Women Lead Pendidikan Seks
February 07, 2022

Menyelami Mereka yang Cinta Astrologi

“Kenapa orang bisa percaya astrologi?” adalah salah satu pertanyaan yang umurnya paling panjang. Sayangnya, belum ada jawaban pasti hingga sekarang.

by Tabayyun Pasinringi, Reporter
Lifestyle
Menyelami Mereka yang Cinta Astrologi
Share:

Pertanyaan tentang kenapa orang-orang bisa percaya astrologi, kadang-kadang menyebalkan. Sejak dicap sebagai pseudosains di abad 17-18, pertanyaan itu tak pernah betul-betul hilang karena peminat astrologi ternyata juga berumur panjang.

Selama pandemi, ketertarikan pada praktik yang sudah eksis ribuan tahun sebelum Renaisans ini ternyata terus meningkat. The Atlantic mencatat, peningkatan itu ditandai dengan banyaknya pencarian terkait astrologi di internet.

Sekilas mata, konten-konten tentang zodiak lazim muncul di sudut-sudut internet. Jasa membaca rasi bintang juga lumrah nongol di linimasa Twitter atau Instagram.

Saya mengobrol dengan psikolog Alva Paramita, untuk membantu membaca alasan psikologis di balik peningkatan ini. Kata Alva, tren menyukai astrologi berkaitan dengan orang-orang yang mulai melirik ilmu pengobatan holistik sebagai alternatif untuk kesehatan mental. Seperti, pengobatan alternatif Jepang, Reiki atau astrologi yang berkelindan dengan energi seseorang. 

Baca juga: Ini Cara Membaca Grafik Kelahiran dalam Astrologi

Tren percaya pada astrologi ini mirip dengan tren mengoleksi batu kristal, seperti amethyst, obsidian yang terjadi pada Generasi Z. Atau fenomena batu akik di Indonesia. Kata Alva, alasan lain astrologi diminati adalah karena ia menyediakan pendekatan untuk membaca energi.

“Misalnya, ketika seseorang sedang flu, dia akan minum obat dan beberapa hari sembuh. Namun, kadang mengabaikan aspek yang muncul karena sakit itu. Nah, astrologi bisa membantu membaca energi itu,” kata Alva. 

Dalam People Who Consult Astrologers: A Profile (1982), salah satu alasan orang-orang berkonsultasi pada astrolog ternyata untuk mencari coping mechanism setelah menghadapi peristiwa yang menimbulkan stres. Macam masalah dalam relasi romantis, keluarga, atau pekerjaan.

Buat saya sendiri, pertanyaan kenapa orang-orang mempercayai astrologi tak terlalu menarik untuk dijawab. Bahkan kadang tak berguna. Maka dari itu, tulisan ini tak berusaha menjawab pertanyaan mengapa orang masih percaya pada horoskop.

Tentu pertanyaan ini muncul dengan pemahaman bahwa—sekali lagi—astrologi telah dicap sebagai pseudosains, alias bukan sains yang diakui. Tak ada bukti, bahwa astrologi bisa menjelaskan personalitas seseorang, seperti kata studi G.A Tyson, yang berjudul An Empirical Test of The Astrological Theory of Personality.

Namun, seperti kata Nicholas Campion, sejarawan University of Wales, ada spektrum luas buat orang yang sepakat astrologi adalah pseudosains, tapi tetap membacanya. 

“Kita tidak bisa sembarangan bilang pengikut astrologi adalah pengiman sejati. Atau sebaliknya,” kata Campion. Menurutnya, sulit mengukur kadar kepercayaan seseorang pada astrologi, karena perbedaan pemahaman tiap orang tentang astrologi. Sementara, pertanyaan mengapa orang-orang masih percaya pada astrologi, menurutnya tak bisa dijawab jika ukuran itu belum ditemukan.

Seksisme dalam Astrologi

Cap pseudosains pada astrologi tak jarang membawa diskriminasi pada mereka yang terang-terangan dekat dengannya.

Sebagai perempuan seperempat abad yang suka pembacaan astrologi, pengalaman diskriminasi itu tentu saja pernah saya alami. Bentuknya macam-macam, mulai dikatai tidak percaya ilmu pengetahuan, sampai disebut mempercayai praktik haram.

Baca juga: Diskriminasi Penerima Kerja Berdasarkan Zodiak, Memang Ada?

Padahal, macam individu lainnya yang mudah mengalami quarter life crisis, saya menemukan rasa nyaman dalam astrologi. Pasalnya, pembacaan energi, garis hidup, dan semua yang bisa disampaikan seorang astrolog, harus saya akui kadang bisa menerjemahkan perasaan saya lebih baik, ketimbang bila dilakukan diri sendiri.

Oleh sebab itu, ketika seorang teman, Sadwa Dharti yang memahami astrologi dan pembaca kartu tarot membuka sesi reading lewat media sosial, saya tertarik ikut. Dalam sesi twitter space bersama sekitar 20 orang lainnya, Sadwa Dharti menawarkan satu sesi reading terkait karier, romansa, dan keuangan.

Buat saya sendiri, mendengar pembacaan astrologi adalah seru-seruan belaka. Meski tak dimungkiri, terkadang mengamininya kalau pembacaannya terdengar cocok dengan karakter saya.

Sense of identity itu, kata Sadwa Dharti kepada saya, yang membuat orang tertarik dengan astrologi.

“Bisa dibilang astrologi adalah blueprint kehidupan, tapi ini bukan kepercayaan. Hal yang disampaikan astrologi juga bukan death sentence, bisa saja tidak sesuai karena astrologi memberikan agensi atau freedom untuk memilih alur kehidupan,” ujarnya. 

Astrologi juga sering dicap milik perempuan dan orang-orang queer saja. Dalam penelitian Tyson, hal ini terjadi karena astrologi memang lebih populer di kelompok tersebut. Popularitas astrologi juga dipengaruhi oleh pop culture yang lebih terbuka pada kehadirannya. 

Padahal, menurut Sadwa Dharti, astrologi tentu tidak ditujukan untuk perempuan saja. Astrologi yang sering diasosiasikan dengan perempuan bermula dari anggapan, ia dekat dengan intuisi dan perasaan, yang dianggap akrab dengan energi feminin. Karenanya, laki-laki cis-heteroseksual yang patriarkal, pada umumnya tidak menyukai astrologi. 

“Astrologi tidak mengenal gender roles apalagi pembagian genital seseorang. Misalnya genital A, maka gendernya X,” ujarnya. 

Selain itu, lanjutnya, astrologi tidak menghakimi seseorang buruk atau jelek berdasarkan moralitas yang umumnya ada di masyarakat. 

“Namun, tidak bisa dimungkiri astrolog tidak bebas dari bias. Makanya, satu reading akan berbeda dengan lainnya tergantung dari astrolognya. Jadi kebencian ini tidak lepas dari seksisme, homofobia, dan queerfobia,” tambahnya.

Baca juga: Ada Bias Kelas dalam Maraknya Wellness Industry

Lalu Kenapa Lari ke Zodiak?

Kebanyakan penelitian teranyar tentang astrologi memang fokus untuk membuktikan bahwa astrologi tidak sahih. Teori yang paling sering muncul untuk men-debunk kepercayaan orang-orang pada astrologi. Mereka tidak salah. Hanya saja, sering kali poinnya bukan itu.

Julie Beck, senior editor The Atlantic, pernah mencoba mengobrol dengan sebanyak-banyaknya anak muda yang mempercayai astrologi untuk menjawab kenapa tren ini meningkat. Jawabannya beragam. Ada yang bilang generasi muda ini narsis, obsesi melihat ke dalam diri mereka sendiri. Ada juga yang bilang, tinggal di Bumi ini depresif, makanya orang-orang lari ke bintang-bintang.

Beberapa bahkan bilang, astrologi kadang-kadang cuma bahasa metafora untuk menerjemahkan hidup yang kacau ini. Jawaban-jawaban yang juga sering saya dengar dari kawan-kawan yang tertarik pada astrologi.

Sementara buat Sadwa Dharti, ketidaksukaan itu berkelindan dengan kapitalisme dan kolonialisme yang menyebut segala hal yang dinilai ilmu hitam adalah kelakuan yang tidak beradab. “Sama saja seperti dukun beranak yang digantikan dengan bidan,” ujarnya.

Namun, mungkin untuk memahami kenapa astrologi jadi menarik sekali buat milenial dan Generasi Z, tak sesusah itu. Sebab, sekali lagi, jawabannya bisa apa saja, tergantung siapa yang ditanya. Bukankah konsep “doesn’t have to be real to feel true” adalah konsep yang familier?

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.