Jika menonton drama Korea Reply 1988, kamu tentu ingat episode yang mengisahkan tentang ibu Kim Jung-Hwan, Ra Mi Ran, jelang masa menopause. Bisa dibilang, episode ini cukup menyentuh lantaran di dalamnya digambarkan bagaimana keluarga Mi Ran menghadapi perubahan dalam diri perempuan tersebut dengan tetap berempati.
Awalnya, Mi Ran cukup pede memasuki fase hidupnya yang baru itu. “Apa yang sulit dari menopause? Menjengkelkan sekali kita harus mengalami haid lebih dari 30 tahun. Baguslah kita menopause,” kata dia.
Namun setelahnya, ia seperti berada dalam roller coaster emosi yang berimbas pada interaksinya dengan keluarga. Ia bisa gampang sekali marah kepada suami karena masalah kecil dan sering menangis tanpa sebab. Pada malam hari, ia sulit tidur dan kerap termenung lama.
Beruntung ia memiliki suami dan anak-anak yang pengertian. Alih-alih kesal dan berkonflik karena menghadapi perubahaan mood Mi Ran, mereka justru berusaha untuk tetap mendampinginya dan melakukan berbagai hal untuk meringankan tugas domestik Mi Ran.
Masa menopause memang jadi masa-masa yang sulit dilalui bagi sebagian perempuan. Namun, tidak selalu mereka mengalami hal seperti yang dialami Mi Ran dan menjadi lebih tak produktif, lho. Ada yang tetap menjalani hari-harinya tanpa menghadapi gangguan signifikan dalam beraktivitas, dan tidak mengalami gejolak emosi berlebihan. Bahkan, mereka bisa sama produktifnya dengan orang-orang yang belum mengalami menopause sehingga stereotip bahwa perempuan menopause pasti tidak berdaya bisa terpatahkan.
Apa saja sih fakta-fakta dan hal keliru seputar menopause lainnya? Berikut ini kami rangkum sejumlah fakta dan mitos tentang hal tersebut.
1. Lebih dari enam bulan tak haid setelah usia 50 berarti saya menopause
Seseorang dikatakan mengalami menopause saat ia tidak haid selama setahun penuh. Bila ia tidak haid selama sembilan bulan dan haid pada bulan kesepuluh, ia dikatakan masih dalam masa perimenopause (masa menjelang menopause) dan hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun.
Ada sebagian perempuan merasa aman berhubungan seks tanpa kontrasepsi pada usia 50-an lantaran berpikir dirinya sudah menopause dan tidak mungkin hamil lagi, padahal ia masih masuk masa perimenopause. Menurut spesialis Obstetri dan Ginekologi (obgyn) Ann Steiner dalam Penn Medicine, walau kesuburan perempuan menurun seiring bertambahnya usia, masih mungkin ia hamil tepat sebelum menopause.
Karena kehamilan pada usia di atas 35 lebih berisiko, penting bagi perempuan untuk memahami betul apakah ia sudah benar-benar menopause atau belum. Tujuannya untuk mencegah konsekuensi besar kehamilan tidak direncanakan. Seiring dengan itu, penggunaan kontrasepsi tetap disarankan sampai ia sudah masuk masa menopause.
Baca juga: Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja
2. Menopause hanya akan terjadi saat perempuan berusia 50-an
Menurut spesialis obgyn dari Integris Health Edmond, Courtney A. Seacat, M.D. dalam situs Integris Health, rata-rata usia perempuan yang mengalami menopause adalah 51. Namun, bisa saja hal tersebut terjadi pada perempuan berusia di bawah atau di atas itu karena ada faktor-faktor tertentu yang mendorongnya seperti genetik, gaya hidup, merokok, dan sebagainya.
Di samping itu, perempuan yang melakukan pengangkatan rahim atau ovarium bisa mengalami menopause lebih dini. Bahkan dalam The Menopause Hub disebutkan, mereka yang menjalani operasi macam ini bisa saja mengalami menopause dini pada usia 20-an dan merasakan berbagai gejalanya selama puluhan tahun.
3. Perempuan menopause pasti mengalami mood swing
Dikutip dari situs Royal College of Obstetrician & Gynaecologist, menopause bisa menyebabkan perubahan mood, kecemasan, dan menurunnya energi. Ini dikarenakan tubuh perempuan menyesuaikan diri ketika terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron.
Meski mood swing menjadi salah satu gejala paling umum yang ditemukan pada perempuan menopause, tidak semua perempuan mengalami hal ini. Dalam Healthline disebutkan, ada sejumlah faktor yang meningkatkan risiko perempuan mengalami mood swing pada saat atau menjelang menopause seperti riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lain, tingkat stres tinggi, dan masalah kesehatan fisik.
Potensi mood swing juga bertambah ketika perempuan menghadapi berbagai peristiwa, seperti anak-anak yang tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah, tuntutan untuk mengurus orang tua lansia, atau kehilangan orang terdekat karena meninggal. Selain itu, masalah tidur yang sering mengiringi perempuan menopause juga bisa berkontribusi terhadap mood swing.
Baca juga: Merengkuh Usia Tua dengan Gembira
4. Menopause pasti menghilangkan dorongan seks pada perempuan
Memang, banyak awam dan pakar yang percaya, penurunan hormon pada perempuan berefek pada rendahnya libido atau dorongan seks pada perempuan. Akan tetapi kenyataannya, tidak semua perempuan merasakan hal seperti ini.
Dalam situs AARP (American Association of Retired Persons) disebutkan bahwa menopause yang dianggap pembunuh gairah seks adalah suatu mitos. Di sana disebutkan salah satu hasil studi dari King’s College London yang menyatakan menopause tidak berperan sebesar yang orang bayangkan terhadap masalah seksual seseorang. Bermacam faktor di luar menopause lah yang justru berpotensi jadi akar penurunan dorongan seks pada perempuan, misalnya masalah intimasi dengan pasangan, atau masalah gairah dan orgasme yang sudah ada sebelum menopause terjadi.
Menguatkan pernyataan di AARP, National Women’s Health Network dalam situsnya mengatakan bahwa perempuan bisa mengalami perubahan fungsi seksual yang bervariasi selama menopause, tetapi hal itu tidak absolut atau konstan. Masih ada upaya yang dapat dilakukan untuk menyikapi itu.
Mereka mengutip The Study of Women’s Health Across the Nation yang mengikuti perkembangan perempuan usia antara 42 sampai 52 dan meneliti sejauh mana kontribusi menopause terhadap perubahan dalam seksualitas respondennya. Setelah enam tahun meneliti, mereka menemukan bahwa perempuan menopause bisa tetap menjalani aktivitas seksual menyenangkan. Ada pun perubahan hormonal yang mengakibatkan keringnya vagina--sebuah gejala umum pada perempuan menopause yang menciptakan rasa sakit saat bersanggama--masih bisa diakali dengan berbagai produk kesehatan.
5. Menopause menyebabkan kenaikan berat badan berlebihan
Dalam diri perempuan menopause memang kerap ditemukan pertambahan berat badan, tetapi tidak sampai berlebihan, hanya berkisar 1,8-3,1 kg, demikian ditulis dalam situs Forth. Benarkah menopause yang patut ditunjuk sebagai penyebab pertambahan berat badan ini?
Dalam situs Monash University, Direktur The Women’s Health Group at Monash dan peneliti Susan Davis mengatakan, gagasan menopause menyebabkan berat badan perempuan bertambah adalah mitos.
“Ketika menopause, ovarium perempuan berhenti bekerja, ini artinya produksi esterogen pun terhenti. Salah satu efeknya adalah perubahan terkait di mana lemak di tubuh perempuan disimpan,” kata Davis.
Jika tadinya lemak disimpan di bagian-bagian tubuh seperti pinggul atau paha, saat menopause lemak lebih banyak disimpan di area abdomen/perut.
Davis melakukan studi yang membandingkan antara perempuan yang mengalami menopause dini atau terlambat dan perempuan yang mengalaminya di usia normal atau rata-rata. Ia menemukan, pertambahan berat badan terjadi di semua perempuan pada satu usia tertentu, menunjukkan bukan menopause yang menyebabkan hal tersebut.
Seiring pertambahan umur, metabolisme seseorang melambat. Ketika terjadi perubahan hormonal, terutama level estrogen, pada tubuh perempuan, hal ini turut berdampak pada metabolisme. Meski kita makan dengan porsi yang sama pada saat kita berusia 20-30-an, berat badan kita bisa saja tetap bertambah karena metabolisme sudah berubah saat kita menua.
6. Ada rasa panas yang menyebar di tubuh saat menopause
Banyak perempuan mengalami hot flush atau rasa panas yang menyebar di tubuh tiba-tiba. Ini juga sering diiringi keringat, khususnya pada malam hari. Hal tersebut memang merupakan salah satu gejala umum pada perempuan menopause atau menjelang menopause.
Dilansir NHS, hot flush pada perempuan menopause dipercaya terjadi karena perubahan level hormon. Hal ini akhirnya berpengaruh terhadap temperatur tubuh.
Sebagian perempuan merasa hot flush masih bisa mereka toleransi, sementara lainnya merasa hal tersebut sangat mengganggu sehingga membutuhkan pertolongan dokter melalui hormone replacement therapy. Di lain sisi, ada perempuan yang tidak merasakan hot flush saat menopause atau perubahan fisik lainnya yang signifikan.
Meski hal ini kerap terjadi tanpa diduga, ada beberapa hal yang mungkin memicu hot flush, di antaranya memakan makanan pedas, mengonsumsi kafein/ alkohol, merokok, cuaca terik, stres, atau pengaruh obat-obatan tertentu.
Comments