Women Lead Pendidikan Seks
March 08, 2022

Koperasi Perempuan: Katalis Inklusi Keuangan Digital

Selain harus mengeluarkan biaya transportasi, melakukan aktivitas perbankan di bank daerah bisa menyita banyak waktu. Layanan agen bisa memangkas hal tersebut.

by Putu Monica Christy, Dyana Savina Hutadjulu, Romlawati, Novita Indra
Issues
Budgeting_Anggaran_Finansial_KarinaTungari
Share:

Inklusi keuangan digital bagi perempuan Indonesia sudah bukan lagi sebatas visi dan cita-cita, tapi sebuah pengarusutamaan. Namun, bagi  perempuan pedesaan, yang termasuk dalam kelompok rentan, apakah produk dan layanan keuangan saat ini sudah cukup inklusif bagi mereka?

Yayah adalah seorang ibu dengan dua orang anak tinggal di Desa Mauk, Kabupaten Tangerang. Sehari-hari Yayah membuka lapak sayur di Pasar Mauk bersama suaminya. Apabila suaminya mendapat pesanan untuk melayani hajatan yang membutuhkan modal besar, Yayah dengan sigap mencari tambahan dana modal untuk menutupi kekurangan. Bisnis berjualan sayur adalah sumber mata pencarian utama keluarganya.

Untungnya Yayah adalah anggota aktif koperasi Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Doa Bunda. Yayah mempunyai simpanan yang ditabung rutin setiap bulannya berupa simpanan wajib, simpanan sukarela dan simpanan khusus. Selain itu,  dia juga bisa mengakses layanan pinjaman dengan bunga sangat rendah. Sebagai pengusaha mikro dengan penghasilan harian yang tidak menentu, produk pinjaman di Koperasi Doa Bunda  sangat sesuai bagi bisnis keluarga Yayah.

Bunga rendah, tenor bisa diatur sesuai dengan kemampuan, serta bentuk koperasi yang kekeluargaan dan hadir di komunitas perempuan, membuat Yayah nyaman berkoperasi.

Baca juga: Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha

Koperasi Perempuan, Rentan Tertinggal

Bicara tentang layanan keuangan untuk perempuan pedesaan, banyak dari kita pasti berpikirnya tentang bentuk-bentuk seperti arisan, Bank Perkreditan Desa, ataupun Koperasi. Bentuk layanan keuangan formal memang banyak, tapi lebih banyak lagi yang masih menggunakan layanan keuangan informal. Sebagai anggota koperasi, Yayah dapat memperkecil kemungkinan mencari pinjaman ke rentenir dengan bunga tinggi dan risiko terlilit utang.

Data KemenKopUKM 2021 menunjukkan, terdapat sekitar 11,199 persen koperasi perempuan aktif di Indonesia. Jumlah tersebut hanya sekitar 9 persen dari total keseluruhan koperasi yang tersebar di 34 provinsi. Di tahun 2020 hanya sekitar 0.73 persen koperasi yang sudah terkoneksi dengan ekosistem digital. Persentase yang kecil dan keterwakilan yang rendah, membuat visi besar untuk modernisasi dan digitalisasi koperasi, khususnya koperasi perempuan menjadi sangat mungkin untuk tertinggal.

Sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan koperasi perempuan tidak ketinggalan?

Integrasi dengan Layanan Keuangan Digital

Penyedia layanan keuangan di Indonesia, dengan layanan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) berusaha untuk mendekatkan layanan perbankan yang biasa diberikan di bank ke masyarakat di daerah dan pedesaan dengan Agen Bank (contohnya Agen BRILink, BNI Agen 46, LAKU BCA, dll). Biasanya Agen Laku Pandai ditempelkan ke toko kelontong di daerah dan nasabah bisa melakukan transaksi keuangan seperti transfer, tarik tunai, pembayaran tagihan, dan pencairan bansos melalui agen tanpa harus jauh-jauh ke bank.

Untuk mereka yang di daerah, selain harus mengeluarkan biaya transportasi, melakukan aktivitas perbankan di bank juga bisa menyita banyak waktu. Layanan agen bisa memangkas hal tersebut.

“Biasanya saya luangkan waktu setengah hari kalau harus ke bank. Karena jauh dari rumah saya di desa, juga harus ngantri giliran. Apalagi kalau ramai, antre bisa berjam-jam. Kalau di agen ya bebas ngantri,” terang Astini, anggota Koperasi Perempuan Pekka ketika ditanyai pengalaman perbankannya.

Melihat peluang tersebut, Microsave Consulting (MSC) bersama Koperasi Perempuan Pekka di bawah Yayasan PEKKA yang tersebar di 20 provinsi dan kurang lebih 111 desa di Indonesia berinisiatif untuk menghubungkan Koperasi Perempuan dengan agen LAKU PANDAI. Proyek ini akan diujicobakan di empat lokasi: Tangerang, Karawang, Pekalongan, dan Bantul.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Industri Jasa Keuangan

Inisiatif ini akan memberikan nilai tambah bagi koperasi karena bisa memberikan layanan perbankan seperti bank untuk anggotanya. Anggota bisa melakukan pencairan bansos, pembayaran tagihan seperti BPJS, beli pulsa listrik, dan bayar tagihan air, transfer antar bank, bahkan pengisian dompet digital (e-wallet) di komunitas koperasi yang mereka sudah percayai.

Butuh Katalis untuk Mengadopsi LKD

Riset oleh Microsave tentang agen bank perempuan di India, menemukan bahwa agen perempuan dinilai oleh masyarakat dari level penerimaan sosialnya di komunitas, sementara agen bank laki-laki cukup dinilai dari profesionalismenya saja. Hal tersebut sangat disayangkan dan ingin didobrak melalui inisiatif ini.

Melalui inisiatif MSC dan Pekka, koperasi Pekka dengan layanan Laku Pandai akan dilatih secara profesional untuk menjamin pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar operasional. Harapannya, koperasi Pekka yang beranggotakan perempuan, tak hanya dinilai dari segi penerimaan sosial tapi lebih ke profesionalisme.

Namun demikian tidak dipungkiri bahwa kelebihan lain dari koperasi Pekka adalah hubungan yang sudah erat dengan masyarakat, hal ini lebih baik untuk diperkuat daripada membawa aktor baru dari luar komunitas.

Mengintegrasikan layanan Laku Pandai dengan koperasi tidak bisa dilakukan semerta-merta, dibutuhkan sebuah sistem pembiasaan agar anggota bisa mengadopsi layanan keuangan digital. Maka dibentuklah Kader Perempuan untuk Keuangan Digital (Women Digital Ambassador) yang adalah perempuan anggota koperasi Pekka pemilik usaha kecil (UMKM) yang dilatih dengan kemampuan kewirausahaan serta keuangan digital.

Kader nantinya akan mengedukasi sesama anggota, salah satunya soal ragam layanan perbankan digital seperti: e-wallet, tabungan emas digital, macam-macam kredit digital, credit history, serta pentingnya proteksi data pribadi  dan kewaspadaan terhadap pinjaman ilegal.

Perempuan pemilik UMKM dipilih sebagai kader karena mereka merupakan pengguna aktif berbagai macam layanan perbankan, sehingga pantas disebut sebagai early adopter yang bisa mempengaruhi anggota koperasi perempuan lainnya.

Anggota koperasi yang sudah teredukasi dan terbiasa menggunakan berbagai macam layanan perbankan digital akan dengan mudah menggunakan layanan Laku Pandai serta bisa mengajak keluarga dan tetangga di sekitar untuk mengakses layanan tersebut, sehingga menjadi katalis inklusi keuangan digital di daerah pedesaan.

Baca juga: Anak Muda Semakin Sering Belanja Online di Tengah Pandemi

Ajang Kolaborasi: Sektor Keuangan Swasta Bukan Kompetitor

Keberadaan agen Laku Pandai yang terintegrasi dengan koperasi sempat dikhawatirkan menjadi kompetisi. Layanan keuangan yang ditawarkan bank takutnya akan mematikan aktivitas koperasi.

Namun, ketika melakukan penilaian kebutuhan ke lapangan, produk dan layanan yang diberikan oleh agen ternyata bisa memberikan nilai tambah bagi anggota. Dengan adanya agen, anggota koperasi kini diberi kesempatan untuk melakukan aplikasi pinjaman dengan plafon pinjaman yang lebih besar ke bank (misalnya, Kredit Usaha Rakyat-KUR) melalui agen. Dibandingkan dengan koperasi yang terkadang memberikan plafon pinjaman yang rendah.

Selain itu setiap biaya transaksi yang dikenakan di agen, bisa menjadi sumber pendapatan koperasi. “Daripada uangnya masuk ke kantong lain, biaya transaksi yang kita bayar bisa masuk lagi ke koperasi. Bisa jadi tambahan untuk SHU (Sisa Hasil Usaha) juga,” jelas  Hatijah, salah satu pengurus Koperasi Pekka Doa Bunda di Tangerang.

Sektor keuangan swasta, bisa melihat contoh integrasi ini untuk mempercepat jangkauan layanan perbankan khususnya ke daerah terpencil dan pedesaan. Kerja sama dengan koperasi bisa memberikan nilai tambah bagi kedua pihak.

Selain itu pemerintah juga sebaiknya mempertimbangkan inisiatif ini untuk memberikan dukungan capacity building bagi koperasi-koperasi perempuan agar bisa mempercepat digitalisasi, contohnya dengan mendata ulang koperasi perempuan serta memetakan kebutuhan baik dari segi manajemen maupun operasionalnya.

Dengan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, pengarusutamaan inklusi keuangan bagi perempuan akan lebih mudah dicapai, jangan sampai ada perempuan yang tertinggal.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Putu Monica Christy, Dyana Savina Hutadjulu (Microsave), Romlawati dan Novita Indra (Yayasan PEKKA) adalah pegiat keuangan digital yang inklusif.