Women Lead Pendidikan Seks
March 22, 2019

Pentingnya Memilih Caleg Perempuan dalam Pemilu 2019

Keputusan golput pemilih perempuan akan mencederai kemungkinan lebih banyak perempuan terwakili dalam badan legislatif.

by Caesar Abrisam, Previously a Digital Media Engagement Specialist at Magdalene.co
Issues // Politics and Society
Share:

Jumlah pemilih perempuan dalam Pemilihan Umum pada 17 April nanti lebih banyak dari laki-laki. Sayangnya, kelebihan jumlah pemilih perempuan belum tentu berkontribusi positif terhadap kemenangan politikus perempuan dalam pemilihan legislatif mendatang. Riset menunjukkan iklim patriarkal dalam perpolitikan Indonesia menghambat kesempatan mereka untuk menang.

Magdalene minggu ini berbincang-bincang dengan akademisi Ratri Istania mengenai pentingnya memilih calon anggota legislatif perempuan dalam Pemilu 2019. Ratri adalah kandidat PhD Ilmu Politik di Loyola University Chicago, USA. Di Indonesia, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Admninistrasi Negara sejak tahun 2000. Fokus keilmuannya adalah pada di perbandingan ilmu politik, politik lokal, pemekaran, dan konflik identitas (etnis/agama).

Perbincangan dengan Ratri dilakukan di Twitter dan Instagram lewat platform #MadgeTalk. Berikut adalah hasilnya.

Magdalene: Berapa perbandingan antara calon anggota legislatif perempuan dan laki-laki dalam Pemilu 2019 ini?

Berdasarkan perhitungan Sistem Informasi Pencalonan (Silon) Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah anggota legislatif (caleg) perempuan dan laki-laki dari ke-16 partai politik peserta pemilu 2019 memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai berikut: Caleg perempuan 3,371 orang dan caleg laki-laki 5,029 orang. Artinya caleg perempuan baru mencapai 40 persen dari total jumlah caleg yaitu 8,400 orang.  Tiap caleg akan memperebutkan suara untuk memenangkan satu dari 575 kursi DPR.

Seberapa pentingkah memilih calon legislatif perempuan dalam pemilu kali ini?

Berdasarkan jumlah penduduk Indonesia 2018, ada 133,8 juta perempuan dan 133,08 laki-laki di Indonesia, atau totalnya 266,9 juta penduduk seantero negeri. Artinya, jumlah penduduk perempuan dan laki-laki hampir bisa dikatakan sebanding. Dilihat dari potensi jumlah pemilih Indonesia untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2019, jumlah pemilih perempuan sebanyak  96,6 juta orang melampaui jumlah pemilih laki-laki yaitu 96,3 juta  orang.

Persoalannya, jumlah keterwakilan perempuan di DPR dari masa ke masa ternyata tidaklah menggembirakan. Hasil Pileg 1997 menempatkan 44 anggota legislatif perempuan (8,8 persen) dari 500 anggota DPR. Kemudian, hasil Pileg 2004 mengantarkan caleg perempuan ke 65 kursi DPR (11,82 persen) dari keseluruhan sejumlah 550 kursi. Terakhir, Pemilu 2014 menghasilkan anggota legislatif perempuan sejumlah 97 orang (17,32%) dari total anggota sejumlah 560 orang di DPR. Dari perbandingan jumlah kursi legislatif, jumlah keterwakilan perempuan Indonesia di Lembaga pembuat kebijakan tidak mencapai angka 30 persen seperti yang diharapkan.

Studi dari MacManus pada 1992 tentang rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik menunjukkan rendahnya jumlah kandidat perempuan dalam kontestasi politik, antara lain pileg, menjadi faktor utama sedikitnya perempuan menduduki jabatan strategis politik. Sejurus dengan studi tersebut, kehadiran caleg perempuan dalam Pilpres/Pileg serentak pada April 2019 sangatlah penting. Kepentingan mereka dapat dijabarkan dalam dua hal utama berikut.

Pertama, dari segi jumlah penduduk saja, perempuan mencapai lebih dari 50 persen penduduk Indonesia. Mereka memerlukan “suara” untuk mewakili kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan nasional ataupun daerah yang berdampak pada kehidupan perempuan itu sendiri. Isu ramah perempuan seperti lingkungan hidup, pendidikan, dan kesehatan.

Kedua, studi lainnya tentang keterwakilan perempuan dalam politik AS menunjukkan bahwa bertambahnya jumlah perempuan dalam daftar caleg akan berkontribusi besar dalam meningkatnya partisipasi politik perempuan secara keseluruhan.

Apa yang dapat memengaruhi pemenangan caleg perempuan?

Ada beberapa faktor yang dapat kita perhatikan dalam mempengaruhi pemenangan caleg perempuan.

Pertama, partai politik (parpol). Parpol memegang peranan penting untuk mendorong kandidat perempuan maju sebagai caleg untuk pertama kalinya. Dari mulai perekrutan, pendanaan, sampai dukungan ketika caleg berkontestasi, parpol menjadi faktor utama pemenangan perempuan. Dengan kata lain, pemilih sebaiknya jeli melihat parpol mana yang mengedepankan ataupun mendukung caleg perempuan tersebut. Karena banyak parpol hanya menempatkan caleg perempuan sebagai prasyarat atau hiasan belaka.

Kedua, kontestasi di level nasional akan lebih sulit bagi caleg perempuan ketimbang di level lokal (DPRD Provinsi ataupun Kabupaten). Mendominasinya laki-laki dalam wajah politisi nasional tentu berkontribusi lebih besar bagi pemenangan mereka di DPR.  Oleh karena itu, caleg perempuan di daerah sebaiknya lebih agresif mendekati calon pemilih dengan “blusukan” menyapa segmen emak-emak atau ibu bangsa, meminjam istilah kedua capres.

Ketiga, pemilih cenderung menjatuhkan pilihan pada nama dan wajah yang familiar bagi mereka. Oleh karena itu, liputan media berperan besar dalam membentuk opini pemilih. Banyak caleg perempuan miskin dana dan dukungan politik. Untuk level nasional, platform media arus utama seperti televisi, ataupun surat kabar, dapat mendongkrak image caleg perempuan. Namun, ongkos yang dikeluarkan pun akan mahal bila tidak ada pendanaan cukup. Pilihan media lainnya, seperti media sosial dapat menjadi pilihan caleg perempuan di berbagai level kontestasi. Saluran seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, ataupun WhatsApp dapat digunakan caleg perempuan untuk melakukan sosialisasi program mereka. Caleg perempuan dapat memanfaatkan medsos gratis ini untuk menyasar segmen pemilih tertentu.

Perempuan memerlukan “suara” untuk mewakili kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan nasional ataupun daerah yang berdampak pada kehidupan perempuan itu sendiri.

Bagaimana bila hanya sedikit caleg perempuan yang punya keberpihakan terhadap perempuan dan kelompok marginal?

Kegairahan perempuan dalam berpolitik di Indonesia menunjukan arah positif. Terutama dalam kontestasi pilpres/pileg serentak 2019. Namun demikian, keikutsertaan caleg perempuan dalam pemilu di mana pun selalu akan menghadapi dilema ketika mereka harus bertarung dengan caleg laki-laki untuk memperebutkan kursi yang sama. Di sini persoalannya. Caleg perempuan senantiasa dipersalahkan ketika mereka menampakkan sisi maskulin ketimbang feminisme dengan mengedepankan isu-isu yang jauh dari keberpihakan terhadap perempuan.

Dalam Pemilu, pilihan isu merupakan pertimbangan strategis bagi caleg perempuan. Saya yakin sepenuhnya caleg perempuan sangat ingin memajukan perempuan. Namun mereka terjebak dalam pilihan antara mewakili perempuan secara simbolis atau substantif. Di satu pihak, untuk memenangkan daerah pemilihan (dapil) dengan dominasi caleg laki-laki, caleg perempuan harus mampu memenangkan isu (substansi) yang mereka usung. Keberpihakan terhadap isu perempuan dan kaum marginal penting, namun caleg perempuan juga tidak boleh terlihat tidak menguasai isu yang diusung caleg laki-laki.

Di lain pihak, caleg perempuan tetaplah penting untuk didukung walau sesedikit apa pun mereka menunjukkan dukungan terhadap isu perempuan dan kaum marginal. Keterwakilan mereka dalam parlemen lebih penting secara simbolis untuk mengirimkan sinyal pada perempuan lainnya bahwa mereka terwakili dan terus berpartisipasi dalam politik. Selanjutnya, pertarungan isu sesungguhnya akan dimulai di Gedung DPR.

Bila tidak ada caleg perempuan di daerah pemilih, apa yang sebaiknya menjadi kriteria prioritas dalam memilih caleg yang tersedia?

Ketidaktersediaan caleg perempuan di dapil tertentu jangan sampai mendorong pemilih terutama perempuan menjauhi, terlebih golput, dalam kontestasi pilpres/pileg nanti. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai panduan memilih caleg.

Pertama, kita semua tentunya sepakat mengedepankan semangat toleransi, kebersamaan, demi mendukung keberlangsungan bangsa dan negara. Tentunya pilihan caleg tertentu harus berdasarkan kepada rekam jejak mereka dalam hal dukungan terhadap semangat tersebut. Melihat rekam jejak caleg dalam era melek teknologi seperti sekarang sangatlah mudah. Namun jangan sampai juga termakan berita hoaks, “saring sebelum sharing” harus dikedepankan.

Kedua, pilih caleg yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat, menawarkan program sistematis dengan capaian terukur. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangatlah dekat dengan “urusan dapur” emak-emak/ibu bangsa. Antara lain, pemilih perlu jeli memperhatikan program kampanye caleg berorientasi terhadap pemberdayaan perempuan ataupun kaum marginal. Isu berkaitan dengan perempuan dan kaum marginal ini menjadi kunci menggambarkan niat, usaha, tingkat pengetahuan caleg terhadap fenomena meningkatnya partisipasi perempuan dalam politik di berbagai belahan dunia.

Ketiga, tengok juga caleg yang mendorong kolaborasi perempuan dan laki-laki untuk program penyelamatan lingkungan. Program penyelamatan lingkungan sangatlah penting mengingat bencana iklim global berdampak buruk terhadap kesejahteraan petani di pedesaan. Efek domino akan terjadi ketika petani sudah tidak mampu menghadirkan nasi berkualitas baik ke meja makan di tiap rumah akibat bencana banjir atau kekeringan misalnya. Kalau sudah begini baik perempuan dan laki-laki akan mendapatkan dampaknya. Hindari caleg yang hanya membicarakan hal-hal abstrak, terlihat canggih, tanpa tahu bagaimana menawarkan solusi praktis.

Keempat, ini sangat penting. Pemilih jangan sampai terjebak perang hoaks atau berita palsu tersebar diberbagai media ataupun ruang publik seperti kampanye. Oleh karena itu, hindarilah memilih caleg yang gemar menyuarakan perpecahan dengan kalimat-kalimat retorika tanpa data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimana pendapat Mbak tentang affirmative action atau aksi afirmatif untuk perempuan di pemerintahan?

Sejalan dengan UU Pemilu No. 10 Tahun 2008, Indonesia telah menerapkan affirmative action atau kuota untuk menyertakan paling tidak 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol di level pusat dan provinsi. Berdasarkan laporan Women Research Institute (2012), semangat aksi afirmatif dilanjutkan dengan mewajibkan parpol untuk memberikan kesempatan caleg perempuan mereka sebanyak 30 persen dalam daftar Pemilu.  Dalam hal ini, mekanisme aksi afirmatif secanggih apa pun perlu dihargai mengingat partisipasi kandidat perempuan dalam kontestasi Pileg terbilang rendah. Namun demikian, miskinnya insentif ataupun mekanisme sanksi begitu longgar terhadap parpol yang tidak menjalankan ketentuan kuota menjadikan aksi afirmatif bagaikan macan tanpa taring.

Aksi afirmatif bukanlah gagasan baru. Di berbagai belahan dunia, aksi afirmatif seperti di negara-negara industri maju (Swedia, Denmark, Belanda, dan Jerman) memprioritaskan parpol untuk merekrut kandidat perempuan yang kemudian meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen mereka. Menariknya, kondisi keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia serupa dengan di AS. Dari keseluruhan 46 negara mengadopsi sistem kuota, AS tidak memiliki sistem kuota seperti halnya di Indonesia. Keterwakilan politisi perempuan di parlemen AS pun terbilang rendah dibandingkan negara lainnya, bahkan sangat jauh dibandingkan Rwanda dan Bolivia, dengan setengah jumlah anggota parlemen mereka adalah perempuan.

Dengan demikian, Indonesia seharusnya dapat lebih mengoptimalkan aksi afirmatif tersebut dengan menempatkan lebih banyak perempuan dalam parlemen. Sekali lagi, aksi afirmatif tidak akan jalan apabila kesadaran parpol di Indonesia masih rendah untuk urusan memajukan caleg perempuan. Di sini, kombinasi antara peran gatekeepers (pemimpin parpol) sangat menentukan dalam mekanisme perekrutan kandidat sampai mengantarkan kandidat perempuan memasuki gedung parlemen.

Syukurnya dalam pemilu kali ini, semua parpol peserta pemilu sudah mengalokasikan lebih dari 30 persen caleg perempuannya untuk berkontestasi dalam pemilu. Ini merupakan kabar baik bagi kemajuan perempuan dalam politik legislatif di Indonesia.

Caleg perempuan tetaplah penting untuk didukung walau sesedikit apa pun mereka menunjukkan dukungan terhadap isu perempuan dan kaum marginal. Keterwakilan mereka dalam parlemen lebih penting secara simbolis untuk mengirimkan sinyal pada perempuan lainnya bahwa mereka terwakili dan terus berpartisipasi dalam politik.

Apa tantangan dalam memenangkan caleg perempuan di Indonesia?

Menurut studi belakangan ini tentang pemilu serentak, sistem penghitungan suara yang digunakan sekarang (saite lague) dalam sistem pemilu Daftar Proporsional menguntungkan perempuan (LIPI 2019). Keterwakilan caleg perempuan dalam perempuan diharapkan lebih banyak bila jumlah caleg perempuan terdaftar dalam surat suara meningkat. Sayangnya, caleg perempuan menghadapi tantangan lebih banyak dibandingkan caleg laki-laki.

Pertama, masyarakat kita masih patriarkal. Artinya masyarakat Indonesia kebanyakan masih menganut nilai tradisional di mana laki-laki adalah yang paling layak menjadi pemimpin baik di rumah tangga, apalagi di ruang publik semacam parlemen.

Kedua, Indonesia tidak memiliki mekanisme memaksa parpol memenuhi ketentuan 30 persen kuota caleg perempuan dalam daftar caleg mereka. Akibatnya, caleg perempuan akan menghadapi kesulitan, mulai dari menunjukkan hasrat keinginan tampil sebagai caleg, mengikuti proses seleksi, sampai kemudian mendapatkan dukungan pendanaan dalam kampanye dari parpol.

Ketiga, masyarakat akan lebih kritis menilai caleg perempuan ketimbang caleg laki-laki. Mereka akan menilai caleg perempuan tidak hanya harus menampilkan karakter dan keberpihakan terhadap perempuan, tapi juga menilai perempuan harus mampu setangguh dan sekeras caleg laki-laki. Kelebihan dari salah satu karakter akan menyiratkan caleg perempuan lemah.

Keempat, caleg perempuan yang tidak berafiliasi terhadap dinasti politik, organisasi massa, ataupun pemodal besar, akan kesulitan untuk mendapatkan pendanaan dan dukungan. Ini faktor yang harus diubah dalam perpolitikan Indonesia. Perjuangan caleg perempuan miskin dana dan jejaring perlu mendapatkan sorotan lebih dari masyarakat.

Bagaimana cara menyadarkan pemilih perempuan untuk memilih caleg perempuan?

Pertanyaan yang sulit. Sekali lagi kondisi perpolitikan Indonesia saat ini memungkinkan pemilih perempuan untuk terkooptasi secara politik untuk mendukung salah satu pasangan calon (paslon) atau caleg tertentu. Tidak ada yang salah dalam hal ini karena wajar saja paslon atau caleg memobilisasi dukungan dari pihak mana pun yang berpotensi untuk didulang suaranya.

Namun demikian, saya miris melihat retorika menegasikan antara emak-emak dan ibu bangsa misalnya. Ketimbang memunculkan polarisasi semacam ini ke afiliasi politik tertentu, mengapa energi pemilih perempuan dialihkan untuk lebih mengkritisi pilihan-pilihan mereka.

Pendidikan politik perempuan harus mampu mencapai level akar rumput perempuan. Organisasi-organisasi seperti Kaukus Perempuan Politik Indonesia, baik terafiliasi parpol, lembaga swadaya masyarakat, ataupun riset, sudah bergeliat untuk urusan tersebut. Contohnya, Organisasi Kemitraan Pembelajaan Perempuan telah menerbitkan Panduan Partisipasi Politik untuk Perempuan yang secara rinci menggambarkan agenda aksi untuk mencerahkan perempuan Indonesia untuk berpolitik. Ini modal besar untuk menyadarkan pemilih perempuan untuk memilih caleg perempuan. Namun, penyampaiannya ke masyarakat tampak mengalami kendala. Menjelang pilpres/pileg inilah kesempatan organisasi-organisasi pendidik perempuan berpolitik untuk bergeliat. Caleg perempuan perlu mendapatkan panggung lebih karena panggung bagi mereka sangat terbatas dalam politik bias laki-laki.

Berdasarkan hasil pengamatan dan obrolan dengan caleg perempuan di daerah, mereka mengeluhkan minimnya dana untuk mendorong keberhasilan mereka dalam kampanye. Bagaimana cara para caleg miskin pendanaan tersebut untuk sukses mengantarkan dirinya sampai ke kursi DPR?

Caleg perempuan sebenarnya akan lebih diuntungkan untuk terjun di level daerah ketimbang nasional. Semakin caleg perempuan bisa mendekatkan diri dengan masyarakat, di situlah keuntungan caleg perempuan. Pileg level DPRD kabupaten seharusnya lebih mudah dimenangkan caleg perempuan.

Salah satu pendorong keberhasilan kampanye caleg perempuan adalah model kampanye door to door, menyapa komunitas, ataupun perempuan lainnya. Para caleg perempuan bisa berbicara hati ke hati dengan calon pemilihnya.

Berdasarkan cerita caleg perempuan, newcomer, di pileg utk wilayah Kota Bandung, kendala paling besar adalah modal. Caleg perempuan miskin modal. Oleh karena itu model kampanye andalannya adalah mendekatkan diri dgn pemilih di pelosok kota. Caleg laki-laki kurang memahami urusan perempuan, seperti repotnya mengurus anak ketika harus bekerja. Di sini kunci caleg perempuan membawa agenda ramah perempuan. Ketika berhadapan dengan pemilih laki-laki, caleg perempuan harus juga mampu mengaitkan agenda ramah perempuan untuk menunjang keberhasilan laki-laki. Main di dua kaki judulnya.

Ketidakhadiran pemilih perempuan karena golput akibat tidak suka terhadap dua pilihan capres/cawapres yang tersedia tentu akan berkontribusi terhadap hilangnya potensi suara untuk caleg perempuan karena pemilu hanya berlangsung satu waktu saja.

Dari masa ke masa tingkat kesuksesan caleg perempuan memasuki gedung DPR-RI masih di bawah kolega laki-laki mereka. Bagaimana halnya dengan tingkat kesuksesan caleg perempuan di level daerah. Bila lebih banyak kesempatannya di daerah, mengapa demikian?

Kebanyakan caleg perempuan yang masuk gelanggang DPR-RI memiliki kepercayaan diri kuat. Antara lain latar belakang politik dinasti, sejarah berorganisasi, aktivis, pebisnis, ataupun mantan pejabat di level nasional ataupun daerah. Sehingga caleg-caleg perempuan debutan atau rookie akan kesulitan mendapatkan suara bila memang mereka tidak memiliki agenda bombastis yang sama sekali tida dimiliki oleh petarung perempuan lainnya untuk merebut jatah kursi yang sama.

Agenda bombastis harus didukung parpol yang notabene mesinnya berjalan satu komando berdasarkan platform bersifat nasional. Sangat kecil kemungkinan caleg perempuan apalagi baru untuk berhasil menjual dirinya untuk kemudian dipilih. Faktor kedua adalah minimnya liputan terhadap caleg perempuan oleh media nasional karena media bias terhadap calon-calon yang tidak kelihatan bisa dijual. Maka tidak aneh, para caleg perempuan yang diundang media adalah yang masuk dalam kategori berani bersuara lantang bahkan berdebat kusir sekalipun dengan caleg laki-laki.

Caleg perempuan akan lebih sukses berlaga di daerah bila mereka diberikan kesempatan menjadi dirinya bukan siapa di belakangnya. Namun ini sekali lagi membutuhkan dorongan besar dari parpol utk mendanai dan mempopulerkan kandidatnya. Munculnya caleg perempuan dari latar belakang penjual jamu misalnya sangatlah mungkin berlaga di daerah karena mereka unik. Parpol seharusnya mengedepankan kandidat dengan latar belakang seperti ini. Tapi, ya, kenyataan masih jauh sepertinya.

Ambisi berpolitik perempuan dapat ditumbuhkan melalui partisipasi mereka sejak kecil dalam aktivitas olahraga yang kompetitif ataupun dorongan keluarga untuk menumbuhkan iklim diskusi politik sedari dini mulai dari rumah (Lawless and Fox 2014). Bagaimana peran keluarga di Indonesia dalam mendukung semangat berpolitik anak-anak mereka?

Studi Lawless dan Fox (2013) mengatakan bahwa 50 persen ambisi politik seorang anak perempuan dapat dibangun sejak kecil dari keluarga. Cerita caleg perempuan dari Bogor yang mencalonkan diri untuk DPRD Provinsi Jabar sejalan dengan itu karena memang ibunya aktivis salah satu parpol. Diskusi politik di rumah akan menimbulkan hasrat anak untuk tertarik dengan politik. Mereka belajar bahwa untuk mengubah sesuatu untuk kebaikan masyarakat dalam demokrasi adalah melalui politik. Begitu mereka masuk bangku sekolah, dorong merek terlibat organisasi ataupun kegiatan olahraga yang bersifat kompetitif. Studi tersebut setidaknya menunjukkan perempuan-perempuan ini di masa depan paling potensial untuk berkiprah di politik.

Belakangan ajakan untuk golput dalam Pilpres semakin besar di tengah masyarakat, apakah golput dalam Pilpres akan memengaruhi suara kemenangan legislatif perempuan?

Golput akan berpengaruh besar terhadap kemenangan legislatif perempuan. Pertama, perempuan sangatlah minim terekspos politik. Banyak dari mereka menganggap politik adalah dunia laki-laki sehingga banyak anggapan bahwa ranah mereka hanyalah seputar urusan dapur (rumah tangga). Berangkat dari pemahaman seperti ini, tentu akan lebih banyak pemilih perempuan untuk golput dalam pilpres.

Kedua, perempuan menggunakan hati dan logika ketika memilih. Perempuan akan berpikir panjang terhadap keluarganya ketika memilih. Pertarungan demikian keras dan terkadang membuat ikatan kekerabatan menjadi renggang bahkan putus membuat perempuan muak dalam politik. Ketika pilihan mereka terlihat tidak mewakili kehidupan mereka, tentu mereka menjadi apatis dan kemudian golput.

Ketiga, kecenderungan paslon memanfaatkan emak-emak/ibu bangsa dalam setiap kampanye tentu merupakan pertimbangan strategis penggalangan suara. Namun demikian, apakah terdapat jaminan bahwa suara perempuan akan tersalurkan ataupun dibela ketika memang partisipasi perempuan mendukung salah satu paslon berakhir pada penahanan atau dakwaan pelanggaran. Keberpihakan paslon, parpol, ataupun organisasi terafiliasi parpol mengadvokasi perempuan dalam berpolitik masih dipertanyakan. Melihat contoh yang ada, bisa jadi perempuan semakin tidak berselera untuk berbondong-bondong datang ke bilik pemilihan.

Semua faktor di atas memperbesar kemungkinan perempuan untuk golput dalam pilpres. Namun perlu kita sadari bahwa dalam alam demokrasi, di mana harga satu suara akan dapat menentukan nasib bangsa ke depan, keputusan golput pemilih perempuan akan mencederai kemungkinan lebih banyak perempuan terwakili dalam legislatif. Perlu diingat bahwa pemilu kali ini adalah pemilu serentak, tidak hanya memilih presiden/wakil presiden, namun juga memilih caleg dari mulai level nasional sampai daerah. Ketidakhadiran pemilih perempuan karena golput akibat tidak suka terhadap dua pilihan capres/cawapres yang tersedia tentu akan berkontribusi terhadap hilangnya potensi suara untuk caleg perempuan karena pemilu hanya berlangsung satu waktu saja.

Ilustrasi oleh Sarah Arifin

Caesar Abrisam adalah seorang transpria. Baginya, jalan-jalan, makan, dan bertemu komunitas merupakan healing. Kadang jadi desainer, kadang jadi artivis. Pecinta Buzz Lightyear dan sate.