“Mereka kalau gay kenapa memilih menikah, sih? Kan kasihan sama istri dan keluarganya!”
Begitu kurang lebih komentar yang beredar di media sosial ketika 56 laki-laki gay ditangkap polisi ketika beberapa waktu yang lalu mengadakan pesta di sebuah apartemen di Jakarta. Hampir setiap dari mereka diidentifikasi telah memiliki istri dan anak.
Membaca komentar itu, saya jadi teringat cerita salah satu kerabat, yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay. Ketika identitas gender dan seksualitasnya diketahui kedua orang tuanya, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang dimaui oleh mereka. Ia kemudian melakukan terapi ruqyah untuk “menyembuhkan” homoseksualitasnya yang dianggap orang tuanya merupakan akibat dari ketempelan setan.
Tentu saja upaya itu tidak membuahkan hasil apa-apa. Kedua orang tuanya lantas memaksa menikahkan dia dengan seorang perempuan. Dengan menikah secara heteroseksual, kerabat saya diharapkan bisa “sembuh” dari “penyakit homoseksual” yang dinilai melenceng dari norma agama, sosial, dan budaya masyarakat.
Apa yang dialami oleh kerabat saya dan sebagian dari 56 gay di Jakarta itu sebenarnya bukan hal baru. Di Indonesia, dan banyak negara sebetulnya, ada banyak sekali laki-laki gay yang memilih menikah secara heteroseksual. Mereka terpaksa (atau dipaksa) menikah dengan perempuan heteroseksual untuk memenuhi imajinasi sebagai bagian dari masyarakat yang hidup dalam kultur heteronormatif—menganggap heteroseksual sebagai satu-satunya norma, sementara homoseksual dianggap sebagai abnormalitas.
Selain itu, para lelaki gay juga merasa perlu memiliki keluarga batih (nuclear family) dalam rangka menjalankan fungsi prokreasi (berketurunan). Hal itu dilakukan agar dapat terintegrasi dan diakui sebagai bagian dari warga negara. Dalam pandangan negara yang meletakkan ideologi heteronormatif seperti Indonesia, hal itu hanya bisa dicapai apabila terjadi perkawinan secara heteroseksual.
Baca juga: Kisah Teman-teman Saya, Pria Gay yang Menikah dengan Perempuan
Mekanisme pertahanan hidup
Akademisi Inggris/Australia Sara Ahmed dalam esainya, “Queer Feelings” (2013), mengatakan bahwa kelompok queer (termasuk gay) mengalami perasaan tidak nyaman hidup di dalam lingkungan heteronormatif. Perasaan tidak nyaman tersebut pada akhirnya mendorong terjadinya negosiasi, asimilasi, dan transgresi yang membuat kelompok queer harus bertahan hidup dalam norma yang berbeda dengan identitas gender dan seksualitas mereka.
Persis seperti yang dikatakan Ahmed, saya juga melihat bagaimana kerabat saya mengalami pergolakan antara kesadaran dirinya sebagai homoseksual yang berbenturan dengan kultur heternormatif. Pada posisi itu, dia sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sebenarnya tidak adil untuk disebut sebagai pilihan. Pertama, dia harus menikah secara heteroseksual dengan konsekuensi harus mengalami pergolakan batin dan mempertaruhkan identitas gender dan seksualitasnya. Kedua, apabila dia menolak menikah, maka dia akan teralienasi dari ruang kehidupan sosial, budaya, agama, dan politik.
Pilihan lelaki gay untuk menikah, menurut saya, bukan berarti menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuannya berhadapan dengan tekanan homofobia dan bias otoritatif orang tua. Pergolakan batin itu pasti dirasakan oleh mereka. Namun, pilihan tersebut di sisi lain justru menunjukkan adanya agensi dan resiliensi untuk dapat bernegosiasi dengan heteronormativitas. Agar dapat “bertahan hidup”, mereka merasa harus menikah secara heteroseksual dan menubuhi norma heteronormatif yang ada. Mereka bisa saja menjadi sosok suami yang bertanggung jawab untuk istrinya, juga ayah yang sempurna bagi anak-anaknya. Namun, siapa yang tahu, jika diam-diam, mereka juga merayakan identitas gender dan seksualitas azalinya di dalam ruang privat, sebagai seorang gay.
Baca juga: Ketika Pria Gay Menikahi Perempuan: Egoisme yang Patut Dihindari
Jika sudah demikian, bagaimana kita bisa menjelaskan identitas gender dan seksualitas seseorang? Kita tahu ada laki-laki gay yang ternyata menikah secara heteroseksual dengan perempuan, bahkan juga memiliki keturunan. Ada pula laki-laki heteroseksual yang melakukan seks anal, sebagaimana yang biasa diidentikkan sebagai perilaku seksual kelompok gay (padahal banyak juga pria gay yang tidak melakukan hal itu).
Ada juga perempuan yang ternyata lebih senang menjalin asmara dengan transpria atau laki-laki yang berhubungan intim dengan transpuan. Hal ini menunjukkan betapa cairnya identitas gender dan seksualitas seseorang. Sulit sekali untuk mengotak-kotakkan atau mengategorisasikannya ke dalam sekat-sekat yang biner.
Perihal pernikahan gay secara heteroseksual itu juga pernah diungkap oleh Tom Boelstorff di dalam tulisannya The Gay Archipelago. Menurutnya, terma dan praktik gay tidak memiliki bentuk tunggal dan tetap, terutama bila dihadapkan pada diskursus yang sedang beredar dalam tataran global dan lokal. Bentuk dan praktik gay di Amerika Serikat, misalnya, bisa saja berlainan dengan yang terjadi di Indonesia. Kelompok gay di Amerika Serikat mungkin bisa mengekspresikan identitas gender dan seksualitasnya dengan menikah secara homoseksual, karena aturan telah mampu mengakomodasi hal itu. Sementara di Indonesia, diskursus soal politik, agama, sosial, dan budaya yang sedang beredar belum memungkinkan kebebasan semacam itu dapat dinikmati oleh mereka. Setidaknya untuk saat ini.
Baca juga: Pria Gay Bersembunyi di Balik Tudung Rohani
Dengan demikian, pernikahan seorang gay yang dilakukan secara heteroseksual, sebagaimana yang terjadi pada kerabat saya dan sejumlah pria gay lainnya, tidak melulu menunjukkan sisi powerless seorang gay. Hal itu juga bisa dibaca sebagai bagian dari resiliensi mereka untuk beradaptasi dan bernegosiasi dengan norma heteronormatif yang selama ini menjadi justifikasi atas berbagai peminggiran terhadap identitas gender dan seksualitas mereka. Kita juga tidak boleh lupa, ada peran negara dan imajinasi tentang kewarganegaraan yang ikut berkontribusi menggiring mereka terjebak pada pernikahan secara heteroseksual.
Kembali pada pertanyaan publik di jagat dunia maya, “Mereka kalau gay kenapa memilih menikah, sih?”
Itulah cara gay menubuhi norma heteronormatif dan seksualitasnya. Jika dengan menjadi “bunglon sosial” semacam itu bisa tetap membuat mereka terus hidup, mengapa tidak?
Meski begitu, saya tetap menaruh harapan besar agar suatu saat nanti kelompok gay dan queer lain di Indonesia dapat memiliki ruang bebas dan aman, sehingga mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi menunjukkan identitas gender dan seksualitasnya —sebagaimana yang saat ini dinikmati oleh mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual. Hal itu tentu saja bukan seperti Harry Potter yang cukup mengucap “simsalabim” lantas membuat ruang-ruang itu terbuka begitu saja. Memerlukan ratusan bahkan ribuan hari untuk sampai pada cita-cita itu. Menjadi “bunglon sosial” dengan menubuhi norma heteronormatif sambil berjuang melakukan kerja-kerja advokasi dari bawah tanah seperti sekarang ini menurut saya adalah langkah paling masuk akal.
Comments