Women Lead Pendidikan Seks
June 25, 2021

MIWF 2021 Angkat Isu Kesenjangan Sosial Indonesia Timur dan Barat

MIWF 2021 mengajak kita merefleksikan adanya kesenjangan sosial antara Indonesia Timur dan Barat, termasuk isu kesenjangan gender.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Privilege Gap Rich Poor_KarinaTungari
Share:

Jutaan pekerja yang memenuhi jalanan di pagi dan sore hari menggambarkan hiruk-pikuk Ibu Kota sebagai tempat untuk mencari pundi-pundi rupiah demi kelangsungan hidup. Mobilitas bergerak begitu cepat, merepresentasikan kehidupan yang terlihat seperti tak ada jeda untuk bernapas, apalagi memperhatikan apa yang terjadi pada sekelilingnya.

Namun, pandemi yang melanda sejak 15 bulan lalu membuat berbagai hal yang tadinya tak kasatmata muncul ke permukaan, termasuk soal ketidakadilan dan kesenjangan di masyarakat. Karena itu, kita perlu mengambil jeda sejenak untuk merenungkan kembali keadaan tersebut. Anthropause menjadi kata yang tepat untuk disematkan pada situasi ini sebagai bentuk refleksi selama pandemi.

Makassar International Writers Festival 2021 (MIWF) pun memilih kata yang baru ditambahkan ke dalam kamus Oxford pada akhir 2020 tersebut sebagai tema festival tahun ini.

“Pandemi membuka mata kita sehingga ketidakadilan dan kesenjangan yang dulunya samar dan sayup terdengar, kini makin jelas wujudnya,” ujar Direktur MIWF Lily Yulianti Farid dalam pembukaan MIWF 2021 pada Rabu (24/6). 

Menurutnya, cerita-cerita dari masyarakat kurang mampu, berkebutuhan khusus, dan mereka yang berada dalam kondisi rentan berhak mendapat tempat yang lebih luas karena selama ini, narasi seputar pandemi yang memenuhi kesadaran kita hanya datang dari kelas menengah.

Sebagai festival yang berada di persimpangan antara sastra dan aktivisme, tahun ini MIWF menyorot kesenjangan antara Indonesia Timur dan Barat. Lily menceritakan bagaimana orang-orang yang berbicara untuk merepresentasikan Indonesia Timur tidak bertujuan untuk terlihat eksotis, sebagaimana gambaran yang terbentuk dalam isi kepala masyarakat kota-kota besar.

“Mereka ingin menyampaikan bahwa tidak ada kemegahan yang berusaha disampaikan dalam narasinya karena sesungguhnya, apa yang mereka sampaikan hanyalah yang diketahui, dipahami, dan familier,” ujar Lily. Oleh karena itu, MIWF memberikan penghargaan khusus untuk para penulis terpilih dari Indonesia Timur.

Baca Juga: Heteronormativitas, ‘Colonial Gaze’ Hambat Representasi Beragam dalam Sastra

Jika membicarakan kesenjangan lebih dekat, mungkin sebagian dari kita yang tinggal di kota-kota besar tidak cukup merasakannya secara langsung karena melihat pembangunan infrastruktur yang sepertinya sudah merata. Namun, melalui sebuah kejadian di acaranya, festival ini justru memperlihatkan bukti bahwa ketimpangan itu masih terjadi. Gody Usnaat, seorang penyair yang tinggal di Kabupaten Keerom, Papua, tidak dapat bergabung secara virtual karena akses internet belum tersedia di tempat tinggalnya.

Sebagai masyarakat yang tinggal di kota besar, kita bersedih jika membayangkan kehidupan teman-teman di daerah terpencil yang tidak dapat mengakses internet. Mungkin rasanya hampa seperti apabila hidup ini dijalani tanpa kehadiran smartphone, akses internet, dan media sosial. Nyatanya, mereka justru senang dengan apa yang dimiliki dalam hidupnya, sebagaimana yang diceritakan oleh Gody kepada Lily melalui sambungan telepon.

“Dia bersuka ria menceritakan kehidupannya tentang anak-anak yang harus diajar setiap sore dan malam seusai ia bekerja sebagai staf administrasi di sebuah gereja kecil,” cerita Lily.

Festival Sastra Anti-Kesenjangan Gender

Selain membahas kesenjangan antara masyarakat Indonesia Timur dan Barat, acara pembukaan MIWF turut membahas kesenjangan gender yang masih tinggi. Untuk membangun dunia yang lebih baik, tentu saja dibutuhkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Sayangnya, dunia ini masih dibangun dari sudut pandang laki-laki.

Sebagai peraih penghargaan dalam kategori Festival Sastra Terbaik 2020 di London Book Fair International Excellence Awards, pada 2018 para penggerak MIWF yang 85 persennya perempuan secara serius memikirkan bahwa tidak boleh ada panel yang pembicaranya didominasi oleh laki-laki dalam festival ini.

“No all men panels. Di zaman webinar ini, berapa banyak poster webinar yang membicarakan kehidupan dengan panel laki-laki? Tidak ada yang memberikan perspektif kehidupan perempuan di masa pandemi,” ujar Lily.

Baca Juga: Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik!

Penulis Intan Paramaditha, yang juga berperan sebagai kurator dalam festival ini, mengatakan bahwa karya-karya penulis perempuan yang dikurasinya tidak sebanyak penulis laki-laki.

“Saya berharap untuk ke depannya kita bisa menciptakan lingkungan yang produktif dan aman, khususnya untuk karya-karya penulis perempuan di Indonesia Timur,” kata Intan.

“Kita sama-sama bekerja untuk keluar dari zona nyaman sebagai pembaca. Bagaimana mendorong karya-karya yang mengangkat realitas lokal secara kritis terhadap konstruksi agama, adat, kelas, dan gender, tetapi dalam saat yang sama juga menemukan estetika yang segar dan inovatif.” 

Intan menambahkan, dirinya pun menemukan kekayaan dalam bentuk cerita dari Indonesia Timur yang tecermin dari karya-karya yang terpilih.

Sementara Marina Mahathir, seorang aktivis dan penulis asal Malaysia yang hadir sebagai pembicara di MIWF 2021, membagikan ceritanya dalam memberdayakan perempuan.

“Sebagai seseorang yang suka traveling dan memiliki keistimewaan, saya membuat sebuah situs traveling yang memberikan perempuan rasa aman dan percaya diri ketika bepergian. Sebelumnya juga saya membuat program televisi berjudul 3R (Respect, Relax, Respond) untuk memberikan berbagai ide dan contoh panutan bagi perempuan muda,” ujarnya.

Baca juga: Perempuan Penulis Mencari Ruang Aman di Dunia Sastra yang Maskulin

Pembukaan MIWF 2021 turut dihadiri oleh beberapa pembicara lainnya dari berbagai latar, seperti Sayaka Murata (Jepang), Nicholas Saputra (Indonesia), Suzy Hutomo (Indonesia), dan Gody Usnaat (Indonesia). Di tahun kesepuluhnya, festival ini berlangsung secara virtual pada 23-26 Juni 2021 dan diharapkan dapat memberikan ruang refleksi bagi para pencinta sastra, sebagaimana makna tema “Anthropause” yang diusung.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.