Nama Eka Kurniawan seolah tidak habis-habisnya menorehkan prestasi sekaligus sensasi di dunia literasi tanah air. Pengkritiknya menyebut tulisan Eka seperti air bah yang tidak terkendali, namun pembelanya tak kurang jumlahnya. Riuh rendah perbedaan pendapat dalam dunia sastra ini harus dirayakan. Apalagi,si pembuat onar hingga kini terus mencetak karya-karya lain yang tak kalah apik secara mutu dan substansi, salah satunya adalah novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Sekilas, Seperti Dendam tampak sebagai novel yang vulgar, jorok, dan cenderung tanpa melalui proses pemikiran yang panjang. Adegan demi adegan senonoh ditampilkan dengan bahasa yang blak-blakan. Alat kelamin disebut berkali-kali secara serampangan. Tidak terlalu jelas pula amanat atau pesan apa yang ingin disampaikan oleh penulis sebenarnya.
Namun, menurut saya, novel tersebut sebenarnya berusaha menyindir maskulinitas dan segala atribut yang berkaitan dengannya. Lihat saja karakter utamanya, Ajo Kawir yang penisnya tidak bisa ereksi. Ia telah melakukan berbagai cara—demi Tuhan, hampir segala cara—mulai dari yang terkesan masuk akal hingga yang konyol demi membuat burung kesayangannya bangkit.
Tempat pelacuran, sudah ia sambangi.
Sengatan lebah, sudah ia jajal sendiri.
Biji cabai, sudah ia baluri.
Namun semua usahanya tetaplah berbuah nihil.
Kemunculan sosok Ajo Kawir menunjukkan upaya Eka untuk mengolok-olok definisi maskulinitas sendiri. Maskulinitas sering ditampilkan dengan sifat kelelakian yang identik dengan dominasi, baik dominasi di atas ranjang maupun di medan pertarungan. Ajo Kawir jelas tidak masuk dalam kategori yang pertama. Beberapa kali sempat ditampilkan pula bagaimana karakter itu merasa dirinya tidaklah cukup “jantan”. Dari sini terlihat bahwa Eka ingin membuat pembacanya berpikir dua kali tentang maskulinitas: Apakah Ajo Kawir dengan segala kekurangannya dapat dikatakan sebagai lelaki sungguhan?
Baca juga: Novel 'Gentayangan' dan Aneka Merah Warna Perempuan
Demi mendapatkan aktualisasi diri, Ajo Kawir berusaha menunjukkan kejantanannya lewat perkelahian. Di sinilah kemudian persepsi tentang maskulinitas mulai menampakkan wujudnya yang jahat. Cara kekerasan mulai digunakan demi terlihat gagah, sangar, pemberani, dan bukan pecundang. Lihat saja bagaimana tokoh dua polisi memerkosa perempuan gila bernama Rona Merah. Eka seolah kembali menunjukkan bahwa maskulinitas sering kali digunakan untuk menekan pihak lain yang notabene lebih lemah. Jika Ajo Kawir melakukan tindak represif pada lawan bertarung yang tak sebanding dengannya, maka dua polisi biadab tersebut melampiaskannya pada perempuan.
Maka di sinilah maskulinitas mulai memakan “korban”.
Persepsi maskulinitas yang keliru dan telah mengakar ini celakanya tidak hanya merugikan lelaki yang tidak “pas” dengan standar-standar di dalamnya, tetapi juga perempuan.
Perlu dicatat pula bahwa mayoritas tokoh perempuan dalam novel ini menjadi korban atas tindak kekerasan seksual oleh laki-laki. Selain Rona Merah, ada Iteung dan Si Janda Muda. Kecacatan nilai-nilai maskulinitas yang identik dengan lelaki dan segala dominasinya telah membuat laki-laki memproyeksikan “kekuatannya” pada perempuan. Seolah-olah laki-laki yang maskulin adalah laki-laki yang mampu berkuasa atas perempuan.
Bagaimana seharusnya memaknai maskulinitas?
Barangkali Eka juga punya jawaban atas pertanyaan ini. Dalam novelnya, ada satu tokoh bernama Si Kumbang yang mungkin rentan untuk dilupakan, namun kehadirannya sangat penting untuk menguraikan karut-marut pendefinisian maskulinitas.
Si Kumbang tak lain adalah sopir truk yang bertubuh besar, berotot, dan bertato pula. Ciri fisiknya dapatlah dikatakan sangat maskulin. Namun di balik itu semua, ternyata ia lebih tertarik pada laki-laki dalam urusan seksual. Kontradiksi antara penggambaran fisik Si Kumbang dengan orientasi seksualnya menimbulkan kekacauan simbol maskulinitas. Di satu sisi, Si Kumbang memenuhi standar maskulinitas yang ada di masyarakat. Namun di sisi lain, orientasi seksualnya sangat bertentangan.
Baca juga: 8 Buku Fiksi Indonesia Wajib Baca Sebelum Usia 30
Agaknya kemunculan Si Kumbang memang sengaja diciptakan untuk membuat pembaca kebingungan. Pada banyak kasus, tokoh laki-laki yang berorientasi homoseksual memang biasanya digambarkan dengan sifat-sifat yang feminin. Mereka identik dengan tingkah kemayu dan bersikap lembut. Sementara hal itu tidak ditemui pada tokoh Si Kumbang. Ia adalah jagoan dan petarung yang andal. Standar maskulinitas begitu melekat dalam dirinya, meski orientasi seksualnya bertentangan dengan standar maskulinitas itu sendiri.
Eka seolah ingin menegaskan bahwa simbol maskulinitas adalah konstruksi sosial yang tidak jelas dibentuk oleh siapa. Sementara itu, tokoh Si Kumbang adalah anomali yang membuat kabur standar-standar tersebut. Berbeda dengan Ajo Kawir, Si Kumbang tidak tunduk pada standar maskulinitas yang absurd. Eksistensinya seolah membuktikan bahwa seseorang bisa memiliki sifat maskulin, terlepas dari gender ataupun orientasi seksualnya.
Hal ini sekaligus mempertegas pendapat psikolog Amerika yang mengidentifikasi dirinya sebagai homoseksual, Richard Friedman. Friedman menyatakan bahwa seorang laki-laki, baik heteroseksual maupun homoseksual, tetap bisa menciptakan nilai-nilai maskulinitas secara mandiri.
“The only form self-respect can take in boys, in boys gay or straight, is and has to be something called masculine-self regard.”
Sudah saatnya kita menyisihkan waktu sedikit untuk berkontemplasi. Bolehlah sambil membaca buku atau meminum kopi. Lalu pikirkanlah ini baik-baik: Jika suatu nilai, ideologi, ataupun kepercayaan justru lebih banyak mendatangkan petaka daripada kemaslahatan, maka perlukah kita meredefinisikan maskulinitas dan segala standar yang lekat dengannya?
Comments