Sejak SMA saya suka mengamati kisah cinta sejumlah pesohor, entah pesohor itu idola saya atau bukan. Walaupun kisah cinta Britney Spears dan Justin Timberlake sudah usang, mereka tetap menjadi pasangan favorit saya untuk waktu yang cukup lama. Memasuki tahun pertama kuliah, saya masih tetap menganggap mereka pasangan yang ideal. Pemujaan ini baru berhenti ketika saya, pada tahun ketiga, menemukan idola baru saya, aktris Perancis Marion Cotillard.
Di mata saya, Cotillard adalah sosok yang luar biasa. Dia aktris yang berbakat, model yang elegan, dan perempuan dengan semangat yang menyala. Di luar kehidupannya sebagai aktris profesional, saya juga tertarik mengamati kehidupan pribadinya.
Kali pertama menonton film Love Me If You Dare (2003), saya terus berpikir betapa kuatnya chemistry dia dengan Guillaume Canet. Selesai menonton film itu, saya kemudian mencari tahu tentang keduanya. Layaknya banyak penggemar, ketika tahu ternyata mereka memang menjadi pasangan di dunia nyata, saya girang. Waktu itu saya sangat senang karena keduanya sedang menanti kelahiran anak pertama mereka (sekarang mereka sudah punya dua anak).
Pada tahun-tahun itu pula, saya sedang rajin berselancar di internet supaya tidak ketinggalan informasi apa pun tentang Cotillard. Saya tak ingin melewatkan proyek terbarunya, entah itu berbentuk film, wawancara, atau iklan. Saya masuk ke forum-forum yang menyediakan kanal untuk gosip internasional demi terhubung dengan sesama penggemarnya dan mengunjungi blog-blog yang menulis kiprahnya. Namun, tidak semua forum dan blog itu berisi hal-hal yang menyenangkan. Di berbagai blog, saya menemukan orang-orang yang menyoroti sisi buruk Cotillard.
Para pengkritik Cotillard sering mencibir keputusannya untuk berpasangan dengan Canet. Di mata mereka, Canet sama sekali bukan mitra yang seimbang dan sudah seharusnya ditinggalkan. Tidak jarang pula publik Perancis mencemooh lelaki ini lantaran aktingnya dianggap tak secemerlang Cotillard. Mereka menganggap Canet sebagai parasit karena sering mendompleng nama besar kekasihnya.
Baca juga: Kumpul Kebo sampai TTM: Dilema Relasi Tanpa Nama
Tak cukup dengan menyerang Canet, mereka juga menganggap Cotillard bodoh lantaran mau punya anak tanpa dinikahi. Dalam bahasa yang kasar, mereka menyebut Cotillard hanya sebagai wadah untuk menampung sperma Canet. Cemoohan yang saya pikir sangat menyakitkan karena mengobjektifikasi perempuan. Meski Cotillard dalam sebuah wawancara pernah mengaku dirinya bukan seorang feminis, saya pikir cemoohan itu tetap tak pantas diterimanya. Pengkritiknya seolah-olah memosisikan dia sebagai perempuan yang tak punya kuasa dan tidak bisa menerima bahwa memang itulah konsep hubungan yang Cotillard inginkan.
Cotillard bukan satu-satunya aktris yang diserang sebagai “wadah sperma”. Sesama aktris Perancis Vanessa Paradis pun mengalami hal yang sama. Selama 12 tahun hidup bersama Johnny Depp, para pembenci menganggap sang penyanyi ibarat pelacur karena mau punya anak tanpa menikah.
Padahal, jika para pengkritik ini mau berpikir lebih mendalam tentang kompleksitas batin manusia, saya yakin mereka tidak akan asal menghakimi pilihan hidup para pesohor tersebut. Pernikahan tentu saja memiliki sejumlah manfaat hukum bagi pasangan, namun mereka lupa (atau mungkin abai?) bahwa pernikahan dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Konsep cinta bagi setiap orang tidaklah sama, dan hanya karena dua orang yang sudah dewasa memilih tidak menikah, bukan berarti mereka lantas tidak memiliki rasa hormat dan tidak tahu cara menghargai pasangannya.
Tak jarang saya melihat orang kemudian menganggap pernikahan sebagai satu-satunya bukti cinta dan hormat. Rasa hormat dan cinta terhadap seorang perempuan ditentukan dari apakah pasangannya mau menikahinya atau tidak; dan jika tidak, malang sekali nasib perempuan ini. Penghakiman ini mereka lakukan tanpa mempertimbangkan kualitas hubungan yang dijalani dua orang itu.
Bisa jadi hidup bersama tanpa menikah membuat pasangan merasa membebaskan, saling memberi ruang, dan tidak selalu bergantung pada partner mereka. Bisa jadi hidup bersama membuat mereka sadar menghadapi konsekuensi bahwa setiap saat pasangan mereka atau diri mereka dapat berubah.
Bisa jadi hidup bersama tanpa menikah membuat mereka saling membebaskan, saling memberi ruang, dan tidak selalu bergantung pada partner mereka. Bisa jadi hidup bersama membuat mereka sadar menghadapi konsekuensi bahwa setiap saat pasangan mereka atau diri mereka dapat berubah. Bisa jadi mereka punya pandangan bahwa menikah tidak selalu memberikan keadaan yang stabil dan pasti. Lalu mereka berpikir, “Mengapa harus menikah jika kita sudah merasa bahagia, lengkap, dan mampu bertanggung jawab?”
Meski saya bisa menerima pilihan orang untuk hidup bersama tanpa menikah, saya juga tidak otomatis sepakat bahwa hubungan ini pasti ideal; apalagi jika konsep hubungan itu seperti hubungan Simone de Beauvoir dan Jean Paul-Sartre. Tanpa menikah, mereka sepakat menamai hubungan mereka sebagai cinta yang autentik. Mereka membuat kesepakatan untuk bisa jujur dalam hal apa pun, termasuk menceritakan hubungan masing-masing dengan orang lain tanpa ada rasa cemburu. Walaupun De Beauvoir kemudian tidak bisa lagi menerapkan gagasan “cinta yang membebaskan” ini dan dia menuangkan kecemburuannya dalam karyanya. Tapi, bukankah cintanya pada Sartre tetaplah cinta?
Saya menemukan konsep cinta yang ideal dalam hubungan penyanyi Shakira dan pasangannya, Gerard Pique. Dalam sebuah wawancara pada Januari lalu, Shakira bilang dia tak ingin menikah karena lebih suka partnernya melihatnya sebagai pacar daripada sebagai istri. Ketika dia mengatakan hal ini, saya pikir dia merujuk pada pandangan sebagian orang yang menganggap menikah adalah kemapanan; seolah-olah menjadi istri atau suami seseorang berarti menerima diri orang itu selamanya, bahkan ketika mereka melakukan hal-hal buruk (dan pemahaman ini dianut banyak orang).
Dia juga menegaskan bahwa hubungannya dengan Pique akan bertahan tergantung dari tingkah laku masing-masing. Selama menonton wawancara itu, saya melihat tak sedikit orang yang menghakimi jawabannya dari sudut pandang finansial. Mereka menganggap Shakira tak ingin menikah karena ingin menyelamatkan kekayaannya yang jumlahnya jauh lebih besar daripada kekayaan Pique.
Baca juga: Pelajaran Berharga dari Hidup Bersama di Usia 19
Saya tidak melihat jawabannya adalah bentuk keegoisan dalam finansial, melainkan justru sebagai sikap realistis sekaligus kemandirian. Realistis bahwa cinta tanpa upaya bisa saja padam; realistis bahwa tingkah laku yang tak bertanggung jawab bisa saja menghancurkan hubungan; realistis bahwa prinsip dan pandangan pasangan bisa saja berubah dan membuat dua orang itu tidak lagi bersama; dan realistis bahwa mandiri secara finansial bisa menyelamatkan harga diri masing-masing dalam hubungan yang tak lagi sehat.
Di negara dengan kultur yang konservatif seperti Indonesia, hidup bersama tanpa menikah tentu menjadi keputusan yang hanya akan menyulitkan diri sendiri, apalagi jika pasangan itu sampai punya anak. Sebagian masyarakat Indonesia memandang cinta adalah rasa hormat yang dibuktikan dengan menikah. Perempuan yang dinikahi dianggap lebih terhormat daripada yang ditiduri lalu ditinggal. Pola pikir misoginis ini jugalah yang kemudian membuat banyak perempuan merasa dirinya tidak lagi berarti sebagai manusia.
Entah memilih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau tetap menikah, patut diingat bahwa landasan penting (tetapi bukan segalanya) adalah cinta. Cinta dalam sebuah hubungan pun bukan sekadar syarat di awal yang lantas terabaikan begitu saja. Ini perlu dipertahankan lewat upaya, adanya kesamaan prinsip dan pandangan, serta ruang untuk mengembangkan diri.
Jangan sampai memutuskan menikah karena tuntutan sosial atau pencapaian semata atau perasaan ada yang kurang bila tidak melakukan hal tersebut. Buat apa menikah bila hal yang terpenting, kualitas hubungan pasangan sendiri, tidak terjaga dan nantinya gagal juga?
Hidup bersama pun bukan perkara sepele. Ini hanya ideal dilakukan oleh dua orang yang benar-benar memahami arti tanggung jawab, termasuk tanggung jawab ketika hubungan itu ternyata harus berakhir.
Comments