Film bergenre coming of age identik dengan sutradara Hollywood, John Hughes, karena merilis sederet karya hits tentang keresahan remaja di tahun 1980-an, seperti The Breakfast Club, Sixteen Candles, Pretty in Pink, dan Ferris Bueller’s Day Off. Definisi dari genre coming of age tidak hanya mentok pada kehidupan remaja semata, tetapi pada penggambaran proses dan cara pikir seseorang menuju kedewasaan, atau satu peristiwa besar yang membantu pertumbuhan mental dan emosional. Umumnya, alur cerita melibatkan proses kesadaran internal yang mengantarkan pada pendewasaan diri karakter film.
Dalam konteks komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), film Love, Simon (2018) yang mengadaptasi novel Simon vs The Homosapiens Agenda (2015) karya Becky Albertalli, adalah salah satu film queer coming of age paling menonjol dalam lima tahun terakhir. Ini adalah film remaja queer pertama produksi studio besar Hollywood.
Akademisi John H. Haley Jr dari Universitas Notre Dame di AS, dalam penelitian “Love, Simon as A Modern, Gay Coming-of-Age Narrative: A New Point of Contention and Engagement for Queer and Popular Culture” menyatakan, terlepas dari kritik bagaimana film tersebut gagal merepresentasikan remaja LGBT sesungguhnya, kehadirannya membuka diskusi besar untuk para remaja queer menceritakan pengalaman mereka.
Sebetulnya masih banyak film coming of age queer yang muncul beberapa tahun terakhir, seperti Moonlight (2016) yang meraih Best Picture dalam perhelatan Academy Awards ke-89, Alex Strangelove (2018), Booksmart (2019), dan The Half of It (2020). Selain film tersebut, berikut enam rekomendasi film bertema coming of age tentang kehidupan remaja queer. Kami tidak memasukkan Call Me By Your Name (2017) karena merasa cerita dan penggambarannya problematik, mengingat salah satu karakternya masih di bawah umur.
Baca juga: 10 Film dan Serial TV Bertema LGBT yang Wajib Ditonton
-
Beautiful Thing (1996)
Berlatar daerah permukiman kelas pekerja di London, film ini berpusat pada Jamie (Glen Berry), remaja laki-laki pendiam yang kerap bolos sekolah akibat perundungan di sekolah. Ia tinggal dengan ibunya, Sandra, orang tua tunggal yang bercita-cita memiliki pub miliknya sendiri. Jamie dan Sandra bertetangga dengan Stu, yang tinggal dengan ayah dan kakaknya yang suka melakukan kekerasan. Sebuah insiden membuat Stu tinggal untuk sementara bersama Jamie dan Sandra. Situasi ini menjadi pintu pembuka bagi Jamie dan Stu untuk mengetahui dan berupaya memahami seksualitas mereka.
Film ini tidak hanya menarasikan bagaimana kedua remaja tersebut bersama dan memahami orientasi seksual mereka, tetapi juga tentang tanggapan orang di sekitarnya, seperti Sandra dan Leah, anak tetangga yang eksentrik. Beautiful Thing tidak hanya mengusung tema coming of age remaja queer tetapi juga slice of life, bagaimana kedua remaja itu menavigasi keraguan yang dialaminya, peran keluarga serta cara menyikapinya, dan tentu saja bagaimana mereka belajar dan menerima diri sendiri.
Beautiful Thing menjadi angin segar penggambaran remaja queer yang berusaha memahami diri mereka sendiri. Penggambaran yang manis dan sederhana, alih-alih bombastis, membuat ini menjadi salah satu film favorit komunitas LGBT sepanjang masa.
-
Pariah (2011)
Alike (Adepero Oduye) adalah remaja lesbian yang senang menghabiskan waktu dengan sahabatnya Laura di klub. Berbeda dengan Laura yang secara terbuka menunjukkan orientasi seksualnya, Alike masih merahasiakannya. Karena ibu Alike tidak menyukai penampilan anaknya yang maskulin dan persahabatan anaknya dengan Laura, Alike diminta menghabiskan waktu dengan Bina, remaja perempuan dari gereja.
Pariah menarik karena memberikan sudut pandang menjadi perempuan lesbian Afrika-Amerika, dan menampilkan emosi mentah dan liku-liku pengalaman remaja lesbian yang masih banyak belajar, memahami, dan mengekspresikan identitasnya. Satu poin penting lainnya yang sangat menyentuh dalam film adalah hubungan remaja perempuan yang lebih sehat dengan ayahnya.
-
The Way He Looks (Hoje Eu Quero Voltar Sozinho, 2014)
Terinspirasi dari film pendek I Don't Want To Go Back Alone (Eu Não Quero Voltar Sozinho, 2010), film ini bercerita tentang pemuda tunanetra Leonardo (Ghilherme Lobo) dan persahabatan serta kisah cintanya dengan Gabriel (Fábio Audi), teman sekolahnya. Film Brazil ini meraih penghargaan FIPRESCI Prize, Teddy Award, dan Berlin International Film Festival.
Banyak momen menghangatkan hati antara Leo dan Gabriel, menunjukkan cinta lebih dari apa yang terlihat. Salah satu adegan yang paling menyentuh adalah saat bagaimana Leonardo mencoba mengajarkan huruf braille kepada Gabriel, yang menyerah dengan mudah, menganggapnya sebagai satu hal yang mustahil. Leonardo kemudian mengingatkan bahwa hal yang mustahil adalah baginya untuk naik sepeda.
Penggambaran cemerlang karakter Leonardo terlihat dari bagaimana dia berhadapan dengan perundung, menginginkan kemandirian dari kekangan orang tua, dan membiarkan perubahan positif terjadi secara perlahan tapi pasti.
-
Naz & Maalik (2015)
Film ini dibuka dengan alur yang sangat santai, memperkenalkan dua karakter utama Naz (Kerwin Johnson Jr) dan Maalik (Curtis Cook Jr) yang menghabiskan waktu dengan menjual tiket lotre. Layaknya trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight dari Richard Linklater, yang merupakan film “cerewet” atau “talky movie”, film ini memperlihatkan banyak dialog tentang kehidupan remaja lelaki kulit hitam, gay, dan muslim di Amerika Serikat.
Baca juga: 5 Serial ‘Boys Love’ yang Bikin Pipi Merona dan Mata Basah
Plot film menjadi lebih berat ketika melibatkan agen FBI yang mengawasi mereka. Film ini tidak hanya menunjukkan bahwa menjadi gay dan muslim juga bisa taat beragama serta ibadah, tapi juga sentimen terhadap orang muslim dan kulit hitam yang selalu berada di bawah pengawasan aparat di Amerika Serikat.
-
3 Generations (2015)
Ray (Elle Fanning) adalah remaja transpria yang siap melakukan terapi hormon dan memulai transisi sesuai dengan identitas gendernya. Namun ia harus mendapatkan izin kedua orang tuanya karena masih di bawah umur. Masalahnya, sosok ayahnya tidak pernah hadir dalam hidupnya. Pencarian sosok sang ayah membawa banyak drama keluarga dan pertanyaan di mana dan siapa ayah Ray sebenarnya.
Film ini dibintangi juga oleh Naomi Watts sebagai ibu Ray, Maggie, dan Susan Sarandon, sebagai neneknya, Dolly. Meski Maggie dan Dolly bisa disebut sebagai sosok progresif, mereka masih menunjukkan penolakan terhadap pilihan Ray, seperti memanggil Ray dengan kata ganti feminin, hingga Dolly yang sempat bertanya mengapa Ray tak mengidentifikasi diri saja sebagai lesbian seperti dirinya.
Selain itu, ada juga kritik akan karakter remaja transpria yang diperankan oleh Fanning, seorang perempuan cis-heteroseksual. Terlepas dari segala isu tersebut, cerita tentang Ray mungkin dapat membantu memahami pengalaman dan sudut pandang remaja trans.
-
Doukyuusei/Classmate (2016)
Baca juga: 'The Half of It': Bukan Kisah Cinta yang Diidamkan Semua Orang
Film animasi Jepang hasil adaptasi dari manga berjudul yang sama karya Asumiko Nakamura ini mengisahkan dua remaja laki-laki dengan kepribadian yang saling berlawanan, alias opposites attract. Rihito Sajou adalah siswa teladan kesayangan guru, sedangkan Hikaru Kusakabe adalah gitaris sebuah band rock indie, keduanya lalu disatukan karena persiapan festival paduan suara. Sajou yang tidak bisa membaca not musik dibimbing oleh Kusakabe dan waktu yang mereka habiskan bersama untuk berlatih membuat keduanya semakin dekat.
Film ini menggambarkan bagaimana keduanya menyatakan perasaannya kepada satu sama lain, di tengah banyak perbedaan, tidak hanya kepribadian tapi juga lingkungan sosial, dan cita-cita mereka.
-
The Miseducation of Cameron Post (2018)
Film hasil adaptasi novel karya Emily M. Danforth (2012) ini bercerita tentang Cameron (Chloe Grace Moretz) yang didaftarkan ke sebuah kamp konversi oleh bibinya yang konservatif, setelah ketahuan berpacaran dengan seorang perempuan bernama Coley. Di kamp ini, Cameron menemukan dua sahabat, yang membantunya menavigasikan kehidupan di kamp ini.
Suatu insiden besar kemudian membuat kamp konversi religius tersebut harus menjalani evaluasi kelayakan, dan terungkap bagaimana kamp ini mereka melakukan hukuman dan penyiksaan emosional karena mengajarkan untuk membenci hingga menolak jati diri sendiri.
Miseducation of Cameron Post memiliki tema yang sama dengan Boy Erased (2018) yang sama-sama membahas tentang kamp konversi, dan menunjukkan kengerian dan ‘abuse’ yang terjadi. Sebelumnya, tema terapi konversi juga ditampilkan dalam But I’m A Cheerleader (1996) yang mengambil jalur komedi untuk merepresentasikan isu serius. Oleh karena itu, bagi beberapa penonton di era modern film ini dapat dinilai problematik karena caranya menunjukkan isu kamp konversi.
Namun, But I’m A Cheerleader merupakan kritik satir untuk peran dan ekspresi gender yang sangat stereotipikal. Adapun, upaya sutradara Jamie Babbit menggunakan isu terapi konversi dalam filmnya memperkenalkan serta menyoroti isu tersebut di tahun 90-an.
Comments