Women Lead Pendidikan Seks
April 20, 2022

Lagu ‘Angel Baby’ Troye Sivan Minta 'Queerphobic' buat Kalem

Kenapa queerfobik di Indonesia tak malu menunjukkan sifat aslinya—langsung di media sosial selebritas yang mereka incar?

by Aulia Adam, Editor
Culture // Screen Raves
Queer Youth LGBT_Karina Tungari
Share:

Meski menyeramkan dan selalu bikin naik pitam, kelakuan orang-orang homofobik, transfobik, dan queerfobik terkadang juga bisa bikin ketawa. Percaya, enggak percaya.

Kebencian mereka pada orang-orang queer bukan cuma bikin buta pada ilmu pengetahuan, tapi juga bisa mendorong mereka melakukan hal-hal konyol. Misalnya, marah-marah ke laman TikTok, Instagram, dan Youtube Troye Sivan karena kecewa penyanyi asal Australia itu seorang homoseksual.

Komentar-komentar macam “semoga Tuhan mengembalikan dia ke jalan yang benar” sampai “dasar pecinta lubang tayi” gampang ditemui di sana. Kata-kata queerfobik berbahasa Indonesia ini muncul setelah lagu Angel Baby milik Troye meledak di TikTok. Beberapa “penggemar” lagu itu kecewa karena sosok kekasih yang dipuja Troye dalam liriknya adalah pria. Mereka makin kecewa saat tahu video musik asli lagu itu berisi sorotan-sorotan homoerotika gamblang.

Yang bikin lucu adalah kepolosan orang-orang queerfobik yang baru tahu Troye Sivan adalah seorang gay. Sejak mengganti kariernya dari aktor ke youtuber ke penyanyi, Troye sudah terbuka dengan orientasi seksualnya. Setidaknya, video pertama melelanya dirilis di Youtube pada 2013. Lagu-lagunya juga terang-terangan terbuka bercerita tentang pengalaman menjadi gay.

Angel Baby sendiri, menurut Troye, sengaja dibikin untuk jadi “love struck, mega pop, gay power ballad”—kenyataan yang sepertinya menyulut sumbu pendek para queerfobik.

Aksi keroyokan khas netizen Indonesia begini bukan yang pertama. Tingkah homofobik serupa juga sempat viral beberapa kali. Dua di antaranya dialami sepasang suami dan suami dari Thailand April 2021 lalu setelah memasang foto pernikahan mereka, dan penyanyi Greyson Chance yang diserbu trolls homofobik dari Indonesia usai memajang foto pacarnya di Instagram, September 2020 lalu.

Lantas, kenapa orang-orang queerfobik ini tak punya malu dan tak sungkan untuk menyatakan kebenciannya yang membabi buta—seolah-olah dunia cuma berputar di mereka?

Troye Sivan/YouTube

Baca juga: Homofobia dan LGBT yang ‘Mengganggu’

Terjebak Pseudosains Homofobik

Mereka yang anti-LGBTQ+ sampai ke tulang belakang alias queerfobik bukanlah cerita baru. Dunia ini bahkan dibangun dari ketakutan-ketakutan mereka pada konsep homoseksual, sehingga banyak kebijakan dan peraturan negara hadir untuk mendiskriminasi dan mempersulit orang-orang yang hidup dalam payung LGBTQ+.

Di sebagian tempat, keadaan memang sudah lebih baik. LGBTQ+ mulai diakui sebagai warga negara dan hak-haknya dipenuhi. Sejumlah negara macam Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Taiwan, Thailand, dan negara-negara Eropa bahkan boleh melakukan parade setidaknya setahun sekali di jalanan untuk merayakan pergerakan kesetaraan yang makin maju.

Penerimaan yang meningkat sejalan hak ekonomi yang membaik. Sejumlah perusahaan besar mulai memperhatikan hak-hak pekerja LGBT dan membangun lingkungan inklusif. Di industri musik dunia, para senimannya: Penyanyi, pencipta lagu, produser, komposer, bahkan perusahaan label musik raksasa juga tak lagi malu terang-terangan mendukung hak-hak hidup LGBTQ+. Selain Troye Sivan, ada banyak penyanyi-penyanyi internasional yang lagunya dapat diakses mudah orang-orang Indonesia, bahkan diputar di tempat-tempat umum macam, angkot, mal, kedai kopi, dan sebagainya.

Sam Smith, misalnya. Ia salah satu penyanyi yang lagu-lagunya populer di tempat umum. Tak jarang, bahkan menempati posisi-posisi atas lagu yang paling sering diputar di tempat-tempat karaoke. Padahal, lirik-lirik homoseksual terang-benderang dalam lagu-lagu Sam Smith sejak album pertamanya, seperti lagu HIM. Sam Smith yang mengidentifikasi dirinya sebagai non-binary juga selalu menyelipkan narasi-narasi queer dalam video musiknya.

Tak beda jauh dengan Troye di semua album dan video musiknya. Video Trilogi Blue Neighborhood di album berjudul sama bahkan menceritakan tragedi bunuh diri yang marak di kalangan gay muda, karena lingkungan yang tak inklusif dan aman buat mereka. Di album Bloom, Troye banyak menceritakan pengalamannya tumbuh sebagai remaja gay di lingkungan yang suportif.

Lagu-lagunya juga banyak menantang narasi-narasi agama samawi yang bilang orang-orang queer tak akan masuk surga, termasuk di lagu Angel Baby. Ia menulis, “Until you gave up heaven, so we could be together” dan mengklaim balik “orang yang tak pantas masuk surga” dengan sebutan “Angel”, alih-alih “Evil”.

Masalahnya, orang-orang queerfobik ini sering kali masih terjebak situasi yang disebut Hendri Yulius, sebagai homofobia saintifik—mereka sengaja mendistorsi penelitian akademis, menyalahgunakan penelitian yang sudah kedaluwarsa, dan fokus pada debat yang meyakinkan bahwa LGBTQ+ berbahaya.

Itu sebabnya, perdebatan nasional tentang homoseksualitas tak beranjak dari pandangan-pandangan biner dengan bingkai heteroseksual. Macam LGBT minta kawin, LGBT dilarang punya anak. Sehingga, pseudosains macam “tidak ada spesies yang gay”, “gay itu bisa disembuhkan”, “jadi gay adalah pilihan”, “LGBT penyebab gempa, tsunami, dan bencana alam” adalah perdebatan paling populer. Tentu saja ini diperparah dapur redaksi media di Indonesia yang masih dipimpin cisheteroseksual yang homofobik dan cenderung jalan di tempat ketika membicarakan hak hidup LGBTQ+.

Salah satu mitos dan pseudosains yang terus dipelihara kelompok ini tanpa pembuktian saintifik lebih lanjut adalah keyakinan bahwa heteroseksual adalah mayoritas. Dalam hal ini, mayoritas berhak atas hidup minoritas.

Baca juga: Hak Istimewa Heteroseksual yang Mungkin Kita Anggap Sepele

Diperparah Gelembung Algoritme

Informasi tentang identitas Troye, Sam Smith, selebritas queer lainnya dan karya-karya mereka yang penuh narasi cinta dan perjuangan queer makin luput di mata orang-orang queerfobik, karena mereka masih terjebak di gelembung sendiri. Hal itu makin diperparah teknologi algoritme yang ada di ponsel dan semua gawai kita.

Mengoleksi data dan informasi pribadi dari ponsel kita bukan lagi rahasia perusahaan-perusahaan teknologi manapun, termasuk raksasa-raksasa macam Google, Facebook, Instagram,  Twitter, TikTok, dan semacamnya. Penggunaan algoritme untuk membentuk “karakter” iklan yang cocok buat tiap user juga bukan rahasia lagi, umum hadir di laman syarat dan ketentuan yang harus kita centang tiap memasang aplikasi.

Salah satu dampak buruk terbesar teknologi algoritme adalah menciptakan gelembung besar yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual.

Maksudnya, ketika seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, maka kemungkinan ia berlarut-larut dalam pandangannya sendiri jadi sangat besar. Hal itu dikhawatirkan akan membuat ia mendefinisikan dunia hanya dari satu sudut pandang saja.

Misalnya seseorang yang dicekoki informasi tentang bahaya pemikiran tertentu, ternyata akan mengingkari eksistensi gagasan lain. Sehingga, ia hanya condong terhadap satu pemikiran dan menjadi fanatik. Situasi ini biasanya bikin seseorang jadi anti kritik dan tidak bisa melihat masalah secara lebih menyeluruh.

Baca juga: 5 Serial Boys Love yang Bikin Pipi Merona Merah

Selain itu, gelembung algoritme ini juga menciptakan efek konsensus yang salah. Akibat informasi seragam yang diperoleh, seseorang punya kecenderungan untuk mengklaim orang lain sepaham dengan dirinya, dan menyimpulkan pendapatnya adalah kesimpulan mayoritas. Padahal, di tempat lain, yang terjadi bisa saja berbeda.

Keyakinan semu yang terbentuk karena algoritme di gawai ini bisa berbahaya di titik tertentu. Misalnya, bisa sangat memengaruhi hasil Pemilihan Umum. Atau dalam kasus penyanyi queer macam Troye Sivan dan Greyson Chance: Dapat serbuan trolls yang queerfobik.

Saya jadi teringat sepenggal lirik Heaven, lagu Troye, yang mungkin cocok buat para queerfobik:

If I'm losing a piece of me,

Maybe I don't want heaven~

Alias, enggak semua orang mau surga, kalau ternyata isinya adalah orang-orang penuh kebencian.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramadhita.