Akhir-akhir ini saya gemar mempelajari isu kekerasan dalam pacaran. Bukan karena saya korban atau pelaku tetapi karena sahabat saya adalah korbannya. Sahabat saya ini, sebut saja namanya Adela, baru sekitar enam bulan berpacaran, namun kerugian yang harus ia alami karena hubungan ini bukan hanya terkait fisik, tetapi juga emosi dan finansial.
Saya percaya bahwa setiap orang memiliki gaya berpacaran yang berbeda-beda, dan itu adalah hak masing-masing individu. Namun sebagai sahabat yang mengamati gaya berpacarannya, saya merasa jengkel sekaligus geregetan.
Adela adalah mahasiswi super aktif; dia aktivis kampus, gemar berorganisasi, dan sibuk melakukan riset. Namun ia rela mengurangi kegiatannya hanya karena pacarnya tidak suka jika ia terlalu sibuk, dan tidak suka jika ia terus-terusan bersama teman-temannya. Pacarnya menjelma menjadi pribadi yang tidak punya kehidupan lain selain mengekor Adela. Hampir setiap hari, entah apa pun suasananya pacarnya selalu menghampiri Adela lalu mengajaknya pergi entah untuk makan, atau membantu mengerjakan tugasnya di tempat kos. Adela tidak diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lain, hang out bersama teman atau sekedar menyalurkan hobinya jalan-jalan ke toko buku sendirian. Semua yang dilakukan Adela harus atas kontrol sang pacar, dan Adela melaksanakannya dengan patuh, seolah itu adalah perintah Tuhan yang harus dijalankan. Bahkan Adela harus selalu bohong kepada orang tuanya untuk pergi dengan sang pacar.
Selain pembatasan aktivitas, Adela pun kerap menerima perbuatan yang tidak menyenangkan dari pacarnya, pacarnya sering memakinya dengan kata “goblok” dan “kampret”. Adela terlihat pasrah saja menerimanya, malah senyum-senyum seolah-olah itu ungkapan sayang. Namun, kekerasan verbal itu kemudian berlanjut dengan tindakan fisik. Pada suatu waktu Adela pernah didorong kuat-kuat hanya karena salah memilihkan warna cat rambut. Kejadian ini membuatnya syok, bahwa ternyata pacar yang dianggapnya lembut dan manis ternyata berperilaku kasar.
Adela bercerita kepada saya dengan berurai air mata. Sebagai sahabat saya geram. Saya maki-maki itu pacarnya Adela; saya jelaskan ke Adela bahwa itu sudah masuk ranah kekerasan dalam pacaran. Lalu apa yang dilakukan Adela? Apa ia marah kepada pacarnya? Ngambek? Tidak sama sekali. Adela mengatakan bahwa jika ia marah atau ngambek, maka sang pacar akan berbalik marah. Laki-laki itu akan menuduh Adela membiarkan hubungan ini dalam masalah. Adela tidak mampu mengekspresikan kemarahan dan kesedihannya kepada sang pacar. Emosi itu diendapkannya, dan setelah itu Adela kembali patuh seperti biasa, seolah-olah tidak ada luka yang pernah digoreskan sang pacar kepada hati dan fisiknya.
Selain kerugian fisik dan emosional, Adela juga mengalami kerugian finansial. Setiap hari Adela harus menemani sang pacar makan di luar, dan mau tidak mau ia harus ikut makan. Sebagai mahasiswi yang masih minta uang jajan pada orang tua, hal ini menggerogotinya. Padahal ia bisa menghemat pengeluaran dengan makan di rumah. Adela juga harus mengantar jemput pacarnya setiap hari, padahal sang pacar juga memiliki sepeda motor sendiri.
Kerugian finansial terbesar yang dialami Adela adalah kerusakan sepeda motor miliknya akibat sifat keras kepala pacarnya. Sebagai dua insan yang dimabuk asmara, mereka ingin menikmati hari libur berdua ke luar kota. Sang pacar dengan keukeuh bilang naik motor saja, tentunya motornya Adela. Waktu itu saya menyarankan Adela untuk naik kereta karena lebih aman, dan Adela setuju. Tapi akibat relasi yang timpang dan Adela tidak pernah punya kekuatan untuk melawan, ia manut pada pacarnya. Di tengah perjalanan mereka mengalami kecelakaan. Fisik hanya lecet, namun motor rusak parah. Dengan keadaan begitu mereka masih meneruskan rencana liburan, dan saran saya untuk kembali pulang diabaikan.
Sering kali saya bertanya-tanya mengapa seseorang tetap bertahan dalam hubungan yang jelas-jelas ia tahu merugikan. Beberapa teman saya, korban kekerasan dalam pacaran mengatakan bahwa sangat kompleks untuk bisa bangkit dan meninggalkan hubungan yang merugikan tersebut karena yang bermain adalah perasaan; antara masih cinta tetapi juga tidak ingin lama-lama menderita. Barangkali Adela dan korban-korban kekerasan dalam pacaran lainnya bertahan karena mereka merasa hanya dengan orang tersebut mereka merasakan hubungan emosional, merasa dicintai, merasa dilindungi, dan merasa menjadi bagian penting kehidupan orang lain padahal mereka sadar bahwa hubungan tersebut tidak sehat.
Adela yang sebelumnya merasakan hubungan lintas jarak, bahkan lintas negara, tidak pernah merasakan sosok kehadiran kekasih yang nyata. Ketika lelaki yang menjadi pacarnya saat ini hadir, ia seperti merasa menjalin hubungan sebenarnya, tidak peduli betapa pun meruginya dia. Korban kekerasan dalam pacaran sering kali melakukan penyangkalan bahwa pacarnya akan berubah, bahwa pacarnya tidak seperti itu, dan penyangkalan-penyangkalan yang lain yang membuat dia tetap merasa baik-baik saja meski telah dirugikan.
Kekerasan dalam pacaran menurut saya harus dilawan, bukan dengan berkoar-koar namun dengan cara mengedukasi kepada orang-orang yang tidak tahu, dengan cara melakukan kesepakatan bagi yang pacaran. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Karena tidak ada yang berhak mengatur tubuh dan perasaan kita. Selayaknya manusia biasa, masing-masing dari kita memiliki rutinitasnya sendiri, tidak perlu diintervensi apalagi hanya karena status pacar, yang kadang kontribusinya dalam hidup kita tidak begitu berarti. Karena tubuh dan perasaan kita bukanlah milik pacar kita, namun milik kita sendiri yang wajib hukumnya kita cintai secara penuh.
Feti Fajriyatin adalah mahasiswi Sosiologi semester akhir; perempuan penakut yang bercerita lewat kata sebagai salah satu cara merayakan keresahan.
Comments