Women Lead Pendidikan Seks
October 12, 2020

Menciptakan Ruang Online yang Aman bagi Anak Perempuan

Anak perempuan berhak atas kesempatan yang setara dalam beropini dan mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan.

by Vivi dan Nazla Mariza
Community
Share:

Setiap tahunnya, di tanggal 11 Oktober, dunia merayakan Hari Anak Perempuan Internasional. Momentum ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa anak perempuan memiliki hak termasuk hak berekspresi. Sama halnya dengan anak laki-laki, anak perempuan berhak atas kesempatan yang setara dalam beropini di media apa pun dan mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan daring (online).

Dengan kemudahan akses internet saat ini, media sosial menjadi wadah komunikasi utama bagi anak perempuan dalam berinteraksi, beropini dan menyampaikan gagasan. Khususnya di masa pandemi COVID-19, aktivitas daring anak-anak meningkat untuk keperluan belajar, berinteraksi dan bermain. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), penggunaan internet meningkat hingga 40 persen di masa pandemi, termasuk pada anak-anak untuk media belajar.

Penggunaan internet oleh anak perempuan mayoritas untuk mengakses media sosial. Data dari Plan International menunjukkan bahwa anak perempuan pengguna internet di Indonesia, 99 persennya mengakses media sosial. Dan, mereka sangat sering menggunakannya untuk posting dan berkomentar melalui WhatsApp, Facebook, dan Instagram,.

Intensitas berselancar di media sosial ini memberikan kemudahan khususnya di masa COVID-19, tapi juga menambah risiko terhadap kekerasan daring. Semakin tinggi anak-anak menggunakan media sosial, semakin terpapar pada risiko kekerasan daring. Pasalnya, semua orang dapat mengakses media sosial, tanpa ada batasan, termasuk penyerang dan pelaku kekerasan. Kita belum sepenuhnya terlindungi di dunia maya, namun aktivitas daring sudah sangat intens dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan anak perempuan sehari-hari.

Risiko Kekerasan Gender Berbasis Online

Di sini anak perempuan menjadi sangat rentan terhadap kekerasan khususnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). KBGO adalah aksi kekerasan secara daring yang dilakukan satu orang atau lebih kepada orang lain dengan menyerang identitas gender atau seksualnya, atau dengan memaksakan norma gender. KBGO biasanya dalam bentuk ancaman kekerasan dan pelecehan seksual, pelanggaran data pribadi seperti penyebaran foto dan video, pengawasan (stalking), ejekan atau perundungan (bullying), perusakan reputasi, penghinaan fisik (body shaming), ujaran kebencian, bahkan serangan.

Lebih dari setengah anak perempuan yang menjadi responden survei Plan Internasional mengaku pernah mengalami KBGO atau mengetahui anak perempuan lainnya yang pernah mengalami KBGO. Mayoritas KBGO terjadi pada usia 15-20 tahun, walau ada juga yang mengalaminya di usia 8 dan 12 tahun. Pelaku umumnya menyerang identitasnya sebagai anak perempuan maupun konten yang diangkatnya. Jenis KBGO yang paling banyak dialami anak perempuan di Indonesia adalah ancaman kekerasan seksual. Ini jelas mengganggu kenyamanan dan keamanan anak perempuan di ranah daring.

Apabila anak perempuan mengalami KBGO secara terus-menerus, mereka akan tertekan, rendah diri, mengisolasi dirinya dan kehilangan jati dirinya. Bahkan secara jangka panjang, KBGO dapat membungkam suara dan kesempatan anak perempuan untuk maju.

Mirisnya, media sosial seharusnya menjadi wadah efektif untuk berekspresi dan tempat bagi anak perempuan untuk menjadi dirinya sendiri, tapi juga menjadi wadah bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk mempermalukan, mencemarkan nama baik seseorang, sampai melakukan pelecehan seksual.

Sering kali kita mendengar kutipan tentang menghargai kebebasan berekspresi (freedom of speech) sebagai dasar pertimbangan membuat kode etik di situs atau aplikasi media sosial. Namun ketika pelanggaran terjadi, sering kali tidak ada yang bertanggung jawab. Korban tidak mengetahui kelanjutan dari pelaporannya secara daring. Pelaku yang seharusnya menjadi subyek hukum sering kali anonim, tidak tersentuh hukuman, jadi seakan-akan kebal hukum. 

Jika ini terus dibiarkan, KBGO bisa membentuk budaya media sosial yang destruktif dan merugikan banyak pihak. Ini bisa menjadi budaya karena terlalu sering terjadi, masif, tidak terkontrol sehingga dianggap wajar atau normal. Kejahatan online sulit dilacak dan diatasi karena ketika perkataan, informasi dan data sudah masuk ranah daring, akan sulit dikontrol penyebaran. KBGO semakin sulit diatasi di negara yang belum memiliki mekanisme pelaporan dan penindakan yang tegas, transparan dan efektif terhadap pelaku kekerasan online.

Tantangan ini semakin berat pada kondisi di mana pengguna media sosial belum memahami KBGO dan dampaknya, seperti membagi identitas atau data pribadi secara ceroboh yang kemudian disalahgunakan. Pemahaman penegak hukum terhadap KBGO dan sensitif gender juga penting untuk mengatasi KBGO. Jika tidak, akan terjadi respon klise yang menyepelekan kasus kekerasan gender atau cenderung menyalahkan korban.

Semua orang yang berselancar di ranah daring rentan terhadap KBGO, khusunya perempuan yang 27 kali lebih sering mengalami kekerasan daring bahkan sejak usia 15 tahun. Yang mengkhawatirkan, beberapa anak perempuan yang disurvei oleh Plan International bahkan belum sadar bahwa mereka mengalami KBGO dan belum paham tentang KBGO. Sehingga penting meningkatkan kesadaran perempuan sejak usia remaja tentang resiko KBGO dan memahami upaya perlindungan diri termasuk berhati-hati membagi dan menyimpan informasi dan data.

Perlindungan bagi anak perempuan dari KBGO

Hari Anak Perempuan Internasional ini menjadi momentum yang tepat untuk mengingatkan bahwa ada sekitar 45 juta anak perempuan di Indonesia yang perlu didukung suara dan aspirasinya. Namun ketika bersuara termasuk di ranah daring, seringk ali anak perempuan terancam seperti ancaman KBGO yang berdampak serius terhadap kesehatan mental mereka. Padahal kebebasan berekspresi di media apa pun termasuk di ranah daring (rreedom online) adalah kebebasan setiap individu yang diatur dalam deklarasi HAM PPB, Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Dasar.

Freedom online atau kebebasan online adalah kondisi di mana setiap individu bebas berpendapat, berekspresi, dan menjadi diri sendiri di ranah daring tanpa mendapat ancaman dan harus disertai tanggung jawab dengan tidak mengganggu hak dan privasi orang lain. Sama halnya dengan anak perempuan yang mempunyai hak untuk berpendapat dan mengekspresikan dirinya untuk memaksimalkan potensi diri tanpa ancaman kekerasan.

Perlu upaya serius dari berbagai pihak untuk mengatasi KBGO karena memberikan dampak negatif yang serius bagi korban sama halnya dengan kekerasan fisik di ruang publik dan domestik. Kesadaran semua pihak mulai dari pengguna media sosial lainnya, perusahaan media sosial, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil penting untuk memastikan ruang berekspresi yang aman di ranah daring khususnya bagi anak perempuan, dan perlindungan dari KBGO.   

Masyarakat sebagai pengguna media sosial penting untuk peduli dengan isu KBGO dan menyebarkan konten-konten positif melalui media sosial mereka. Menciptakan ekosistem aman dan sehat di ranah daring adalah tanggung jawab semua warga media sosial serta saling mendukung dan mengedukasi. Edukasi untuk bijak dalam menggunakan media sosial merupakan kunci untuk mencegah KBGO. Kesadaran untuk menghargai orang lain dalam bermedia sosial harus ditumbuhkan dari dalam diri sendiri. Freedom online bukan hanya perihal kebebasan berpendapat namun juga saling mengedukasi untuk saling memahami.

Perusahaan media sosial juga perlu lebih serius menangani KBGO. Melalui aplikasinya, perlu adanya jaminan keamanan bagi pengguna aplikasi yang ramah anak perempuan. Jaminan keamanan melalui fitur termasuk moderasi konten yang ketat, mekanisme pelaporan yang efektif dan ramah anak serta penerapan sanksi tegas bagi pelaku. Selain itu, penting adanya data segregasi berdasarkan gender dan usia untuk melihat cakupan KBGO terhadap anak dan kaum muda perempuan

 Organisasi masyarakat sipil juga berperan penting untuk mencegah KBGO. Beberapa upaya yang dapat dilakukan seperti mengedukasi dan memfasilitasi diskusi tentang hak berekspresi online dan risiko KBGO, menyuarakan isu KBGO serta menjadi pendamping atau wadah yang aman bagi anak dan kaum muda perempuan dalam menghadapi dan melaporkan KBGO. Sehingga anak merasa lebih aman dengan mengetahui bahwa ada lingkungan yang mendukung mereka.

Pemerintah harus menegakkan payung hukum bagi pelaku dan jaminan perlindungan bagi korban. Beberapa sikap yang diharapkan dapat diambil pemerintah di antaranya: Memastikan kebijakan untuk menjamin akses internet yang inklusif dan aman; memastikan tanggung jawab perusahaan media sosial dan platform pihak ketiga; memastikan implementasi regulasi yang efektif oleh berbagai pihak termasuk penegak hukum; serta proses konsultasi dengan anak dan kaum muda perempuan untuk memahami kebutuhan dan kesesuaian regulasi

Untuk penegak hukum, perlu langkah tegas untuk menindak pelaku KBGO, perlindungan hukum bagi korban KBGO dan menyediakan kontak darurat (help line), keberpihakan pada anak dan kaum muda perempuan yang menjadi korban KBGO tanpa mendiskreditkan korban. Untuk itu, perlu pelatihan bagi penegak hukum tentang KBGO dan penanganannya yang sensitif pada anak dan kaum muda perempuan.

Jika semua pihak mampu bersinergi, akan tercipta suasana yang aman dalam bermedia sosial bagi semua, khususnya bagi anak perempuan.

Vivi adalah pelajar usia 17 tahun dari Kota Bekasi. Nazla Mariza adalah Direktur Influencing Yayasan Plan International Indonesia.