaya.
Netflix ternyata punya koleksi film-film bertema Yahudi Ortodoks yang membantu saya memberi gambaran lebih jauh tentang kehidupan komunitas ini. Di masa swa-karantina akibat COVID-19 ini, film-film itu tuntas saya tonton, mulai dari feature film, miniseri, sampai dokumenter. Berikut adalah film-film yang saya rekomendasikan.
Baca juga: Melirik 3 Karakter Ayah Tunggal dalam 'Itaewon Class'
-
Unorthodox
Serial pendek atau miniseries ini diambil dari kisah nyata berdasarkan autobiografi Deborah Feldman yang berjudul Unorthodox: The Scandalous Rejection of My Hasidic Root. Ceritanya berpusat pada kehidupan Esther “Esty” Shapiro, perempuan muda anggota komunitas Yahudi Ultra-ortodoks di Williamsburg, Amerika Serikat.
Esty menikah pada umur 19 tahun dengan Yanky Shapiro. Pergolakan dalam rumah tangga keduanya dimulai ketika ia merasakan kesakitan luar biasa saat berhubungan seksual. Masih adanya stigma di komunitas bahwa perempuan yang tidak punya anak adalah istri yang gagal membuat Yanky didesak untuk menceraikan Esty. Tak terima dengan perlakuan yang diterimanya, Esty kemudian memilih untuk hijrah ke Jerman, menyusul sang ibu yang hidup bersama kekasih perempuannya.
Meski sedikit (well, lumayan) menguras emosi, serial ini secara apik, dengan sinematografi ciamik, menggambarkan dilema yang dirasakan Esty karena harus meninggalkan komunitas yang selama ini membesarkannya.
-
One of Us
Sama seperti Unorthodox, film ini juga berfokus pada komunitas Hasidic, atau Yahudi Ortodoks, di Williamsburg, Amerika Serikat, namun dalam bentuk dokumenter. Salah satu tokohnya bernama Etty, yang mengalami kekerasan dari suami yang dinikahi pada usia 19 tahun lewat proses perjodohan. Ia kemudian meminta pertolongan Footsteps, sebuah komunitas eks Hasidic yang saling memberi kekuatan setelah mengalami proses panjang untuk bisa keluar dari lingkaran toksik komunitas lamanya.
Ada juga Ari, remaja dengan rasa ingin tahu yang besar, yang mulai mempertanyakan kehadiran Tuhan dan makna dari ajaran Yahudi itu sendiri. Ia pun mencoba dunia baru di luar dari komunitas Hasidic dengan berpakaian “modern”, pergi ke gereja, menggunakan internet, dan mencicipi narkoba.
Terakhir ada Luzer, yang gemar menonton film namun harus sembunyi-sembunyi melakukannya. Ia memimpikan hidup bebas di luar komunitas dan menjadi aktor.
Film dokumenter besutan Heidi Ewing dan Rachel Grady ini berhasil memberikan gambaran nyata dan kesaksian mereka yang akhirnya keluar dari budaya keras komunitas Yahudi Ultra-Ortodoks.
Baca juga: Riset Menjawab Kenapa Kita Bisa Ketagihan Nonton Netflix
-
The Awakening of Motti Wolkenbruch
Untuk menghindari pernikahan dengan kafir..err.. shiksa (non-Yahudi) serta menjaga kemurnian relasi sesama Yahudi Ortodoks, komunitas ini biasanya melakukan proses perjodohan yang dinamakan shidduch.
Film ini menceritakan tentang anak kuliahan Mordechai Wolkensbruch alias “Motti”, yang terus menerus ditekan agar pacaran dan menikah dengan perempuan lewat proses shidduch. Konflik terjadi ketika Motti jatuh cinta kepada teman kuliahnya yang seorang shiksa.
Ceritanya cukup formulaik, tapi tetap menarik, apalagi dibalut komedi. Kita jadi punya gambaran tentang kehidupan komunitas Yahudi Ortodoks di Jerman.
-
Shtisel
Jika film-film sebelumnya menceritakan tentang komunitas Yahudi Ultra-Ortodoks di Amerika Serikat dan Eropa, bagaimana dengan kehidupan komunitas ini di Yerusalem? Shtisel adalah jawabannya. Menyoroti empat generasi Haredim atau keluarga ultra-Ortodoks yang bermukim di Yerusalem, serial ini menyoroti kehidupan pemuda bernama Akiva Shtisel, seorang guru SD yang hidup bersama ayahnya dan kedua adik perempuannya. Ia kemudian jatuh cinta pada Elisheva, ibu seorang muridnya.
Berbeda dari film-film sebelumnya, serial ini tidak terpaku pada tradisi dan budaya yang mengekang si tokoh utama, tapi lebih mengeksplorasi kehidupan komunitas ini. Yehonatahan Indursky sebagai salah satu pembuat serial ini mengatakan, pandangan bahwa orang-orang Harediem hidup dalam lingkungan mengungkung dan hanya menunggu hari di mana mereka bisa melarikan diri adalah fantasi orang-orang sekuler.
-
They Are Everywhere
Meski tidak sepenuhnya bercerita tentang Yahudi Ortodoks, film berbahasa Perancis ini tetap layak masuk dalam daftar. Bercerita tentang laki-laki Yahudi yang berkonsultasi ke psikolog karena selalu merasa gelisah dengan berbagai stereotip yang sering dilekatkan pada orang-orang Yahudi, film ini ingin mematahkan prasangka tersebut.
Film ini juga memberikan gambaran tentang gerakan anti-semitisme di Eropa yang menimbulkan sentimen terhadap Yahudi. Anggapan bahwa orang Yahudi itu umumnya kaya juga dibantah di sini. Selain itu, ada juga kritik terhadap politisi yang menggunakan strategi anti-semitisme dalam proses pemilihan, padahal darah Yahudi mengalir dalam dirinya.
Walau terdengar sangat serius, film ini dibalut dengan komedi yang bisa membuat kamu cekikikan saat menonton.
Comments