Dalam dua tahun terakhir, banyak orang Indonesia, biasanya pria, mengecam “politik identitas” di negara ini yang merusak persatuan bangsa. Beberapa perempuan muda, biasanya minoritas seperti Kristen dan Cina, juga menyayangkan menguatnya “politik identitas” di Indonesia, yang mengorbankan rasa aman mereka, terutama mereka yang mengingat perisitiwa Mei 98.
Politik identitas, terjemahan dari identity politics, masuk perbendaharaan bahasa politik Indonesia setelah kemenangan tak terduga Donald Trump dalam pemilihan umum AS November 2016. Mengikuti kolumnis-kolumnis poros tengah Amerika yang menyalahkan identity politics, pengamat-pengamat Indonesia memperkenalkan argumen ”Hillary Clinton kalah karena politik identitas” bagi pembaca Indonesia.
Menurut mereka, para pendukung Hillary Clinton terlalu mementingkan identitas kelompok-kelompoknya – kelompok LGBT, feminis, kulit hitam, dan Muslim -- sehingga melupakan rakyat kebanyakan. Lebih parah, Clinton menyebut sebagian pemilih Trump “deplorable” atau memuakkan. Bagi banyak pendukung Clinton, orang-orang kulit putih yang rasis, homofobik, dan seksis ini betul-betul memuakkan. Menurut para pengamat politik Indonesia, ini kesalahan besar. Seorang politikus harus berusaha mendapatkan simpati sebanyak-banyaknya.
Di awal 2017, buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt menjadi populer di Jakarta, setelah berlangsungnya ”bedah buku” oleh grup media Tempo dan tokoh-tokoh pluralisme Indonesia. Asumsi saya, para pembicara setuju dengan argumen Haidt bahwa kelompok liberal, konservatif, dan libertarian di AS terlalu berprasangka satu sama lain (buku ini dirilis di Amerika Serikat pada 2012), dan Indonesia harus menghindari prasangka ini.
Nama Haidt sendiri mencuat setelah kemenangan Trump seakan membuktikan argumennya, bahwa prasangka kelompok liberal kepada kelompok konservatif dan libertarian berdampak negatif pada kampanye Clinton. Dengan fokus Afrika-Amerika pada ”Black Lives Matter”, perdebatan antara para feminis kulit putih dan kulit berwarna, dan perdebatan di antara kelompok-kelompok queer/tidak lazim (misalnya soal penerimaan aseksual, trans, dan biseksual), para pendukung Clinton melupakan jutaan orang Amerika yang menghargai tradisi, kebebasan individu, dan keteraturan. Intinya, isu-isu politik identitas terlalu asing untuk rakyat Amerika, dan agresivitas ”pendukung politik identitas” menarik antipati, bukan simpati, dari rakyat Amerika.
Tentunya para feminis mengecam Haidt. Siapa itu ”rakyat Amerika?” Haidt seolah bicara mewakili rakyat Amerika, tapi dia menyuarakan kelompoknya sendiri: Laki-laki kulit putih kelas menengah. Anak-anak kulit hitam yang berkali-kali ditembak mati polisi yang ”panik” juga rakyat Amerika. Imigran non-biner dengan disabilitas juga rakyat Amerika. Apabila mereka dibilang bermain ”politik identitas”, maka para pemilih Trump juga bermain politik identitas: Keluarga kulit putih yang membenci Barack dan Michelle Obama; umat Kristen yang memilih seorang pria cabul pemalas ketimbang seorang perempuan Kristen yang dituduh pro-aborsi; laki-laki Demokrat pro-Bernie Sanders yang membiarkan Trump menang daripada kandidat favorit perempuan Afrika-Amerika.
Haidt juga bermain politik identitas dengan meminta semua minoritas tutup mulut, dan menyerahkan kembali kontrol media ke pria kulit putih liberal seperti dia, sementara pria-pria konservatif pendukung Trump menguasai Amerika. Tentunya mereka dan Haidt bisa mencari titik temu, tapi kaum muda kulit hitam sudah dibunuh polisi, toko imigran sudah dilempari batu, dan feminis sudah dihujani ancaman pemerkosaan dan pembunuhan.
Itu di Amerika Serikat. Di Indonesia, ”politik identitas” biasanya dikaitkan dengan Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017, dan dengan Gubernur Anies Baswedan. Menurut para pengkritiknya, ”politik identitas” para pendukung Anies bertentangan dengan semangat kebinekaan dan kemajemukan. Di sisi lain, tokoh-tokoh konservatif menyalahkan Presiden Joko Widodo dan mantan gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sebagai penyebab menguatnya ”politik identitas” Muslim konservatif.
Di Amerika, ”politik identitas” adalah kritik pria mapan bagi minoritas yang dianggap mengacak-acak wacana politik Amerika, meresahkan dan membingungkan rakyat kebanyakan. Di Indonesia, ”politik identitas” adalah kritik pria mapan bagi mayoritas yang melawan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika, atau pemaksaan bagi pemerintah dan minoritas untuk memaklumi premanisme. Bagi Marxist dan libertarian di kedua negara, politik identitas adalah kebodohan menyebalkan – hambatan bagi perjuangan kelas bagi Marxist, musuh dari kemerdekaan individu bagi libertarian.
Indonesia belum melihat politik identitas sepenuhnya. Bayangkan bila interseksionalitas betul terjadi di Indonesia: Perempuan-perempuan dari pulau-pulau lain mengkritik feminisme yang berpusat pada perempuan Jawa. Idealisme “kebinekaan” dipertanyakan. Buku-buku dan film-film yang mengandaikan pulau-pulau yang merdeka dari Republik Indonesia dipasarkan, dan politikus dan selebriti Indonesia pada melela (coming out). Pria-pria Batak dan Maluku mempertanyakan stereotip dan maskulinitas.
Hal-hal ini akan terjadi apabila Indonesia sudah jadi negara maju. Tapi maaf, seandainya Indonesia sudah maju pun semua hal di paragraf atas tidak akan terjadi, seperti kenyataan di Singapura dan Jepang. Tentunya di dalam Internet semua pembicaraan ini sudah dimulai. Di Magdalene anda bisa menemukan kritik orang-orang gay pada komunitasnya, kritik saya pada pasifnya komunitas Tionghoa, dan dilema feminis berhijab di antara perempuan Asia yang menghakimi perempuan berjilbab dan feminis Barat yang meromantisir jilbab. Tapi para minoritas ini tidak akan memandu acara telewicara di televisi atau menulis artikel fitur di majalah politik. Sebaliknya, keamanan mereka ada pada tingkat kritis di Indonesia.
Interseksionalitas tidak pernah menimbulkan rasa nyaman. Black Panther, film kontroversial bagi kaum liberal Indonesia (film terbaik Marvel atau satu lagi permainan politik Hollywood?), tetap mengecewakan perempuan queer Indonesia, karena lagi-lagi menutupi identitas perempuan lesbian dan biseksual, setelah Marvel melakukannya di Thor: Ragnarok. Tapi segala dukungan dan pujian bagi Black Panther tetap mengalir dari mereka. Di AS pun ketidakmunculan ini jadi kontroversi antar perempuan dan LGBT+ kulit hitam.
Saya akan menghadapi kesulitan serupa saat film Crazy Rich Asians dirilis. Di Amerika, film ini mewakili komunitas Cina-Amerika, tapi bagi komunitas Melayu dan India Singapura, film ini lagi-lagi menghapus mereka dari Singapura, dan media pemerintah Singapura setuju bahwa film ini tidak mewakili Singapura (sebetulnya karena novelnya banyak menyindir patriarki dan keserakahan elit Cina Singapura). Sementara bagi saya, novelnya membongkar banyak rahasia elit Cina Singapura, yang kurang lebih terkait dengan elit Cina Indonesia. Mau disebut politik identitas, atau seperti kita feminis menyebutnya interseksionalitas, pengungkapan kenyataan tidak pernah terasa nyaman.
Baca juga soal ketakutan para pendukung RUU KUHP terhadap hubungan seksual romantis.
Comments