Women Lead Pendidikan Seks
April 13, 2021

Mi Instan Ala Bapak dan Adik Lelaki yang Tak Perlu Cuci Piring

Saya selalu terkenang mi instan ala Bapak, tetapi sampai situ saja karena memang Ibu yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

by Priska Astasari
Lifestyle
Ibu selalu dibebankan untuk memasak
Share:

Saya menyalakan teko pemanas air sembari menaruh panci di atas kompor. Ketika work from home (WFH), kerap saya memanfaatkan kesempatan untuk menyantap sarapan yang lebih nikmat dari hanya segelas susu atau sepotong roti dingin.

Definisi sarapan istimewa bagi saya adalah mi instan. Apalagi jika mengikuti resep warisan Bapak, yakni mi kuah rasa ayam bawang yang dicampurkan mentega, merica, saus tomat, serta kecap, juga ditambah dengan telur rebus. Makanan yang selalu mengingatkan saya pada rumah. Mengingatkan pada masa kecil, di hari Minggu, ketika Bapak menyantap mi instannya sembari membaca koran di teras rumah.

Setelah semangkuk mi rebus saya telah terhidang, saya menyalakan laptop. Saya bersiap mengecek surel dan agenda sambil sarapan. Di Belanda, jam kerjanya cukup fleksibel, asalkan kita ingat bahwa ada rapat dan tidak terlambat untuk ikut.

Bicara tentang rapat, bos saya jadi menjadwalkan rapat pagi dengan saya. Bukannya kemarin dia bilang harus mengantar anaknya sekolah di pagi hari lantaran sekolah sudah dibuka lagi? Saya melirik jam—ah, masih ada 15 menit untuk menghabiskan mi rebus saya.

***

“Siapa yang mengantarkan anakmu ke sekolah hari ini?” saya berkata ketika panggilan video kami dimulai.

“Oh, Jan yang jadinya mengantar. Nanti siang juga biar dia yang menjemput. Saya banyak rapat.” 

Jan adalah suami dari atasan saya. Sudah sangat sering saya mendengar suaminya bergantian mengantar jemput anak, juga sebelum masa WFH ini dimulai. Di Belanda, memiliki sopir merupakan suatu kemewahan. Jasa antar jemput juga sepertinya tak ada. Biasanya anak-anak berangkat ke sekolah sendiri, dengan sepeda atau transportasi umum. Jika masih terlalu kecil, seperti anak bos saya ini, biasanya orang tua bergantian mengantar jemput.

Awalnya saya takjub. Saya tak membayangkan Bapak di hari kerja akan pulang cepat dari kantor demi menjemput saya dari sekolah. Sewaktu kecil, Bapak menjemput saya hanya di hari Sabtu, saat kantor Bapak libur dan Bapak punya waktu luang. Itu pun saya sudah merasa spesial sekali.

Selain mengantar jemput anak, saya sering mendengar bagaimana suami-istri atau pasangan saling berbagi tugas rumah dengan (terdengar) mudahnya. Memasak, mencuci baju, mencuci piring— pekerjaan domestik yang di rumah saya dulu terdengar lebih kepada pekerjaan perempuan (buktinya, adik lelaki saya bisa lolos dari jatah cuci piring karena saya yang harus menggantikannya)—biasa dilakukan oleh para lelaki di sini.

Meski demikian, pekerjaan yang sewaktu kecil saya pikir hanya Bapak yang lakukan dan Ibu tak harus turun tangan, seperti mengecat dinding atau memasang lantai rumah, juga biasa dilakukan perempuan di sini.  

Lagi-lagi, di awal saya mendengarnya, saya merasa heran. 

Sekilas, saya kepikiran mi rebus ala Bapak yang sudah saya habis santap ini. Apa lagi resep yang Bapak wariskan pada saya? Saya mencoba mengingat. Tak banyak memori Bapak berada di dapur dan memasak untuk sekeluarga. Kecuali suatu hari, di saat Ibu harus keluar kota dan kebanyakan warung makanan tutup karena sedang Lebaran.

Saat itu Bapak “bereksperimen” membuat nasi goreng dengan nasi sisa di kulkas. Tetapi, seingat saya, nasinya kelembekan lantaran Bapak tambahkan air, dan bawangnya gosong (astaga ini jadi terdengar seperti nasi goreng telur milik Jamie Oliver yang sempat viral). Pada akhirnya, karena Bapak terus mempromosikan nasi goreng itu seakan rasanya nikmat sekali, dan saya toh kasihan juga dengan usaha Bapak, saya dan Adik menghabiskan nasi goreng tersebut sampai butir terakhir.

***

Rapat usai, sebuah surel masuk dalam kotak surat saya. Lanjutan pembahasan pada Hari Perempuan Internasional tempo hari. Surel itu membahas apakah seharusnya perusahaan memberikan jatah cuti haid untuk pegawai perempuan. Cukup menarik. Ada yang setuju, tapi juga ada yang menganggap itu malah menghambat perempuan untuk dianggap setara dengan laki-laki di kantor.

Saya beberapa kali melihat topik ini muncul dalam pembahasan di lini masa media sosial saya. Meski jujur, yang muncul di lini masa saya lebih banyak menyinggung apakah calon istri harus bisa memasak tanpa membahas sebaliknya, apakah calon suami harus bisa memasak. Padahal, memasak itu menurut saya lebih kepada keterampilan bertahan hidup. Artikel di Magdalene setahun silam juga mengungkit bagaimana kita perlu berhenti memuji-muji lelaki yang melakukan pekerjaan domestik seakan-akan itu pencapaian besar.   

Kembali saya teringat akan Bapak dan Ibu. Selama ini, saya pikir keluarga saya sudah setara karena Ibu diperbolehkan bekerja. Seingat saya, banyak kawan saya yang ibunya sama sekali tidak diizinkan bekerja, harus menjadi ibu rumah tangga dan melayani suami. Bapak juga termasuk yang turut mengurusi pendidikan saya dan adik. Turut merawat saya dan adik ketika kami jatuh sakit. 

Tetapi ternyata, banyak hal-hal yang masih patriarkal di keluarga saya. Seperti frekuensi Bapak memasak untuk keluarga yang masih bisa dihitung jari. Seperti peran ganda yang dijatuhkan pada Ibu lantaran Ibu boleh bekerja, namun rumah jangan sampai kelihatan terlantar. Seperti saya yang lebih harus bisa memasak dan mencuci piring daripada adik lelaki saya. Atau Adik yang lebih sering diajak mengerjakan “pekerjaan berat”, sementara saya tak pernah tahu cara merakit furnitur sampai saya pindah ke Belanda dan harus belajar merakit perabotan sendiri. 

Saya berpikir, kalau saja Bapak dan Ibu harus WFH di saat saya dan adik juga sekolah dari rumah—seperti apa yang tengah dihadapi oleh bos saya. Apa Bapak akan bergantian dengan Ibu untuk mengecek tugas saya dan Adik di tengah hari? Atau tetap kebanyakan Ibu yang melakukannya sambil juggling di antara meeting-meeting-nya? Apa Bapak akan lebih sering turun ke dapur untuk menggantikan Ibu memasak? Apa Bapak akan selalu menyuguhkan mi instan andalannya saja setiap harus memasak?

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Priska Astasari adalah teknisi R&D di pabrik kopi di negeri Belanda. Gemar membicarakan makanan, dan hidup, dan makanan—terutama saat sedang rindu rumah.