Aktris Dinda Hauw menarik perhatian warganet setelah membuat beberapa pernyataan pascapernikahannya dengan Rey Mbayang. Satu di antaranya adalah “pengakuan” bahwa dirinya tidak bisa memasak nasi dan mi instan pada sebuah unggahan Instastory-nya yang dibubuhi tagar cringey #day1dindareyhalal.
Sontak warganet ramai-ramai mengomentari hal tersebut. Ada yang mencela karena sebagai perempuan, Dinda tidak bisa memasak mi instan. Ada juga yang melihat bahwa Dinda cuma mencari sensasi dan mau memamerkan status sosialnya yang tinggi saja sampai-sampai tidak bisa melakukan hal sederhana.
Menanggapi reaksi warganet tersebut, Rey sempat memberi klarifikasi dan menyatakan bahwa Dinda hanya bercanda saat mengatakan dirinya tidak bisa memasak mi instan. Kendati tidak ahli, Dinda mengaku, “Bisa memasak sedikit-sedikit”.
Reaksi yang serupa juga sempat menghujani aktris Nia Ramadhani waktu berita sensasional dirinya tidak bisa memasak telur (atau mengupas salak) beredar di berbagai media. Sesaat setelah berita itu viral, muncul kabar bahwa hal tadi hanya settingan belaka dan Nia sebenarnya bisa memasak.
Terlepas dari benar tidaknya para seleb ini tak bisa memasak, atau seberapa pedasnya warganet mengomentari mereka, saya lebih tertarik menyoroti tentang memasak (dan ragam pekerjaan domestik lainnya) dan peran gender yang lama melekat di benak masyarakat.
Sampai sekarang banyak orang menganggap memasak adalah pekerjaan perempuan, bahkan ini menjadi salah satu kriteria pasangan ideal sebagian laki-laki. Ketika seorang perempuan diketahui tidak bisa memasak, sering kali ia mendapat cibiran.
Baca juga: Laki-laki Lakukan Kerja Domestik Tak Istimewa, Berhenti Merayakannya
Banyaknya koki laki-laki mulai dari yang bekerja di hotel sampai kaki lima, dari yang bisa dilihat langsung sampai yang muncul di layar kaca, tidak serta merta meluruhkan pandangan tadi. Memang sekarang bermunculan laki-laki yang sudah mulai mau masuk dapur dan memasak makanan untuk pasangannya, bahkan ada yang rutin. Tetapi hal ini masih kerap dipandang sebagai sesuatu yang “wah”, sementara kalau perempuan yang melakukannya dinilai biasa saja. Bukannya memang seharusnya perempuan begitu?
Soal memasak (atau membersihkan rumah, belanja, mengurus anak, mencuci, dan sebagainya) sebagai tugas perempuan, saya justru melihatnya sebagai suatu survival skill dasar yang wajib dimiliki setiap orang. Ia adalah bagian dari latihan kemandirian yang seharusnya diasah sejak kecil, tak peduli gender apa pun. Untuk bisa bertahan hidup, kita enggak perlu jadi juara masak. Cukup sekadar menggoreng, merebus, atau menumis makanan yang sederhana. Semua orang bisa mempelajarinya dan kemudian memanfaatkannya untuk meneruskan hidup (yang lebih hemat dengan tidak melulu jajan di luar).
Kita memang tidak hidup di belantara sehingga barangkali sebagian orang berpikir tidak perlu capek-capek belajar dan melakukan masak sendiri. Kita hidup di lingkungan yang nyaris serba-ada, tapi justru dalam kondisi itu, kenapa masih hidup pikiran bahwa memasak adalah bagian dari tanggung jawab perempuan?
Memasak juga perkara pilihan. Sekarang sudah ada macam-macam fasilitas layanan antar makanan yang bisa diakses dengan beberapa kali sentuhan di layar ponsel sehingga perempuan bisa mengangkat tugas memasak yang kerap dibebankan masyarakat kepadanya. Tapi, pilihan ini kan hanya bisa dinikmati setiap hari oleh orang kalangan menengah ke atas, yang tidak perlu pusing melihat harga makanan dan ongkos kirim di aplikasi antar makanan.
Buat perempuan yang memang senang dan sukarela memasak untuk pasangannya, jelas bukan masalah. Tetapi jadi perkara jika perut mereka tengah keroncongan, duit habis, badan rasanya remuk-remuk, lantas si laki-laki masih menuntut si perempuan buat memasak. Jika sebagian laki-laki berpikir bahwa mereka pihak yang kuat dan lebih dominan, mengapa masih mengandalkan (kadang menyuruh) orang lain untuk menyokong keselamatan dirinya sendiri dalam urusan isi perut?
Baca juga: Setara di Kasur, Mulai dari Sumur dan Dapur
Perempuan tidak bisa masak bukan hanya jadi cibiran dalam keseharian, tetapi dari kasus-kasus yang saya singgung pada awal tulisan tadi, jelas menjadi makanan empuk media yang mengejar sensasionalitas. Akankah kita terus memberi makan media dengan suguhan macam itu, yang idealnya sudah membusuk sejak lama?
Di masyarakat kita masih berdiri sekat pemisah “kasta” antara perempuan yang bisa memasak dan tidak. Dalam kasus Nia Ramadhani, dia menjadi objek tontonan masyarakat, terlepas dari dia sengaja melakukannya atau tidak, yang mengingatkan saya pada istilah pelabelan stupid blonde. Orang senang melihat keluguan orang lain, menertawakannya, lantas ikut mengomentari seolah dirinya superior dengan kemampuannya entah memasak atau mengerjakan hal sederhana lainnya.
Kalaupun kita bisa memasak atau tidak, jago atau masih pemula, saya merasa hal itu tidak perlu dirayakan atau digembar-gemborkan. Agak aneh menurut saya untuk melebih-lebihkan kemampuan dasar untuk bertahan hidup ke orang-orang lain, yang juga sepatutnya punya hal yang sama (dalam level bervariasi).
Jika satu orang punya survival skill lebih mumpuni dari yang lainnya, bukan berarti yang lain, baik laki-laki maupun perempuan, juga tidak (perlu) berproses untuk ke arah situ. Ketika kita terbiasa selalu dibantu orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman, hingga pasangan, kita akan lebih lambat mengejar ketertinggalan untuk menguasai suatu survival skill, salah satunya memasak.
Cobalah sehari demi sehari bayangkan (jika tidak benar kejadian) bila kita tak punya siapa-siapa di sekitar kita untuk menolong, entah memasak, mencuci, atau membetulkan genteng sekalipun. Bagus kalau masih ada fasilitas yang bisa kita telepon untuk membantu. Tapi jika tidak atau kita tak punya uang untuk itu, siapa lagi yang akan menolong kita kalau bukan kita?
Comments