Pertengahan bulan Agustus 2022 lalu, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan memusnahkan pakaian bekas senilai Rp8,5 miliar di Karawang, Jawa Barat. Tindakan tersebut bertujuan untuk menegakkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 yang mencakup tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang impor. Dalam aturan tersebut tertera bahwa salah satu jenis barang yang dilarang untuk diimpor adalah pakaian bekas.
Aturan mengenai larangan impor pakaian bekas sebenarnya sudah ada sejak tahun 2015. Namun realitanya, bisnis pakaian bekas (thrift shop) justru semakin populer di kalangan masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aturan mengenai larangan impor pakaian bekas tidak efektif.
Pemusnahan pakaian bekas yang dilakukan oleh Zulkifli – dengan alasan potensi penyebaran jamur yang berbahaya bagi kesehatan dan menjaga industri tekstil dalam negeri – mendapat respons beragam dari berbagai kalangan. Ada pihak yang sepakat dengan langkah tersebut, namun ada pula pihak yang beranggapan bahwa impor pakaian bekas tidak perlu dilarang karena keberadaannya memiliki berbagai keuntungan bagi masyarakat.
Tulisan ini diterbitkan dalam laporan berkala Update Indonesia dari The Indonesian Institute, menunjukkan sejumlah alasan mengapa thrift cloth perlu dibela.
Baca juga: Saat Bisnis 'Thrift Shop' Digoyang Larangan Impor Baju Bekas
Fast Fashion Jadi Ancaman
Sebagai salah satu bagian dari industri pakaian, fast fashion – mode bisnis fesyen yang dikembangkan secara cepat, murah, dan massal – mengalami perkembangan yang signifikan di Indonesia dan dunia. Pasar fast fashion diperkirakan akan tumbuh menjadi US$133,43 miliar (Rp2.024 triliun) pada tahun 2026, dengan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 7,7 persen.
Padahal, fast fashion memiliki dampak buruk pada proses pemanasan global. Limbah yang dihasilkan selama produksi fast fashion dibuang ke sungai atau laut dan menyebabkan pencemaran yang berbahaya bagi keberlangsungan hidup makhluk yang tinggal di dalamnya. Produk fesyen yang sudah tidak dipakai/diminati lagi juga akan dibuang dan menjadi sampah yang sangat sulit didaur ulang.
Kondisi di atas tidak sesuai dengan target pembangunan berkelanjutan (SDGs) butir 12 dan 13 mengenai konsumsi berkelanjutan dan aksi untuk memerangi perubahan iklim. Oleh sebab itu, thrift shop menjadi salah satu alternatif dalam membeli pakaian di tengah masifnya perkembangan fast fashion.
Mengapa Thrift Cloth Makin Laris Manis?
Ada berbagai alasan yang melandasi seseorang memilih untuk membeli thrift cloth. Organisasi pengelolaan sampah waste4change, misalnya, memaparkan sejumlah faktor mengapa orang membeli pakaian bekas.
Pertama, menggunakan thrift cloth artinya kita mengimplementasikan prinsip 3R (reduce/mengurangi, reuse/menggunakan kembali, recycle/mendaur ulang) dengan memanfaatkan kembali pakaian yang masih dalam kondisi baik. Tidak membeli pakaian baru secara tidak langsung dapat mengurangi limbah pakaian. Thrift shopping juga menjadi salah satu cara mendorong ekonomi sirkular.
Kedua, harga thrift cloth lebih murah dan kualitas pakaiannya relatif bagus. Thrift cloth cenderung lebih tahan lama karena telah bertahan satu siklus hidup dari pemilik sebelumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan fast fashion yang cenderung mudah rusak dan melar setelah pemakaian beberapa waktu saja.
Ketiga, thrift cloth memberi kesempatan pada pembeli untuk berekspresimen dengan fashion secara kreatif dan sesuai dengan selera berbusana masing-masing. Sebab, sangat dimungkinkan pakaian yang dijual di thrift shop bukanlah jenis pakaian yang sedang populer di masa tertentu. Namun, hal tersebut justru menjadi tantangan tersendiri bagi pembeli untuk memadupadankan thrift cloth yang mereka temukan.
Baca juga: Bisnis Baju ‘Preloved’ Stabil Selama Pandemi
Keempat, dengan menggunakan thrift cloth, seseorang memiliki kesempatan untuk menemukan pakaian yang unik dan langka.
Berbeda dengan membeli di toko konvensional atau pusat perbelanjaan pada umumnya, pakaian-pakaian yang dijual di sana biasanya diproduksi dalam jumlah banyak, sehingga pembeli berpotensi memiliki pakaian yang sama dengan orang lain. Sementara dengan membeli thrift cloth, sangat kecil kemungkinan bagi seseorang untuk memiliki pakaian yang sama dengan orang lain.
Beberapa alasan tersebut menunjukkan bahwa thrift cloth merupakan bagian dari budaya populer yang sulit dihapus dari masyarakat. Mengkonsumsi thrift cloth selain menjadi salah satu sarana memenuhi kebutuhan untuk tetap fashionable, juga secara tidak langsung dapat menjadi salah satu upaya melakukan pola konsumsi yang bijak, dengan memanfaatkan kembali pakaian bekas yang masih layak pakai.
Membela Thrift Shop
Pembeli thrift cloth bukan hanya masyarakat kelas menengah saja, namun juga kelas atas dan bawah.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa faktor ekonomi bukan satu-satunya motivasi bagi seseorang untuk memilih thrift cloth, namun juga keberlanjutan dan kepuasan terhadap kebutuhan fesyen. Oleh karena itu, kebijakan larangan impor pakaian bekas akan sulit untuk diimplementasikan, sebab thrifting telah menjadi bagian dari budaya populer masyarakat Indonesia dan telah lama menemukan pasar dan peminatnya sendiri.
Walaupun pakaian bekas telah dilarang sejak tahun 2015, nyatanya bisnis thrift shop justru tetap eksis dan semakin meningkat di berbagai daerah, baik itu bisnis dalam bentuk konvensional maupun toko online.
Perdagangan pakaian bekas cukup menjanjikan dari segi keuntungan. Seorang pedagang thrift cloth mengaku dapat mengantongi omzet hingga Rp18 juta tiap bulannya. Bisnis tersebut dijalankan secara daring dengan modal awal yang terbilang minim.
Ini menunjukkan bahwa bisnis thrift cloth dapat menjadi peluang usaha dan sumber penghasilan bagi masyarakat. Membatasi akses masyarakat untuk mendapat pakaian impor baju bekas secara tidak langsung turut membatasi peluang pasar yang dapat diciptakan oleh masyarakat.
Baca juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Muslim
Lebih lanjut, asumsi pemerintah bahwa thrift cloth dapat mematikan produk pakaian dalam negeri perlu ditinjau ulang. Pasalnya, baik thrift cloth maupun pakaian lokal memiliki pangsa pasar masing-masing. Bahkan sering kali pangsa pasar tersebut beririsan satu sama lain. Kebanyakan orang tidak hanya memakai satu jenis pakaian (thrift cloth atau pakaian lokal saja). Ada di antara mereka yang memakai keduanya.
Selain untuk melindungi pakaian lokal, alasan kesehatan juga menjadi salah satu sebab pemerintah melarang impor pakaian bekas. Padahal risiko tersebut dapat diminimalisasi dengan langkah-langkah yang dapat dilakukan baik itu oleh pembeli, penjual, maupun pemerintah.
Langkah ke Depan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan terkait di antaranya.
Pertama, Kementerian Perdagangan perlu meninjau ulang dan memperbaharui aturan mengenai larangan impor pakaian bekas mengingat adanya berbagai hal positif yang dapat didapatkan dari barang tersebut.
Kedua, kedepannya, kementerian tidak perlu memusnahkan pakaian impor bekas yang telah masuk ke Indonesia, apalagi dengan membakarnya. Membakar pakaian dapat menyebabkan polusi udara dan berbahaya bagi kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Daripada membakarnya, ribuan pakaian tersebut – setelah dicek kelayakan, keamanan, dan kebersihannya – akan bermanfaat jika masuk ke pasar (diperjualbelikan) atau disumbangkan pada pihak yang membutuhkan.
Ketiga, dibanding melarang impor pakaian bekas, kementerian sebaiknya lebih menggencarkan proses edukasi agar pakaian tersebut dapat diperjualbelikan secara aman.
Pengembangan metode pemilahan pakaian impor bekas yang aman juga dapat dipertimbangkan untuk memastikan bahwa pakaian bekas yang masuk ke Indonesia benar-benar masih layak pakai.
Keempat, penjual dan pembeli juga harus memiliki kesadaran untuk mencuci terlebih dahulu pakaian bekas yang hendak diperjualbelikan agar pakaian tetap layak pakai dan aman, serta tidak membawa penyakit. Proses pencucian pun perlu dilakukan secara telaten, misalnya dengan merendamnya dalam air panas dan detergen berkali-kali atau metode pembersihan lainnya, agar pakaian bekas tersebut aman untuk dipakai kembali.
Dengan demikian, pakaian-pakaian tersebut dapat dimanfaatkan kembali dan tidak menumpuk menjadi limbah pakaian di Indonesia. Penjual dan pembeli pun akan sama-sama merasakan kebebasan ekonomi. Konsumen dapat bebas memilih dan membeli pakaian yang diinginkan, sedangkan penjual dapat bebas menjual barang yang dianggap menguntungkan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments