Pada 2020, perempuan berinisial ZH dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan karena terbukti membunuh suaminya. Enam tahun sebelumnya, DDS divonis hukuman mati akibat keterlibatannya dalam kasus pembunuhan berencana yang juga dilakukan suaminya.
Kasus ZH dan DDS adalah sebagian kecil dari perkara pidana mati dengan terdakwa perempuan yang didata oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Untuk kepentingan penelitian, yang dikategorikan sebagai “kasus pidana mati” oleh ICJR adalah perkara yang memuat tuntutan dan atau vonis pidana mati.
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan bahwa dari 884 kasus pidana mati yang berhasil didata (1969-2021), hampir lima persennya melibatkan perempuan.
“Sepanjang periode tersebut terdapat 42 kasus dengan implementasi pidana mati untuk perempuan. Karena ada permasalahan berkaitan dengan [ketersediaan] dokumen, kami [hanya] menemukan 32 kasus pidana mati perempuan yang putusannya lengkap, yaitu dari 2002-2020, yang menjadi obyek penelitian ini,” katanya pada webinar berjudul “Yang Luput Dibahas: Perempuan dalam Pusaran Hukuman Mati” yang diadakan ICJR (8/10).
Kasus pidana mati tak lepas dari dimensi gender. Pada 2017, pelapor khusus PBB tentang extrajudicial, summary or arbitrary executions on a gender-sensitive approach to arbitrary killings menyatakan bahwa terdapat pola yang seragam dalam kasus pidana mati yang terpidananya perempuan, salah satunya adalah adanya riwayat kekerasan.
“Berkaitan dengan hal itu, maka kami menganggap penting membahas kerentanan tersebut ketika kita bicara penerapan pidana mati pada perempuan,” ujar Maidina.
Kerentanan Perempuan Tak Dijadikan Pertimbangan
Dalam riset ICJR, ditemukan lima perempuan (DDS, MN, SZ, YR, dan ZH) yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Namun, hakim tidak mempertimbangkan hal ini sebagai alasan peringan hukuman.
“Riwayat kekerasan dibahas di putusan ZH, tetapi narasi yang dihadirkan justru memberatkannya. Hakim menyebut ZH tidak perlu membahas riwayat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Hakim bilang seharusnya ZH menyesal,” kata Maidina.
Terdakwa perempuan juga sering dicap sebagai orang yang gagal mempertahankan peran gendernya sebagai perempuan. ZH, yang merupakan korban kekerasan suaminya, justru mendapat nasihat dari hakim bahwa seharusnya, sebagai seorang istri, ZH menyayangi dan menghormati suaminya.
Kekerasan yang dialami DDS juga tak dijadikan sebagai unsur yang meringankan hukuman. Pada uraian dakwaan dijelaskan bahwa DDS terlibat pada pembunuhan tiga orang yang aktor utamanya adalah suaminya, Delfi. DDS sempat menolak perintah Delfi untuk melilitkan kain pada leher korban. Namun, jika dia tak mau melakukannya, suaminya mengancam akan melilit lehernya. Terlepas dari semua itu, hakim menganggap hal itu hanya ancaman verbal.
DDS juga menyampaikan bahwa dia telah bercerai karena suaminya berperilaku abusive. Kondisi tersebut tak menjadi elemen yang meringankan hukuman. Sebaliknya, DDS justru disalahkan oleh hakim karena tidak melaporkan kejadian pembunuhan itu.
Hakim telah dibekali Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Kendati demikian, tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan patokan sebagai dasar pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pidana.
“Sampai saat ini, tidak ada pedoman yang dapat digunakan untuk membantu hakim dalam mengaplikasikan konstruksi jender dalam pertimbangan pemidananaan,” kata Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani.
Andy menambahkan, mengingat deraan psikologis yang begitu besar, pemenuhan hak-hak perempuan yang terancam hukuman mati perlu ditingkatkan .
“Penelitian ini menunjukkan bahwa hak perempuan terpidana mati perlu dipenuhi, terutama dalam hal akses untuk mengontak keluarganya dan layanan kesehatan jiwa,” ujarnya.
Kerentanan terdakwa yang divonis hukuman mati juga terjadi di negara lain. Direktur Kebijakan International Commission Against the Death Penalty (ICDP) Rajiv Narayan mengatakan, pekerja migran di sektor domestik rentan menjadi korban kekerasan. Terlebih lagi, mereka tak mendapatkan perlindungan maksimal di negara-negara tempat mereka bekerja.
“Salah satu kasus yang pernah ditangani ICDP adalah Rizana Nafeek, seorang pekerja rumah tangga migran dari Sri Lanka yang bekerja di Arab Saudi. Rizana tak bisa berbahasa Arab dan sempat menarik kembali pernyataan yang dibuatnya dalam kondisi paksaan. Dia pun tak didampingi penasihat hukum hingga pelaksanaan eksekusi mati pada 2013,” jelasnya.
Dalam penelitian ICJR, tergambar bahwa pada 25 persen atau 8 kasus, perempuan terjerat hubungan romantis dengan pihak-pihak yang menginisiasi tindak pidana. Perempuan sering kali melakukan tindak pidana untuk mengikuti kehendak dari sosok laki-laki. Ini tergambar dalam mayoritas kasus tindak pidana narkotika.
Andy mengatakan, penelitian yang dilakukan ICJR mengonfirmasi temuan awal Komnas Perempuan, yakni bahwa kerentanan perempuan yang menghadapi pidana mati sangat jelas.
“Kita melihat bagaimana perempuan miskin dan memiliki ketergantungan emosional menjadi pihak yang paling beresiko untuk disalahkan dan dihukum mati meskipun dia bukan dalang utamanya, seperti yang terjadi pada kasus-kasus narkotika,” ujarnya.
Koordinator Asia dan Afrika untuk Together Against Death Penalty (ECPM) Marie-Lina Perez menekankan, banyak perempuan yang terlibat kejahatan narkotika hidup dalam kerentanan sebagai pekerja migran.
“Mereka tetap divonis mati meskipun menjadi korban perdagangan manusia. Di Malaysia, misalnya, dari 1280 orang yang dipidana mati, 140 diantaranya adalah perempuan. Sembilan puluh lima persen dari mereka dihukum mati karena melakukan tindak pidana narkotika dan 90 persen diantaranya adalah orang asing,” tuturnya.
Pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjamin hak tersangka dan terdakwa yang diancam pidana mati untuk mendapatkan bantuan hukum. Bagi mereka yang tidak mampu, pengadilan wajib menunjuk penasihat hukum.
Maidina dari ICJR mengatakan, dalam 32 putusan tersebut, ditemukan bahwa mayoritas terdakwa (18 orang) menunjuk sendiri penasihat hukumnya. Walau demikian, hal itu tak menjamin mereka mendapatkan bantuan hukum yang efektif.
“Dalam praktiknya, dari 18 orang tersebut, hanya 5 orang yang penasihat hukumnya menghadirkan saksi meringankan. Bahkan, tak ada sama sekali penasihat hukum yang menghadirkan ahli,” tuturnya.
Selain itu, hanya empat dari mereka yang mengajukan keberatan terhadap dakwaan (eksepsi). Bahkan, pada lima kasus, tidak ditemukan pembelaan tertulis.
“Salah satu kasus yang kami jadikan contoh adalah ZH. Peran penasihat hukum yang ditunjuk sendiri oleh ZH sudah ada, tetapi tak ada dokumen tertulis ketika masuk dalam tahap pembelaan,” kata Maidina.
Di sisi lain, pada 13 kasus, terdakwa mendapatkan penasihat hukum yang ditunjuk oleh majelis hakim. Bagaimanapun, Maidina menegaskan, tak berarti bahwa pembelaan yang mereka lakukan sudah berkualitas.
“Hanya satu (dari 13 kasus) yang penasihat hukumnya mengajukan eksepsi. Bahkan, dua di antaranya tidak mengajukan pembelaan secara tertulis,” ujarnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Balitbang) Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami menjelaskan bahwa kualitas penasihat hukum dapat menentukan hasil putusan hasil putusan yang dijatuhkan.
“Ketika saya masih menjadi staf di Lapas Perempuan Medan, ada terdakwa yang mendapatkan putusan hukuman mati yang kemudian mengganti pembelanya dan melakukan upaya hukum. Akhirnya, hukumannya menjadi seumur hidup, dan lalu menjadi pidana sementara,” kata Sri.
“Karena terus berkelakuan baik, dia mendapatkan remisi, dan akhirnya bebas. Menurut saya, mampu memahami apa sesungguhnya yang terjadi adalah hal yang penting agar hakim dapat memutus secara adil,” tambahnya.
Comments