Women Lead Pendidikan Seks
December 09, 2021

‘Micro-cheating’ atau Selingkuh Tipis-tipis, Perlukah Diwaspadai?

‘Micro-cheating’ atau selingkuh kecil lewat interaksi ‘online’ sering menjadi keresahan seseorang dalam berelasi. Lantas, bagaimana cara menyikapi ini?

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
tips menjalani hubungan jarak jauh
Share:

Suatu kali, salah satu teman laki-laki saya bercerita, beberapa kali ia mendapati pacarnya bertukar pesan secara intens lewat direct message Instagram, dengan laki-laki yang diakuinya sebagai teman lama. Alih-alih menceritakan tentang pertemanannya kepada teman saya, pacarnya itu justru menghindar dan buru-buru menghapus chat mereka, katanya. 

Cerita itu mengingatkan saya pada penjelasan Ty Tashiro, seorang penulis dan psikolog di NBC News. Menurutnya, perilaku seperti pacar seorang teman itu merupakan micro-cheating, yakni “perselingkuhan kecil” dengan seseorang lewat interaksi online.

Baca Juga: ‘White Lie’ atau Bohong Tipis-tipis, Haruskah Relasi Diteruskan?

Mengenal Micro-cheating

Mungkin hal ini terlihat mirip dengan emotional cheating. Namun, dalam emotional cheating, seseorang cenderung memikirkan sosok selain pasangannya secara obsesif, rela menyediakan waktu untuknya, ada frekuensi komunikasi yang meningkat, hingga memiliki perasaan mendalam.

Untuk memperjelas, ada beberapa contoh lain dari micro-cheating. Misalnya, seseorang berbohong tentang status hubungannya, menjalin keintiman dengan orang lain melalui teks, menjadikan orang lain pelarian ketika ada masalah dalam hubungan, sering berinteraksi dengan mantan pacar, memiliki private jokes dengan orang lain, atau menyimpan kontaknya dengan nama lain maupun kode khusus.

Meskipun tidak melibatkan kontak fisik, salah satu bentuk perselingkuhan ini memiliki konsekuensi emosional tersendiri, yaitu berpotensi mengkhianati kepercayaan pasangan. Pertanyaannya, apakah banyak orang memahami micro-cheating dapat berpengaruh pada kelangsungan hubungan?

Dr. Martin Graff, psikolog dari University of South Wales, Inggris menyebutkan, emoji hati yang dikirim orang lain termasuk bentuk godaan dan bisa berakhir pada perselingkuhan. Tidak semua orang sepakat dengan pandangan Graff ini. Ada yang merasa bahwa emoji hati yang biasa mereka kirik ke seseorang yang bukan pasangannya belum tentu mendefinisikan relasi khusus mereka. Hal itu bisa saja hanya merupakan salah satu bentuk ekspresi, yang bukan berarti konteksnya selalu perasaan.

Baca Juga: Mempertanyakan Kembali Pelabelan Pelakor

Sementara, menurut penulis sekaligus terapis seks dan hubungan Tammy Nelson dalam Cosmopolitan, micro-cheating bisa terjadi ketika seseorang menciptakan peluang untuk melakukan perilaku yang menunjukkan afeksi, di luar hubungan. Lama-lama hal itu menjadi konflik, apabila membentuk suatu kebiasaan.

Kendati micro-cheating bisa saja menimbulkan konflik dalam relasi, tolok ukur micro-cheating tidak dapat dipukul rata dalam setiap hubungan. Pasalnya, internet membuat batasnya kabur dan masing-masing pasangan punya batasan berbeda terkait sejauh mana mereka boleh berinteraksi dengan seseorang di luar relasinya. 

Belum Tentu Selingkuh Betulan

Menurut Robert Weiss, CEO Seeking Integrity, sebuah komunitas online yang membahas kesehatan mental, micro-cheating cenderung seseorang lakukan secara impulsif untuk merasa bahagia. Kemungkinan, ada orang lain yang menarik perhatiannya, atau ia yang menginginkan perhatian, ingin dianggap menarik, dan membutuhkan pengakuan dari orang lain.

Sebetulnya, wajar apabila seseorang menganggap orang di luar pasangannya menarik. Dan, bukan berarti ketika ia berada dalam komitmen, ia tidak boleh merasa senang ketika dipuji orang lain, atau meresponsnya dengan baik. Menurut Weiss, hal ini termasuk hal yang dapat menguji kekuatan hubungan.

Baca Juga: Sudah Tidak Ada Cinta dalam Hubungan, Perlukah Dilanjutkan?

Tak dimungkiri, ketika melakukan micro-cheating, sebagian orang punya kecenderungan bersikap tertentu. Misalnya, menurut terapis pasangan Alicia Muñoz  dalam Mind Body Green, seseorang memusatkan perhatiannya pada ponsel lebih sering dari biasanya, tidak memperhatikan ketika pasangannya berbicara, bersikap defensif ketika pasangannya menanyakan interaksi di media sosial yang dilakukannya dengan orang lain, menunjukkan ketertarikan pada orang lain secara tersirat, dan menarik diri saat terjadi konflik. 

Namun, beberapa hal di atas tidak serta merta dapat mengindikasikan bahwa seseorang 100 persen berselingkuh. Di satu sisi, setiap orang memiliki kebutuhan dan kesibukannya yang harus dipenuhi. Pun mustahil apabila sepanjang waktu ia memusatkan perhatian pada pasangan, dan tetap membutuhkan interaksi dengan orang lain.

Menyikapi Micro-cheating

Penting diingat bahwa micro-cheating sifatnya relatif dan subjektif. Apabila pasangan kita terbukti melakukan hal-hal yang termasuk micro-cheating tadi berulang kali, hingga menolak membicarakan dan mengubah sikap yang kita rasa membuat tidak nyaman, barulah saatnya kita membicarakan kembali komitmen yang semula dibentuk. 

Dalam membicarakan soal komitmen ini, menurut Muñoz, penting bagi kita untuk mengupayakan komunikasi terbuka dalam menetapkan batasan perilaku. Pasangan perlu mengomunikasikan sejauh mana mereka merasa aman untuk berhubungan dengan teman dekat, rekan kerja, menoleransi godaan berbentuk teks dan emoji, serta mengirim dan menerima gambar-gambar tertentu.

Perbincangan tentang micro-cheating dan komitmen satu sama lain juga bisa dilakukan dengan memberi tahu perasaan kita ketika pasangan melakukan micro-cheating, apa yang sebenarnya ia cari dengan berinteraksi online semacam itu dengan orang lain, lalu membicarakan apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan untuk membuat satu sama lain merasa nyaman dan percaya.

Dengan demikian, perasaan insecure yang dirasakan salah satu pihak dapat dihindari, seiring dengan usaha membangun kepercayaan terhadap satu sama lain. 

Bagaimanapun seseorang menyikapi micro-cheating, satu hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam relasi adalah tetap mengutamakan kejujuran. Sejalan dengan itu, setiap pihak yang terlibat di dalamnya juga tetap perlu menghormati privasi satu sama lain dan tidak membatasi interaksi pasangannya dengan orang lain secara berlebihan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.