Ada wajah baru dalam gerakan feminisme di Cina sejak 7 Maret 2015. Hari itu, lima aktivis perempuan muda Li Maizi, Wu Rongrong, Zheng Churan, Wei Tingting, dan Wang Man yang kemudian dikenal sebagai The Feminist Five ditangkap oleh pemerintah Cina karena berdemonstrasi menentang pelecehan seksual. Untuk merayakan Hari Perempuan Sedunia, mereka merencanakan aksi sederhana. Mereka ingin membagikan stiker mengenai pelecehan seksual di angkutan umum di berbagai kota. Namun, sayangnya sebelum aksi ini terealisasikan, pihak berwenang telah mengendus rencana mereka dan akhirnya menahan lima perempuan itu di pusat penahanan di Beijing sehari sebelum demonstrasi.
Aksi penangkapan The Feminist Five ini pun mendapatkan sorotan besar dari dunia. Media sosial dibanjiri dukungan terhadap perjuangan The Feminist Five dan kecaman kepada pemerintah Cina. Tagar #FreeBeijing20Five dan #FreeTheFive mulai digunakan di Twitter pada April untuk menyerukan pembebasan kelima perempuan muda tersebut. Tokoh publik berpengaruh, seperti Hillary Clinton, Joe Biden, dan Samantha Power (duta besar Amerika di Perserikatan Bangsa Bangsa) mengunggah cuitan dan mengecam tindakan pemerintah Cina atas pembungkaman atas perempuan dan hak-hak mereka, dan meminta pemerintah Cina membebaskan mereka.
Dilansir dari The New York Times, tidak hanya terbatas pada tagar Twitter, beberapa petisi dibuat untuk menyerukan pembebasan perempuan tersebut baik secara global maupun di Cina, termasuk petisi dari All Out, sebuah LSM hak-hak LGBT, yang mengumpulkan lebih dari 85.000 tanda tangan. Di Cina, khususnya Guangzhou dan Beijing, perempuan turun ke jalan dengan mengenakan topeng wajah The Feminist Five sebagai bentuk dukungan mereka.
Dalam buku Betraying Big Brother: the feminist awakening in China (2018), Leta Hong Fincher mengungkapkan kisah The Feminist Five menginspirasi banyak perempuan muda di Cina untuk terlibat juga dalam isu kesetaraan gender. Lebih banyak perempuan muda bahkan termasuk di dalamnya siswi sekolah menengah yang pada akhirnya menggunakan kata “feminis” untuk mengidentifikasi diri mereka dan lebih vokal menyuarakan isu kesetaraan gender di masyarakat patriarkal yang telah lama menindas mereka.
Baca Juga: Bagaimana Feminisme Diterapkan di Negara-negara Asia
Babak Baru
Qi Wang, psikolog Amerika kelahiran Cina dan Profesor Pembangunan Manusia di Universitas Cornell dalam penelitiannya berjudul Young Feminist Activists in Present-Day China A New Feminist Generation? (2018) menyatakan, The Feminist Five menandai babak baru gerakan feminisme di Cina yang dipimpin oleh generasi milenial. Mereka inilah para perempuan yang lahir pada rentang 1980 hingga 1990-an dengan media, akademisi, dan para pengguna media sosial di Cina menyebut mereka sebagai “generasi baru” (xin shengdai / xin yidai /新一代). Mereka mampu mengubah arah gerakan feminisme yang dulunya mengalami pelembagaan dalam tubuh pemerintah, jadi gerakan independen yang menekankan aksi solidaritas atas perempuan.
Gerakan feminisme yang dimotori oleh generasi milenial ini sangat lantang menyuarakan kemarahan mereka atas misogini, seksisme, dan ketidaksetaraan gender di Cina yang semakin mengkhawatirkan karena rezim misoginis Xi Jinping. Wang kemudian menjelaskan vokalnya perempuan muda ini salah satunya dipelopori pergeseran etis dari nilai-nilai yang berorientasi kolektif ke nilai-nilai yang berorientasi pada individu. Pengaruh kekuatan publik pada keluarga telah melemah, dan individu telah memperoleh kontrol yang lebih besar atas hidupnya.
Oleh karena itu, Wang berpendapat pergeseran ini menjadi alasan mengapa perempuan dari generasi baru ini menolak politik dan metode para pendahulu mereka yang masih terfokus pada kesetaraan gender dalam kerangka berpikir patriarki (perempuan masih dilihat perannya semata-mata sebagai ibu dan peran mereka sebagai ibu menjadi penting bagi pembangunan negara) dan memilih mode tindakan baru yang mereka rasa lebih efektif dan menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Dalam hal ini, para perempuan muda pun lebih menekankan aksi mereka pada pertunjukan seni atau protes tempat publik yang dibarengi dengan aktivisme media sosial.
Baca Juga: Feminisme Digital 4.0 dan Balada Feminis Medsos
Wei Wei, akademisi dari Universitas East China melalui penelitiannya berjudul Normal Street, Behavior, Art: Advocating Gender Rights and the Innovation of a Social Movement Repertoire (2015) mengungkapkan bahwa gerakan feminisme yang dimotori oleh generasi millennials banyak dilakukan melalui serangkaian protes menggunakan pertunjukan yang provokatif di area publik untuk berbicara langsung kepada publik dan membangkitkan perhatian publik. Sebagian besar protes dilaksanakan oleh sejumlah kecil orang bahkan tidak jarang dilakukan oleh seorang perempuan saja. Misalnya pada 2012, sebanyak 20 perempuan muda di Guangzhou dan Wuhan melancarkan aksi "Occupy Men's Room.” Dalam aksi itu, para perempuan memblokir toilet laki-laki di area publik yang mereka singgahi dan dengan gaya teatrikal, mereka berteriak dan menangis sambil mengangkat poster yang bertuliskan, “Semakin nyaman dan banyak toilet perempuan, semakin setara gendernya.”
Pertunjukan provokatif di area publik tidak luput dari peran perempuan di media sosial yang aktif melakukan aktivisme digital. Fincher dalam bukunya mengungkapkan, internet memberikan ruang bagi perempuan-perempuan ini untuk mengeksplorasi ide dengan lebih bebas. Dengan internet perempuan dapat merencanakan aksi, merekrut relawan, dan membagikan berbagai isu mengenai kesetaraan gender ke khalayak luas. Banyak perempuan muda di Cina akhirnya membuka forum khusus feminis di Douban, grup feminis di WeChat, dan akun Twitter verified yang berfungsi sebagai pusat informasi gerakan feminisme di Cina di Twitter seperti @FeministChina.
Para perempuan muda ini juga kerap memposting unggahan dengan foto, bertukar pengalaman, dan berdiskusi di Weibo terkait pengalaman khas mereka sebagai perempuan yang hidup di tengah masyarakat patriarkal. Dalam aksinya ini, mereka tidak hanya membangun kekuatan solidaritas antar perempuan, namun juga mengenalkan isu kesetaraan gender kepada masyarakat luas dengan pengalaman yang membumi dan bahasa yang mudah dipahami.
Baca Juga: Ketidakadilan Gender Dapat Bermula dari Toilet
Tantangan Feminis Cina
Gerakan feminisme yang dimotori generasi milenial tidak serta merta berjalan mulus. Di bawah pemerintahan otoriter, mereka kerap dihadapi berbagai tantangan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Ficher dalam wawancaranya dengan Wbur mengungkapkan, di bawah pemerintahan Xi Jinping, gerakan feminisme generasi millennial dipandang sebagai ancaman berbahaya bagi negara. “Ada konfrontasi besar sekarang antara agenda pemerintah, yang mendorong norma gender yang sangat tradisional,” tuturnya.
Seksisme dan kebencian terhadap perempuan dan upaya penundukan perempuan merupakan agenda dari rezim gender Xi Jinping yang mendorong perempuan untuk kembali ke peran tradisional sebagai istri dan ibu yang berbakti seperti apa yang ada dalam ajaran Konfusianisme. Menurut Ficher semua itu adalah inti dari otoritarianisme patriarki Cina dan otoritarianisme ini memandang penundukan perempuan sebagai hal yang penting bagi stabilitas politik, bahkan lebih penting bagi mereka daripada mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Maka tidak mengherankan usaha pembungkaman suara perempuan kerap terjadi di Cina belakangan ini. Dilansir dalam Abc News di bawah presiden Xi Jinping terdapat tindakan keras terhadap aktivisme feminis. Mereka paham dengan baik bagaimana internet menjadi motor penggerak dari mobilisasi gerakan feminisme generasi millennials ini sehingga istilah seperti "feminisme" dan "MeToo" pun dianggap sebagai istilah “sensitif” dan masuk ke dalam istilah yang diblacklist dalam kebijakan sensor online Cina.
Awal tahun ini saja misalnya, Beijing mulai meningkatkan upayanya untuk membasmi suara-suara feminis di negara itu dengan cara menutup paksa akun-akun feminis di situs media sosial populer, seperti Weibo dan Douban. Tidak hanya akun-akun feminis, dalam VOA East Asia misalnya juga disebutkan, sekitar 10 forum feminis ditutup di Douban. Douban mengatakan forum yang sekarang dilarang mempromosikan pandangan dan ideologi politik "ekstrem" dan "radikal".
Dalam wawancaranya bersama Abc News, Li Maizi, 32, salah satu dari The Feminist Five menjadi salah satu korban dari penutupan paksa dari pemerintah Cina ini. Akun Weibo-nya ditangguhkan pada akhir April. "Tidak hanya komentar kami yang dihapus, tetapi akun kami juga hilang di internet, pengikut kami tidak dapat melihat kami lagi," tuturnya.
Ketika ia ingin membuka akunnya tersebut, Weibo akan memberikan pesan akun Li telah menerbitkan "informasi ilegal dan berbahaya", sehingga sesuai dengan kebijakan yang ada akunnya harus ditangguhkan. Yang bikin miris, pihak berwenang dan perusahaan teknologi Cina berusaha membenarkan tindakan keras tersebut dengan mengklaim bahwa feminis dan aktivis akan mengganggu tatanan sosial.
Namun, para perempuan muda ini tidak kehabisan ide. Mereka mencoba mengakali sensor online yang dapat berujung pada penutupan paksa dengan menggunakan emoji pada istilah seperti MeToo. Dilansir dalam The Conversation, para perempuan muda ini menggunakan emoji “Rice bunny” (米兔), diucapkan sebagai “m tu” untuk melakukan kampanye #MeToo di media sosial. Tagar #RiceBunny, disertai dengan emoji mangkuk nasi dan kepala kelinci, digunakan oleh para perempuan untuk mengekspos pelecehan seksual tanpa harus takut unggahan dihapus atau akun mereka ditangguhkan oleh negara.
Tidak hanya melalui emoji, aksi “Jangan lupa untuk mengambil screenshot,” menjadi salah satu tindakan wajib dari pedoman dalam grup WeChat para aktivis feminis. Tidak jarang bahkan mereka mempunyai dokumentasi sendiri dengan screenshot dan link akses informasi atau dokumen penting. Hal ini mereka lakukan agar di kemungkinan terburuknya group mereka terdeteksi oleh pemerintah dan dihilangkan, setiap anggota masih memiliki file yang mampu membuat percakapan mereka tetap hidup.
Comments