Women Lead Pendidikan Seks
June 23, 2014

Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998

Sementara beberapa daerah di Jakarta diselimuti api dan para penjarah merajalela, seorang mantan wartawan ini ada di jalanan dan meliput berita, meski identitasnya yang keturunan etnis Cina membuatnya target empuk di tengah keramaian.

by Sensen Gustafsson
Issues // Politics and Society
Share:

”Eh.. Cina ya…Cina nih.. kamu Cina kan??” begitu teriakan yang terdengar beberapa kali dan ditujukan kepada saya di hari-hari 13-14 Mei 1998.
 
Teriakan ini tak jarang bernada ancaman. Ketegangan rasanya merayap di pembuluh darah saya. Dengan kacamata hitam lebar, topi, dan rompi bertuliskan Wartawan Forum Keadilan, saya seakan memiliki tameng pelindung. Begitu juga beberapa teman jurnalis dan fotografer yang berkeliling bareng dan saling melindungi. Di dada saya, terkalung kartu identitas: Sen Tjiauw, Majalah Forum Keadilan.
 
Andaikata tidak ada embel-embel Forum Keadilan atau status wartawan, boleh jadi saya sudah menjadi bulan-bulanan seperti kebanyakan perempuan-perempuan Cina yang lain. Tapi tentu saja adalah usaha bunuh diri bagi kebanyakan orang, terutama keturunan Cina, untuk memutuskan berjalan keliling kota melihat dan mencatat kekacauan di hari-hari itu.
 
Menengok kembali ke tiga hari tersebut di masa lalu layaknya seperti mimpi buruk. Mimpi buruk yang ditandai oleh pecahnya kerusuhan dan kemarahanan rakyat atas penembakan mahasiswa  Trisakti. Kekerasan terjadi di daerah Senayan, Slipi, Grogol d Jakarta Pusat dan Barat.
 
Ketika meletusnya kerusuhan di sekitar Trisakti dan Universitas Tarumanegara, saya dan beberapa kawan ikut lari pontang-panting mencari tempat aman. Gas air mata yang ditembakkan memerihkan mata, belum lagi suara tembakan di sana-sini dan lemparan batu. Saya ikut memunguti longsongan peluru-peluru kosong untuk dibawa pulang.
 




Saya juga menghadiri prosesi penghormatan terakhir kepada empat mahasiswa Trisakti yang menjadi martir tertembus peluru-peluru tajam tentara. Dan mimpi terburuk itu yang menjadi kenyataan.Tak berapa lama, Indonesia pun bergolak. Di berbagai kota besar, kemarahan atas aksi brutal tentara memicu demonstrasi dan kekacauan.
 
Dengan pengalaman 4-5 tahun sebagai jurnalis yang relatif muda di lapangan, ketika itu, ketakutan saya sangat minim.  Dua tahun sebelumnya, saya  pernah meliput kerusuhan 27 juli 1996 di kantor PDI-P meledak di Jakarta. Sudah berpengalaman menghadapi aparat keamanan dan demonstran yang marah dan gelisah, begitu juga dengan gas air mata. Saya tahu cara menghadapi gas air mata yang ditembakkan dengan air minum dan odol yang dioleskan di kantong mata.
 
Sebagai wartawan, hari-hari kami habiskan di jalanan dan pulang ke kantor sebentar untuk berkoordinasi dengan sejawat lain. Lalu entah itu dengan bermotor bersama fotografer atau diantar supir kantor, kami berusaha menembus blokade-blokade jalan untuk mengetahui apa yang terjadi di Jakarta saat itu.
 
Saya ingat, bersama fotografer almarhum Krus Haryanto, kami merayap ke daerah Jakarta Barat, Jembatan Besi, Jelambar dan sekitar Jakarta Barat - kepulan asap menghitamkan udara Jakarta.
 
Saya bergabung dengan beberapa wartawan foto di sekitar Glodok dan Harmoni dan kemudian berhadapan dengan gerombolan yang tengah menjarah satu toko buah di Harmoni. Satu lelaki yang membawa kardus buah tiba-tiba menatap saya yang berada di sisi jalan. Ia tidak berkomunikasi saat itu dan tiba-tiba menyodorkan apel ke arah saya. Dengan rasa takut dan dada bergetar, saya tolak tawaran dia. Seolah ia ingin menawarkan persekongkolan.
 
Di sudut jalan itu, terngiang seruan-seruan yang diarahkan kepada saya: ”eh.. Cina ya…, kamu Cina kan..!” Saya tak berani menjawab. Yang bisa saya lakukan adalah menunjukkan kartu identitas besar yang terkalung di dada saya.  Saya tak ingat lagi, siapa-siapa saja fotografer yang meliput bersama pada saat itu. Yang pasti, tanpa mereka, akan lain ceritanya.
 
Hari-hari itu, rasanya sulit menjelaskan perasaan saya sebagai warga negara Indonesia. Bagaimana menyaksikan keberingasan kelompok orang yang berbondong-bondong entah dari mana. Ketika kami berdiri di atas jembatan penyeberangan di sekitar Harmoni, kami menyaksikan suasana yang semula senyap dan menegangkan, dihiasi kabut asap dan udara menyengat dari ban yang dibakar di tengah jalan, tiba-tiba berubah menjadi ajang pesta penjarahan. Dari ujung-ujung gang, bermunculan berbagai gerombolan liar.
 
Dan kami—entah insting atau apa—hanya menunggu, pasti akan terjadi sesuatu. Pertanyaan besar masih menggantung sampai hari ini, dari mana gerombolan-gerombolan liar ini didatangkan. Saya mencoba mengingat-ngingat lagi perasaan kala itu, ketika menyaksikan showroom-showroom mobil di sekitar jalan Harmoni-Kota berubah menjadi ladang api, dan rasanya sesak di dada penuh kesedihan.
 
Tidak hanya para korban jarahan, rampokan dan kebrutalan yang merana. Seorang teman baik, yang kini menjadi pemimpin redaksi sebuah koran, seolah linglung selama berhari-hari. Apa yang kami saksikan dan kami catat saat itu begitu membuncah, melebihi kapasitasnya. Namun, begitu beruntungnya kami, wartawan-wartawan politik-hukum, yang biasa turun di lapangan, selalu kompak dan bahu-membahu. Kami mendukung satu sama lain, termasuk saling menenangkan.
 
Kami mendukung tokoh seperti Amien Rais—yang kemudian disebut-sebut sebagai Bapak Reformasi. Bagaimana kami mengutipnya, menulis komentarnya dan beramai-ramai menjagokannya. Boleh jadi, banyak yang kini menyesal karenanya. Ternyata Amien tak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya.
 
Saya pernah mendapat tugas mewawancarai seorang ayah muda yang kehilangan istri dan dua anak mereka yang masih kecil-kecil, karena ruko yang mereka diami luluh-lantak di Kelapa Gading, Saya rasanya masih bisa mengingat dan merasakan debu dan luntuh-lantak bangunan ruko mereka, ketika diajak sang ayah, menelusuri ruang-ruang tak  berbentuk itu, dengan tangis yang tercekat. Entah bagaimana nasib si ayah itu sekarang. Hampir pasti, dia tak akan melihat Indonesia seperti dulu lagi.
 
Beberapa bulan setelah tragedi Mei, saya sempat terbang ke Pontianak, sedianya untuk bertemu sejumlah perempuan korban perkosaan. Usaha kami bisa dibilang gagal, karena tidak ada yang berani bercerita dalam trauma dan ketakutan yang masih nyata.
 
Setelah 16 tahun berlalu, tragedi Mei masih menjadi misteri. Tidak pernah ada pertanggungjawaban yang nyata dan tegas terhadap para korban kerusuhan. Negara jelas-jelas menelantarkan rakyatnya.
 
Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan bahwa tentara telah melakukan pembiaran terharap chaos yang terjadi, sehingga ada alasan untuk mengambil alih kekuasaan. Nursyahbani Katjasungkana, salah satu anggota TGPF, menyebutkan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin yang Pangdam Jaya  saat itu juga mesti diminta pertanggungjawabannya. Pertemuan 14 Mei di Makostrad yang menurut TGPF dapat mengungkap dengan jelas aktor intelectualis kerusuhan Mei dan  motif dibelakangnya.
 
Beberapa tahun kemudian, Nursyahbani menyesalkan sekali bahwa empat Presiden pasca reformasi tak satupun mampu menindaklanjuti rekomendasi TGPF itu terutama soal rehabilitasi dan kompensasi untuk korban. Mereka malah distigma sebagai penjarah. Keji sekali, katanya.
 
Kekecewaan Nursyahbani tentu saja kekecewaan masyarakat luas. Kerusuhan Mei menjadi luka yang tidak pernah benar-benar diobati dan sembuh.
 
Tentang Sensen Gustafsson
Sensen adalah eorang mantan wartawan politik di Majalah Forum Keadilan di Jakarta. Lima tahun setelah kerusuhan Mei 1998, Sensen pindah ke Swedia. Ia sekarang adalah seorang ibu dengan dua anak.
Baca versi bahasa Inggris artikel ini, “Lest We Forget, The May 1998 Riot.”