Siang hari, Jembatan Genit di daerah Tubagus Angke, Jakarta Barat, tampak seperti jalan biasa, dengan lalu lalang mobil, sepeda motor, dan pejalan kaki. Karena jembatan itu bergandengan langsung dengan Taman Tubagus Angke yang dipenuhi pohon rindang, para pedagang keliling menjadikannya tempat singgah untuk beristirahat.
Di malam hari, suasana Jembatan Genit berubah menjadi tempat pekerja seks mangkal, untuk menarik perhatian pemakai jasa mereka.
“Dari dulu memang udah ada. Sebelum Kalijodo digusur, mereka udah mangkal di sini,” kata David, teman saya, waktu kami melewati jembatan tersebut sekitar September 2020 lalu.
“Sempat waktu lewat sini, gue hampir nabrak salah satu dari mereka.”
Mendengar cerita David, saya terdiam membayangkan bagaimana kalau perempuan itu nahas dan tertabrak. Begitu banyak risiko yang harus ia terima ketika memutuskan bekerja di Jembatan Genit: stigma, kesehatan, kekerasan, bahkan kecelakaan. Apalagi sekarang sedang pandemi.
Mengamati para pekerja seks malam itu, saya membayangkan betapa kerasnya hidup perempuan-perempuan ini. Tarif Rp80 ribu untuk seorang tamu, sebelum potongan sewa tenda. Barangkali ia hanya akan menerima Rp50 ribu-Rp60 ribu untuk setiap tamu yang membeli jasanya. Saya rasa itu tidak sebanding dengan biaya kesehatan fisik maupun psikologis yang harus ia tanggung. Belum lagi stigma sepanjang hidup dan beban untuk melanjutkan hidupnya pada masa depan.
Kemiskinan telah memaksa mereka untuk masuk dalam kehidupan yang gelap. Terjerat utang, terjebak iming-iming kerja layak dan menjadi budak seks ketika sampai di Jakarta. Cerita-cerita itu sudah banyak saya baca di banyak laporan investigasi. Mereka yang telanjur basah lebih banyak menceburkan diri sepenuhnya. Sebagian yang lain memang tak bisa keluar sama sekali karena harus berhadapan dengan induk semang yang kejam.
Bagi banyak perempuan pekerja sek, seperti yang tengah menanti pelanggan di Jembatan Genit, mungkin menjalani profesi itu adalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk berdaya. Mau tak mau, suka tak suka, semua harus mereka jalani untuk menghidupi diri sendiri. Terutama mereka yang datang sebatang kara dari desa. Tak satu pun yang bisa mereka jadikan tempat bersandar atau menggantungkan hidup. Mereka hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
Baca juga: Perceraian Sebagai Salah Satu Proses Hijrah Diri
Makna Hijrah yang Berbeda
Perempuan-perempuan Jembatan Genit mengingatkan saya pada seorang perempuan lain yang saya temui ketika melakukan riset bersama lembaga Rumah KitaB, tentang kekerasan berbasis gender akibat fundamentalisme. Saya membandingkan situasi hidup antara perempuan pekerja seks dan perempuan yang menjadi subjek dalam penelitian itu.
Subjek penelitian saya, “Maryam”, adalah seorang perempuan yang semula sangat berdaya. Namun ia kemudian memilih menjadi perempuan yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada orang lain, yaitu suaminya.
Maryam tinggal di sebuah kompleks perumahan di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Saat kami bertemu pada Februari 2020, Maryam mengenakan gamis dan kerudung panjang serta cadar. Ia mengatakan, dulu ia masih mengenakan kerudung yang tidak menutupi dada, dengan ujung jilbab depan masih disampirkan ke pundak kiri dan kanan.
Sebelum hijrah, ujarnya, ia masih senang nongkrong dengan teman-temannya, yang ia anggap tidak ada manfaatnya. Ia juga bekerja di luar rumah yang ia anggap berpotensi menimbulkan fitnah karena ikhtilat (bercampur antara laki-laki dan perempuan).
Maryam dulu bekerja di sebuah pabrik otomotif di Cikarang. Ia sempat menjadi perempuan yang mandiri dan mampu membantu ekonomi keluarga. Sebagai perempuan yang datang dari sebuah desa di Purworejo, Jawa Tengah, Maryam mengatakan saat itu ia senang bisa hidup berkecukupan hanya dengan modal ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Tetapi, keadaan seperti itu tak lagi ia anggap sebagai kesenangan, terutama setelah ia memutuskan hijrah dan aktif mengikuti kajian agama. Maryam bilang, sebagai perempuan yang telah mengenal ilmu agama, ia harus memutuskan untuk taat pada perintah agama.
Titik balik dalam hidup Maryam ialah ketika ia memutuskan untuk sepenuhnya berhenti bekerja. Sebuah awal penyerahan diri pada pengabdian utuh, sebagai hamba sekaligus istri. Maryam mengatakan, jauh sebelum menikah, ia sudah berniat untuk berhenti bekerja karena ia telah mengetahui hukum Islam yang melarang perempuan untuk bekerja. Ia kini menggantungkan hidup pada suaminya dan fokus mengurus pekerjaan rumah tangga.
“Dosa besar, Mbak. Dosa besar! Saya tuh setiap ingin pergi ke pabrik, seperti ingin pergi ke tempat maksiat. Mulai dari rumah, di jalan, sampai pabrik, kepala saya dibayangi dosa dan dosa. Ya Allah… Karena dunia saja kok saya lalai dan mengabaikan haramnya ikhtilat,” ujarnya seraya menghela napas panjang dan mengelus dada.
Baca juga: Kalis Mardiasih Ajak Pandang Fenomena Hijrah Secara Utuh
Hijrah dengan Menarik Diri dari Dunia Sosial
Maryam mengingatkan saya pada sahabat saya, yang memutuskan untuk berhenti kuliah karena ilmu dunia tak begitu penting. Sisa kuliah yang tinggal dua semester ia tinggalkan begitu saja. Ia memilih mondok kilat di pesantren kemudian menikah.
Maryam masih terus bercerita, dan saya masih terus membisu. Yang ada di kepala saya saat itu hanya pertanyaan besar, “Apa yang sedang terjadi? Mengapa bisa seperti ini?” Hingga saya pulang, menuliskan catatan lapangan hasil pertemuan saya dengan Maryam, dan berbaring di kamar menjelang tidur, kepala saya masih berisik dengan pertanyaan itu.
Dari dunia para pekerja seks, mungkin mereka memimpikan kehidupan yang terang, penuh kepastian, dan tanpa stigma. Saya yakin mereka mendambakan sejahtera, mungkin mereka menginginkan “hijrah” dari kemiskinan menuju hidup yang layak.
Tetapi di situasi yang lain, perempuan-perempuan seperti Maryam justru memaknai “hijrah” dengan menarik diri dan memutus hubungan dengan dunia sosial. Menyerahkan diri pada ketidakberdayaan dan menggantungkan hidup pada orang lain, padahal sebelumnya ia adalah perempuan mandiri dan berdaya.
Perempuan-perempuan dari Jembatan Genit barangkali berteriak dalam hati karena lelah bekerja di tempat yang orang-orang sebut sebagai kubangan maksiat. Tetapi perempuan seperti Maryam, yang saya pikir beruntung telah mendapatkan pekerjaan yang tidak mendatangkan dosa, justru menganggap pabrik adalah tempat maksiat, hanya karena “ikhtilat” bekerja bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Saya tidak tahu ada berapa banyak lagi perempuan-perempuan seperti Maryam dan sahabat saya yang memaknai hijrah dengan cara demikian. Perempuan yang berpendidikan dan berdaya itu menganggap dunia kerja sebagai jahiliyah (zaman kegelapan). Sementara perempuan-perempuan dari Jembatan Genit yang tidak seberuntung mereka barangkali tak henti-hentinya berdoa agar diberi jalan untuk hijrah, keluar dari jerat kemiskinan.
Tulisan ini diolah dari catatan penelitian yang dilakukan oleh Rumah KitaB pada tahun 2020. Penulis mendapatkan pelatihan penulisan kreatif dari Rumah KitaB atas dukungan We Lead.
Comments